IESR Dorong Pemerintah Kejar Dana Hibah JETP Minimal US$ 2 Miliar

Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemerintah untuk meningkatkan porsi hibah pendanaan transisi energi Just Energy Transition Partnership atau JETP mencapai minimal 10% atau sekira US$ 2 miliar dari total komitmen pendaan JETP sebensar US$ 20 miliar.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, proyek transisi energi membutuhkan biaya yang besar. Menurutnya, dana hibah tersebut bisa digunakan untuk membangun sebuah proyek pembangkit energi terbarukan (EBT) yang dapat menjadi proyek nasional.
Fabby juga mewanti-wanti pemerintah agar mematok batas atas pada pendanaan yang dari pinjaman komersial. "Kalau dari hibah, kami menghitung dan berharap pemerintah bisa mendapatkan 10% sampai 15%," kata Fabby di Ayana Midplaza Jakarta pada Selasa (27/6).
Dia menilai, pemerintah perlu meningkatkan intensitas negosiasi dengan International Partners Group (IPG) seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, serta beberapa negara G7 plus Denmark, Norwegia, dan Uni Eropa untuk mendapatkan jaminan dana hibah JETP yang lebih progresif.
Alasannya, alokasi transisi energi untuk pendanaan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara hingga pengadaan infrastruktur pembangkit EBT memerlukan pembiayaan yang ramah secara finansial.
Fabby mengatakan, negosiasi tersebut dapat berjalan setelah pemerintah menetapkan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) yang ditargetkan rampung pada 16 Agustus 2023. "Indonesia harus negosiasi dengan IPG untuk menentukan besaran hibahnya," ujar Fabby.