Kesepakatan Freeport, Patut Disyukuri atau Disesali?

Metta Dharmasaputra
19 Juli 2018, 09:31
Metta
Ilustrator: Betaria Sarulina
Menteri ESDM Ignasius Jonan (kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri), Menteri BUMN Rini Soemarno (kedua kanan) dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (kanan) menyaksikan penandatanganan nota pendahuluan perjanjian oleh Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium Budi Gunadi (ketiga kanan) dan Presiden Direktur Freeport McMoran, Richard Adkerson (kedua kiri) terkait pokok-pokok kesepakatan divestasi saham PT Freeport Indonesia di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Kamis (12/7). Perjanjian a

Sumbangannya bagi perekonomian nasional pun tak kecil. Dalam kurun 1992-2015 tercatat penerimaan negara melalui setoran pajak, royalti dan dividen dari Freeport mencapai US$ 16,1 miliar (60 persen). Sedangkan sisanya dinikmati FCX senilai US$ 10,8 miliar (40 persen).

Dengan dioperasikannya tambang bawah tanah, diperkirakan potensi penerimaan negara akan kian besar. Nilainya ditaksir mencapai US$ 42 miliar atau sekitar Rp 588 triliun selama kurun 2022-2041.

Sebaliknya, jika operasi tambang ini terhenti, setidaknya potensi pajak, royalti dan dividen yang hilang, diperkirakan lebih dari US$ 700 juta atau hampir Rp 10 triliun per tahun. Ini yang disebut dengan opportunity loss.

Padahal, tak lama lagi, pada 2030 negeri ini akan segera menghadapi puncak bonus demografi, yang ditandai dengan ledakan penduduk usia produktif. Kue pembangunan yang bisa dibagi harus kian besar. Jika tidak, pengangguran merajalela.

Kenapa via Rio Tinto?

Banyak juga kebingungan, kenapa pembelian saham Freeport ini harus dilakukan melalui transaksi dengan Rio Tinto?

Selama ini publik memang tidak pernah tahu bahwa meskipun FCX dan Indonesia menguasai 100 persen saham (equity interest) PTFI, hanya 60 persen keuntungan ekonomi (economic interest) yang bisa dinikmati.

Ini dikarenakan 40 persen sisanya dinikmati oleh Rio Tinto sebagai pemilik hak partisipasi (participating interest). Bahkan perusahaan tambang asal Inggris ini menikmati pembagian pendapatan lebih dulu ketimbang pemegang saham.

Hal ini bermula dari dikeluarkannya surat Menteri ESDM pada 29 April 1996 yang menyetujui skema “ijon” konsesi Grasberg. Usulan ini datang dari FCX untuk diberikan kepada Rio Tinto Zinc, anak perusahaan PT Rio Tinto Indonesia. Skema inilah yang disebut dengan hak partisipasi. 

Belakangan, tepatnya sejak awal tahun lalu, tersiar kabar bahwa Rio Tinto ingin melepas haknya. Selain dipicu oleh kekhawatiran isu lingkungan yang menekannya, juga faktor ketidakpastian hukum di Indonesia. Termasuk atas nasib Freeport.

Peluang inilah yang tampaknya ditangkap pemerintah Indonesia. Apalagi tawaran harga yang diajukan oleh Rio Tinto jauh lebih murah ketimbang yang disodorkan FCX. Sebagai perbandingan, FCX pernah menawarkan penjualan 10,64 persen saham seharga US$ 1,7 miliar. Tapi, pemerintah menolak. Harga yang dipatoknya hanya sekitar US$ 670 juta.

Kini Rio Tinto datang dengan tawaran lebih murah. Pemerintah via Inalum bisa membeli 40 persen hak partisipasi Rio Tinto seharga US$ 3,5 miliar. Ini berarti hanya sekitar separuh dari harga penawaran FCX.

Harga ini pun tak jauh dengan kalkulasi Deutsche Bank, Morgan Stanley, UBS, RBC dan HSBC. Taksiran harga dari lima lembaga keuangan dunia itu untuk pembelian hak partisipasi Rio Tinto berkisar US$ 3,3-4 miliar. Atas dasar ini, harga pembelian oleh Inalum dapat dipertanggungjawabkan.

Jika dibandingkan dengan tawaran awal pemerintah, harganya memang masih lebih tinggi. Tapi, ada keuntungan lain yang didapat Inalum dengan membeli hak partisipasi Rio Tinto ini. Melalui skema itu, pihak Indonesia akan sepenuhnya menikmati keuntungan ekonomi sesuai jumlah kepemilikan saham di PTFI sebesar 51 persen.

Sementara, jika membeli langsung saham milik FCX, selain lebih mahal, manfaat ekonomi yang bisa dinikmati lebih kecil. Hanya 31 persen, kendati sudah mengantongi saham 51 persen. Ini dikarenakan masih ada yang dinikmati Rio Tinto sebesar 40 persen sebagai pemegang hak partisipasi.

Freeport
(ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Ramai dibidik?

Perlu diingat pula, kalau pun hak partisipasi ini tidak dibeli oleh pemerintah, bisa saja Rio Tinto kemudian menjualnya ke pihak lain. Desas-desus yang beredar, sejumlah pihak memang sudah siap “memangsa” bola muntah ini.

Terkait soal ini, lagi-lagi ada pengalaman pahit yang patut jadi pelajaran. Pada 2001, pemerintah kehilangan kesempatan menguasai Kaltim Prima Coal (KPC), salah satu tambang batu-bara terbesar di dunia yang berlokasi di Kalimantan Timur.

Saat itu, pemerintah kalah gesit oleh Grup Bakrie yang membeli KPC melalui anak usahanya, PT Bumi Resources Tbk. Bakrie berhasil “menyalip di tikungan” ketika kesabaran Rio Tinto Ltd. dan BP International Ltd. habis, lantaran tak kunjung mencapai kata sepakat jual-beli dengan pemerintah.

Kedua raksasa tambang dunia ini lantas memilih menjual dua induk perusahaan KPC (Sangatta Holdings Ltd. dan Kalimantan Coal Ltd.) kepada Bumi. Padahal, nilai jualnya amat rendah, cuma US$ 500 juta. Jauh di bawah tawaran harga pemerintah US$ 822 juta.

Tak lama kemudian, Bakrie menikmati “gurihnya” batu-bara, ketika harganya melonjak drastis di pasar dunia. Tak hanya lepas dari keterpurukan krisis 1998, lewat transaksi ini Grup Bakrie kembali berjaya di blantika bisnis nasional. Sementara, pemerintah gigit jari.

Dari berbagai faktor itu, selayaknya kesepakatan awal dari jalan panjang negosiasi Freeport ini patut disyukuri. Meski, tak perlu juga disambut dengan gegap-gempita berlebihan, karena proses transaksi belum final.

Yang lebih penting, bagaimana mengawal agar proses megatransaksi ini bersih dari segala praktik korupsi. Juga menjaga agar kepemilikan mayoritas di Freeport ini nantinya bisa memberikan manfaat lebih besar bagi Indonesia. Termasuk porsi 10 persen saham yang sudah dijanjikan bagi rakyat Papua.

Halaman:
Metta Dharmasaputra
Metta Dharmasaputra
Co-founder, CEO Katadata
Editor: Yura Syahrul

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...