Menteri ESDM Beberkan Alasan Implementasi Pajak Karbon Diundur ke 2025
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan bahwa implementasi pajak karbon tak bisa dilaksanakan pada tahun ini seiring kekhawatiran adanya kenaikan harga pada produk-produk industri.
"Dengan situasi sekarang ini, kami rekalkulasi kembali dampak-dampaknya. Kami tidak bisa kasih tahu. Mudah-mudahan terlaksana pada tahun depan atau bisa jalan 2024," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (14/10).
Arifin menuturkan, pemerintah masih melakukan kajian dan uji coba terhadap pelaksanaan pajak karbon. "Kaitannya dengan pajak karbon ini dampaknya pada produk industri kita seperti apa, takutnya jadi lebih mahal, kami ada uji coba dulu, maka kita tunggu dulu," ujar Arifin.
Narasi serupa juga pernah disampaikan oleh Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana. Menurutnya, penundaan implementasi pajak karbon disebabkan karena masih tingginya harga komoditas energi global.
Pemerintah merasa kondisi tersebut menjadi pertimbangan untuk menunda sekaligus mencari momen yang tepat untuk melaksanakan pajak karbon sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP.
"Pemerintah masih melihat kapan waktu yang cocok. Dari sisi harga energi yang cukup tinggi sehingga mungkin sekarang bukan saat yang tepat untuk menerapkan pajak karbon," kata Dadan beberapa waktu lalu, Selasa (23/8).
Rencananya, penerapan pajak karbon tahap awal akan diberlakukan bagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara mulai 1 April 2022, kemudian ditunda menjadi 1 Juli 2022. Kemudian implementasinya akan diperluas untuk sektor lainnya mulai 2025.
Setelah sempat beberapa kali tertunda, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, perdagangan karbon, termasuk pajak karbon akan mulai diterapkan pada 2025.
"Salah satu yang akan diterapkan di awal adalah perdagangan karbon maupun pajak karbon yang ditargetkan akan berfungsi di tahun 2025," ujar Airlangga dalam acara Capital Market Summit & Expo (CMSE) 2022, Kamis (13/10/2022).
Dalam penerapannya, ada dua skema implementasi pajak karbon. Pertama melalui perdagangan karbon atau cap and trade. Institusi yang menghasilkan emisi lebih dari cap atau batas yang ditentukan bisa membeli sertifikat izin emisi (SIE) dari institusi lain yang emisinya di bawah cap. Opsi lainnya dengan membeli sertifikat penurunan emisi (SPE).
Selanjutnya ada skema kedua melalui pajak karbon atau cap and tax. Skema ini mengatur jika suatu institusi tidak bisa membeli SIE atau SPE secara penuh atas kelebihan emisi yang dihasilkan, maka sisa emisi yang melebihi cap tadi akan dikenakan pajak karbon.
Adapun tarif minumum karbon ditransaksikan senilai Rp 30 per Kg CO2 atau Rp 30.000 per ton CO2 ekuivalen. "Ini sudah ada di undang-undangnya. Ini tinggal masalah waktu dan momennya yang dipastikan," ujar Dadan.