Menagih Dana Kompensasi Kerusakan Iklim dari Negara Maju di COP27
Forum tahunan konferensi perubahan iklim atau Conference of The Parties ke-27 (COP27) telah dimulai di Mesir pada Ahad (6/11). Salah satu isu yang menjadi fokus yaitu terkait dana kompensasi bagi negara-negara miskin yang terdampak kerusakan imbas pemanasan global.
Selama lebih dari satu dekade, negara-negara kaya telah menolak seruan tentang apa yang disebut sebagai Loss and Damage Fund atau pendanaan kerugian dan kerusakan iklim.
Mekanisme ini merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan negara-negara kaya yang membayar dana untuk membantu negara-negara miskin mengatasi konsekuensi pemanasan global yang tidak terlalu dirasakan oleh para negara kaya.
Topik pemberian ganti-rugi kepada negara-negara miskin ditujukan untuk mencegah dampak terburuk dari pemanasan bumi di tengah kondisi krisis pangan, perang di Eropa, dan inflasi tinggi. Semua itu mengalihkan fokus dalam upaya pengurangan emisi karbon dan gas rumah kaca untuk membatasi pemanasan global di bawah 1,5° C.
Pada COP26 di Glasgow, negara-negara berpenghasilan tinggi, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) memblokir proposal untuk badan pembiayaan kerugian dan kerusakan.
Tetapi tekanan untuk mengatasi masalah makin masif ketika bencana cuaca meningkat, termasuk banjir di Pakistan yang menewaskan lebih dari 1.700 orang hingga menyebabkan kerugian ekonomi lebih dari US$ 30 miliar dan menyebabkan ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal.
Selain itu, badai gelombang panas juga telah menyebabkan bencana kekeringan yang membuat tanaman layu di Cina, Afrika, dan bagian barat Amerika.
"Dimasukkannya agenda ini mencerminkan rasa solidaritas bagi para korban bencana iklim," kata Menteri Luar Negeri Mesir yang juga bertindak sebagai Presiden COP27 Sameh Shoukry, pada pembukaan pleno, dikutip dari Reuters pada Senin (7/11).
Dia menambahkan, keputusan untuk membahas pendanaan kerugian dan kerusakan yang dialami oleh negara miskin imbas pemanasan global diharap dapat menciptakan ruang atau forum secara institusional untuk pembicaraan yang mengarah pada keputusan kolektif paling lambat pada 2024.
Langkah ini dinilai dapat meningkatkan tensi ketegangan diplomatik yang telah diregangkan oleh perang Rusia di Ukraina, lonjakan harga energi dan risiko resesi ekonomi yang dipicu oleh inflasi.
Badan penelitian lingkungan yang berbasis di Bangladesh, the International Centre for Climate Change and Development, menyambut baik inisiasi untuk membahas 'kabar baik' tersebut di dalam agenda resmi.
"Sekarang pekerjaan nyata, mulai membuat keuangan menjadi kenyataan," kata Saleemul Huq, direktur pusat yang menjabat sebagai penasihat kelompok Forum Rentan Iklim dari 58 negara.
Negara Maju Ingkar Janji
Agenda COP27 digelar di tengah bayang-bayang keraguan kepada pemerintah global yang berniat mengatasi pemanasan global. Sebuah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirilis minggu lalu menunjukkan emisi global naik 10,6% pada tahun 2030 dibandingkan dengan tingkat tahun 2010.
Para ilmuwan mengatakan emisi tersebut harus turun 43% pada saat itu untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5° C, yang disepakati pada Pernjanjian Paris 2015.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa negara-negara kaya juga tidak memenuhi janji untuk menyediakan US$ 100 miliar per tahun pada tahun 2020 untuk membantu negara-negara berkembang mengurangi emisi CO2 dan beradaptasi dengan perubahan iklim.
Sementara di sisi lain banyak negara termasuk AS dan anggota negara UE yang menyerukan peningkatan pasokan bahan bakar fosil untuk membantu menurunkan harga energi, sebuah tren yang berisiko menunda pergeseran global menuju energi yang lebih bersih.
Meskipun momentum meningkat untuk mengatasi kerugian dan kerusakan akibat meningkatnya bencana terkait perubahan iklim, COP27 menghadapi tantangan untuk mengumpulkan uang karena sebagian besar anggaran pemerintah barat habis untuk melindungi warganya dari dampak ekonomi perang di Ukraina.
Sejauh ini, hanya dua negara kecil yang menawarkan dana untuk kerugian dan kerusakan. Denmark memberikan 100 juta Danis Krone dan Skotlandia menjanjikan £ 2 juta. Padahal beberapa penelitian menunjukkan kerugian terkait iklim bisa mencapai US$ 580 miliar per tahun pada 2030.
Di dalam negosiasi PBB minggu ini, negara-negara pulau kecil yang rentan terhadap perubahan iklim telah membuat mereka memainkan peran besar dalam pembicaraan PBB sebelumnya, yang akan mendorong proposal untuk 'dana tanggapan'.
Proposal ini dijalankan oleh PBB untuk mengumpulkan dan mendistribusikan uang tunai ke negara-negara yang dilanda bencana. bencana.
Kelompok '20' atau G20 dari 58 negara yang rentan terhadap iklim dan kelompok 7 negara kaya atau G7 akan meluncurkan 'Perisai Global' untuk memperkuat keuangan asuransi dan perlindungan bencana. Jerman diharapkan untuk memberikan uang untuk skema tersebut.
Pakar diplomasi iklim di lembaga think tank E3G Alex Scott mengatakan bahwa dibutuhkan berbagai pendekatan termasuk upaya penguatan asuransi dan perlindungan bencana yang juga harus didukung melalui perbaikan masalah dengan pengelolaan dana iklim PBB yang ada.
"Seperti adanya penundaan selama bertahun -tahun dalam menyalurkan pendanaan dan pengajuan atau proses aplikasi yang berbelih sehingga mencegah beberapa negara miskin untuk mengakses dukungan pendanaan," ujarnya.