Kunci Mengatasi Pelemahan Rupiah dan Defisit Neraca Pembayaran

Suahasil Nazara
Oleh Suahasil Nazara
21 September 2018, 06:00
Suahasil Nazara
Ilustrator: Betaria Sarulina | Katadata
obat rupiah

Apa isi impor barang modal? Ada barang-barang mekanik, mesin peralatan listrik, besi baja, dan lain-lain. Hal ini tidak lepas dari impor mesin-mesin pembangkit untuk mewujudkan pembangunan proyek listrik 35 GW dalam beberapa tahun terakhir. Namun untuk proyek-proyek yang belum dimulai akan dijadwal ulang. Lalu, bagaimana proyek yang sudah berjalan? Berlanjut. Tapi perlu di-review untuk memaksimalkan penggunaan produk-produk domestik, kecuali memang yang harus diimpor.

Harus diakui impor minyak relatif meningkat. Indonesia sudah defisit minyak, impor lebih tinggi dari ekspor. Pada semester pertama 2018, defisit minyak tercatat US$ 8,4miliar. Padahal, tahun sebelumnya “hanya” US$ 12,8miliar, bahkan pada 2016 “hanya” US$ 9,7 miliar. Defisit setahun 2018, kalau dibiarkan tanpa kebijakan, hampir pasti lebih besar dari defisit tahun-tahun lalu. Kebutuhan minyak di dalam negeri memang tinggi. Setiap tahun naik karena pertumbuhan ekonomi. Hal itu wajar. Sebagian kenaikan juga karena konsumsi berlebih yang dipicu oleh harga bahan bakar minyak (BBM) yang dipatok pemerintah lebih rendah dari yang seharusnya.

Karena itu, salah satu upaya menurunkan impor minyak adalah Program B20 untuk biosolar. Artinya, 20 persen dari volume solar bersumber dari minyak kelapa sawit (CPO). Kita adalah produsen utama dunia CPO. Karena sudah efektif mulai 1 September lalu, seharusnya impor solar berkurang sehingga mengurangi tekanan di neraca transaksi berjalan (current account).

Impor apa lagi yang juga tinggi? Ternyata barang konsumsi. Ini juga wajar. Kalau pendapatan naik, biasanya semangat membeli barang konsumsi dari luar negeri juga naik. Seperti halnya dalam menangani impor bahan baku, barang modal, dan minyak tadi, pemerintah memutuskan memberi sinyal kebijakan agar mengurangi impor barang konsumsi,  dan mengimbau memakai produksi lokal.

Saat ini kebijakan yg dipakai adalah menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 yang dibayar ketika mengimpor barang. Yang membayar PPh ini importir ketika barangnya masuk daerah pabean. Apakah konsumen akhir akan ikut membayar? Bisa iya, bisa tidak. Si importir bisa menaikkan harga jualnya, tapi bisa juga tidak. Kenapa? Karena sifat dari pembayaran PPh Pasal 22 itu adalah pre-payment atau witholding. Artinya, pembayaran pajak tersebut bisa diklaim (dikreditkan) sebagai bagian dari PPh keseluruhan tahun pajak yang bersangkutan. Jadi, pembayaran PPh ketika impor itu tidak hilang. Kalau ada ada utang PPh di akhir tahun pajak, bisa dihitung sebagai pembayaran PPh juga.

Mungkin ada ada yang bertanya, apakah efektif menurunkan impor? Lagi-lagi jawabannya adalah kebijakan ini bukan melarang orang mengimpor. Tapi ingin memberi sinyal dengan cara menaikkan biaya impor yang sifatnya temporary.

Di sini, barang-barang yang terkena kenaikan tarif PPh Pasal 22 ini seperti kategori barang konsumsi sejumlah 1.147 item komoditas. Sebagian adalah kendaraan mobil dan motor mewah. Tarif PPh Pasal 22-nya menjadi 10 persen. Kategori lain ialah barang konsumsi yang sudah ada produksi domestiknya. Ini terkena tarif 10 persen. Kemudian ada sejumlah barang konsumsi yang penggunaannya bermacam-macam, bahkan kadang dipakai di kegiatan produksi seperti barang elektronik  naik ke 7,5 persen.

Kebijakan-kebijakan menurunkan impor di atas relatif langkah jangka pendek. Menurunkan impor tidak bisa hanya begitu. Harus ada yang lebih mendasar, yaitu terkait ketergantungan Indonesia kepada barang modal dan bahan baku impor. Di sini, kuncinya adalah membangun industri hulu. Untuk itu perlu membangun infrastruktur, memperbaiki iklim usaha, perizinan, dan lain-lain.

Khusus di bidang pajak, pemerintah memberi insentif fiskal. Saat ini ada fasilitas bebas pajak penghasilan untuk penanaman modal baru di 17 industri hulu (fasilitas tax holiday). Investasi minimal Rp 500miliar akan mendapat bebas PPh 5-20 tahun. Apakah ini mengurangi penerimaan pajak? Tidak. Toh investasi-investasi ini sekarang juga belum ada. Misalnya industri hulu termasuk kilang minyak, petrokimia, farmasi, besi dan baja, turbin pembangkit listrik, komponen mobil, komponen komputer, dan berbagai indutri komponen lainnya. Kalau barang-barang ini tersedia di Indonesia, kita harapkan industri downstream akan mendapat manfaat, tidak usah impor bahan baku. Ujungnya, struktur ekonomi lebih baik dan masyarakat makin sejahtera.

Kalau direnungkan lebih dalam, masih panjang sekali jalan untuk memperbaiki neraca eksternal. Perlu kombinasi kebijakan yang baik supaya neraca pembayaran lebih ajeg dan tidak selalu mendapat tekanan. Kebetulan, situasi global sedang gonjang-ganjing (volatil). Saat ini pula tekanan eksternal lebih terasa di perekonomian sehingga perlu meresponsnya bersama-sama. Negeri ini, kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi?

Halaman:
Suahasil Nazara
Suahasil Nazara
Kepala Badan Kebijakan Fiskal

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...