Para Pendengung di Balik Undang-Undang Cipta Kerja

Grady Nagara
Oleh Grady Nagara
17 November 2020, 11:12
Grady Nagara
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Sejumlah buruh yang tergabung dalam Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (16/11/2020).

Misalnya, kritik dari aktivis lingkungan bahwa UU Cipta Kerja berpotensi pada kerusakan lingkungan yang semakin parah, dibantah oleh para pendengung dengan menyuarakan hashtag #LindungiLH (dinarasikan bahwa UU Cipta Kerja dapat melindungi lingkungan hidup). Setiap hashtag pro UU Cipta Kerja yang sengaja dipromosikan tampak saling terkait satu sama lain, yang memberikan kesan kuat narasi tersebut bersifat artifisial, alih-alih organik. 

Hashtag Network di balik UU Cipta Kerja
Hashtag Network di balik UU Cipta Kerja (Katadata | Istimewa (Grady Nagara))

Hashtag #LindungiLH berjejaring dengan #CiptaKerjaHarapanUMKM, #DukungOBL, #StrategiPemulihanEkonomi, dan #UMKMSejahteraIndonesiaMaju. Tampak terlihat narasi yang ingin ditekankan adalah UU Cipta Kerja dapat memajukan UMKM di Indonesia bahkan dapat tembus hingga pasar global. Hanya #MosiTidakPercaya yang menjadi hashtag kontra UU Cipta Kerja meskipun tidak sebanding dengan narasi para pendukungnya. Hal ini membuktikan bahwa aktivitas para pendengung yang pro UU Cipta Kerja terlihat kuat, dan mengimbangi narasi yang datang dari pihak kontra.

Problem Advokasi Kebijakan di Media Sosial

Riset saya membuktikan bahwa promosi UU Cipta Kerja di media sosial dipenuhi oleh narasi yang datang dari para pendengung. Saya meyakini bahwa tidak hanya pada kasus UU Cipta Kerja, di mana pada situasi lain, pola yang serupa sudah dapat dipastikan sama. Persoalan paling mendasar bukan sekadar perang narasi di media sosial. Lebih dari itu, kuatnya pengaruh industri buzzer di dalam media sosial membuktikan adanya ketimpangan relasi kuasa berbasiskan kepemilikan materiil yang membuat arena digital tidak demokratis.

Kenyataan ini pada akhirnya membantah anggapan bahwa internet mendorong demokratisasi karena setiap individu dapat menyuarakan aspirasinya dengan bebas (Norris, 2001). Memang benar bahwa setiap individu yang memiliki akses media sosial dapat menyuarakan aspirasinya, namun, problemnya justru representasi kepentingan warga tidak tampak karena aktivitas pendengung yang sangat gencar.

Suara warga di media digital dikalahkan oleh kepemilikan kapital yang besar, di mana mereka yang memiliki sumber finansial besar berpotensi untuk mendominasi opini publik. Hal ini didukung dari laporan The Guardian (2018) yang menyebut bahwa para pendengung itu dibayar mahal oleh para klien hingga puluhan juta rupiah.

Ketimpangan kuasa yang menjadi kesenjangan digital tersebut pada akhirnya menjadi tantangan bagi para aktivis dan warga negara yang ingin mengadvokasikan kebijakan melalui media sosial. Dalam kasus UU Cipta Kerja, mereka yang kontra sebagian adalah kalangan aktivis yang memiliki basis keorganisasian yang jelas. Ketika saya menelusuri aktor di balik #MosiTidakPercaya, saya menemukan organisasi seperti Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) cukup gencar menentang UU Cipta Kerja di Twitter.

Tapi problem para aktivis di media sosial adalah berhadapan dengan kelompok yang memiliki kapital lebih besar untuk memengaruhi opini publik. Para pendengung yang dibayar mahal akan jauh lebih gencar dalam mempromosikan kepentingan dan citra klien mereka. Riuhnya narasi pendengung membuat advokasi kebijakan di media sosial tidak berjalan efektif, karena opini masyarakat yang terpecah. Gerakan massa yang membutuhkan soliditas dipecah melalui narasi pendengung.

Tidak hanya itu, distraksi pendengung yang datang dari pihak kontra pemerintah juga menjadi persoalan yang dihadapi para aktivis. Hasil analisis terhadap #MosiTidakPercaya, saya menemukan distraksi gerakan muncul karena ada kepentingan lain yang memang pada dasarnya kontra pemerintah.

Misalnya, saya menemukan narasi yang tidak relevan berjejaring dengan #MosiTidakPercaya, seperti #HRSPemersatuBangsa, #HRSBikinIstanaMenggigil, dan #AhwalWaSahlanIBHRS. Para pendengung tampak memanfaatkan #MosiTidkPercaya untuk mempromosikan narasinya yang tidak relevan. Jika kita telusuri, narasi tersebut justru datang dari user anonim yang tentu saja sangat menganggu bagi soliditas gerakan.

Oleh sebab itu bagi para aktivis dan warga negara pada umumnya, pendengung dari pihak pro  dan kontra pemerintah sekalipun adalah problem. Sebab para pendengung itulah yang membuat inti narasi yang hendak diadvokasikan terdistraksi serius dan tidak tersampaikan dengan utuh.

Halaman:
Grady Nagara
Grady Nagara
Manajer Program Next Policy

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...