Tantangan Jurnalisme Data di Era Hoaks dan Disinformasi

Adek Media Roza
22 Januari 2020, 08:00
Adek Media Roza
KATADATA/JOSHUA SIRINGO RINGO

Indonesia memang memiliki Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang disahkan pada 2008, tapi instrumen yang disediakan beleid tersebut tidak ramah bagi jurnalis. Proses gugatan atas sebuah instansi yang menolak memberikan data publik bisa menghabiskan berbulan-bulan, padahal jurnalis bekerja dengan tenggat harian atau mingguan. Oleh sebab itu, mekanisme UU tersebut tidak menjadi pilihan jurnalis. Bahkan, ketika gugatan dikabulkan pun instansi yang dimintai data kerap menolak menyerahkan datanya.

Kalaupun ada lembaga yang secara berkala memuat dan memperbarui data, umumnya format data menjadi problem untuk dioleh oleh tim jurnalis data. Walhasil, tim jurnalis data harus bekerja lebih lama untuk mengkonversi format data agar sesuai dengan piranti lunak yang digunakan untuk memproses data tersebut. Akibatnya, proses produksi lebih panjang dan dianggap kurang efisien oleh perusahaan. Padahal, di sejumlah media, JD hanya pekerjaan tambahan bagi wartawan yang sudah sibuk dengan tugas rutinnya.

Keterbatasan Keterampilan

Jika keterbukaan data merupakan faktor eksternal yang menjadi penghambat, faktor internal lebih pada keterbatasan keterampilan bagi para wartawan yang ingin menekuni JD. Seorang jurnalis data, antara lain, dituntut akrab dengan angka dan perhitungan. Namun, ada keengganan sebagian jurnalis untuk bermain dengan angka karena jeri dengan matematika (math aversion). Akibatnya, kemampuan untuk menganalisis data pun menjadi sangat terbatas, bahkan untuk menemukan isu menarik dari sebuah rangkaian angka.

Konsep jurnalisme tradisional vs jurnalisme data
Konsep jurnalisme tradisional versus jurnalisme data (Researchgate.net)

Keengganan tersebut juga membuat banyak jurnalis tidak terbiasa dengan spreadsheet atau excel, yang merupakan software dasar untuk mengolah angka. Padahal, untuk mengelola data yang lebih besar (big data) diperlukan piranti lunak yang lebih rumit lagi. Di sisi lain, problem teknis seperti kesesuaian piranti lunak visualisasi dengan sistem IT yang sudah dipakai perusahaan media juga menjadi kendala. Hanya sedikit perusahaan media yang bisa mengalokasikan sumber daya manusianya untuk membuat software visualisasi data.

Namun, berbagai kendala tersebut tidak otomatis membuat masa depan JD di Tanah Air suram. Pelatihan-pelatihan yang digelar di berbagai kota selalu dipenuhi jurnalis muda. Pewarta milenial ini tekun membiasakan diri dengan berbagai software pengolahan dan visualisasi data. Alih-alih mengandalkan data pemerintahan, mereka membuat basis data sendiri. Mereka bahkan membentuk jaringan jurnalis data untuk saling berbagi pengetahuan terbaru. Di tangan mereka kita bisa berharap JD Indonesia bisa berkembang.

*Versi panjang tulisan ini telah dimuat di Jurnal Dewan Pers edisi November 2019, dengan judul “Jurnalisme Data, Jurnalisme Kolaborasi”.

Halaman:
Adek Media Roza
Adek Media Roza
Editor: Redaksi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...