PLTS Atap, Beban Baru Keuangan BUMN dan Negara

Komaidi Notonegoro
Oleh Komaidi Notonegoro
12 September 2021, 07:00
Komaidi Notonegoro
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Rabu (24/3/2021). Kementerian ESDM hingga Maret 2021 telah membangun sebanyak 193 unit PLTS atap gedung, sementara sepanjang 2021-2030 pemerintah juga menargetkan pembangunan PLTS dengan kapasitas sebesar 5,432 Mega Watt untuk menurunkan emisi hingga 7,96 juta ton karbondioksida.

Secara nominal, potensi tambahan beban subsidi dan kompensasi akibat masuknya PLTS Atap memang relatif lebih kecil dibandingkan dengan operation cost yang diperlukan untuk menjaga reserve margin sistem kelistrikan nasional. Namun demikian, karena momentumnya yang tidak tepat yang mana pada saat sistem kelistrikan nasional sedang kelebihan produksi, masuknya PLTS Atap dapat menjadi pemberat beban keuangan BUMN dan/atau beban keuangan negara yang sebelumnya sudah dalam kondisi yang berat.

Untuk kondisi sistem kelistrikan nasional saat ini, pengembangan PLTS Atap dapat berperan sebagai negative load dan Micro IPP. Dalam perspektif negative load, informasi yang disampaikan pemerintah betul bahwa pengembangan PLTS Atap akan menurunkan biaya produksi listrik secara nominal. Dari hasil simulasi, pengembangan PLTS Atap sebesar 3,6 GWp dan capacity factor (CF) 17 % berpotensi menurunkan total biaya produksi listrik sekitar Rp 2,3 triliun di sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali.

Namun, meskipun total biaya produksi listrik turun, BPP Listrik di sistem Jawa-Madura-Bali secara keseluruhan justru meningkat. Hal tersebut dikarenakan pengembangan PLTS Atap sebesar 3,6 GWp berpotensi menurunkan produksi atau penjualan listrik pada sistem Jawa-Madura-Bali sekitar 5.361 GWh. Berkurangnya penjualan listrik akan mengakibatkan sebagian besar CF PLTU PLN dan PLTU IPP mengalami penurunan.

Hasil simulasi menunjukkan penurunan penjualan listrik sebesar 5.361 GWh tersebut akan meningkatkan BPP sekitar Rp 15,68/kWh yang terdiri atas BPP variable cost Rp 0,64/kWh dan BPP fixed cost Rp 15,04/kWh. Kenaikan BPP tersebut akan menambah beban subsidi dan kompensasi untuk tenaga listrik sekitar Rp 4,2 triliun untuk setiap tahunnya.

Jika ditinjau dari perspektif PLTS Atap sebagai Micro IPP, pengembangan PLTS Atap sebesar 3,6 GWh secara nominal akan meningkatkan biaya produksi listrik pada sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali sebesar Rp 5,47 triliun. Tambahan biaya produksi tersebut berpotensi meningkatkan BPP listrik di sistem Jawa-Madura-Bali Sekitar Rp 25,73/kWh.

Berdasarkan hasil simulasi tersebut, jelas bahwa baik ditinjau dari perspektif PLTS Atap sebagai negative load maupun sebagai Micro IPP, keduanya sama-sama akan memberikan konsekuensi pada meningkatnya kebutuhan anggaran subsidi dan kompensasi untuk tenaga listrik.

Bahwa pengembangan PLTS Atap potensial untuk mencapai target EBT dalam bauran energi nasional pada 2025 adalah benar, akan tetapi risiko fiskal yang berpotensi timbul karenanya juga perlu tersampaikan dan dicermati secara utuh. Permasalahan yang ada tentu tidak dapat dibebankan hanya kepada para penggiat EBT khususnya PLTS Atap dan/atau PLN, tetapi menjadi tanggung jawab kita bersama. Hal tersebut mengingat ketika terdapat momentum untuk mengembangkan EBT justru melalui program FTP I, FTP II, dan program 35.000 MW lebih memilih untuk mengembangkan pembangkit listrik berbasis fosil yang sebagian besar menggunakan batubara.

Perbedaan pendapat dan tetap teguh pada perspektif masing-masing tentu tidak akan memberikan benefit bagi para pihak. Mengingat dalam pengembangannya terdapat risiko bisnis dan risiko fiskal yang akan menyertai, Kementerian ESDM tidak dapat berjalan sendiri dalam upaya pengembangan PLTS Atap. Akan lebih baik dan bijaksana jika Kementerian ESDM duduk bersama dan berkomunikasi terlebih dahulu dengan Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan PLN.

Halaman:
Komaidi Notonegoro
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...