Mengapa Intensifikasi Pertanian Lebih Tepat untuk Ketahanan Pangan?

Azizah Fauzi
Oleh Azizah Fauzi
15 Juni 2022, 09:10
Azizah Fauzi, Peneliti CIPS
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS)

Pengalaman proyek pengembangan lahan gambut satu juta hektare di Kalimantan Tengah di bawah pemerintahan Presiden Soeharto menunjukkan tidak cocoknya lahan gambut untuk padi. Pengolahan lahan gambut juga mengakibatkan pelepasan karbon ke udara sehingga memperparah perubahan iklim.

Indonesia juga masih memiliki banyak permasalahan pascapanen, seperti penyusutan hasil panen karena faktor cuaca dan karena kurangnya fasilitas mesin pengering atau kondisi mesin penggiling yang sudah kurang prima. Belum lagi permasalahan minimnya daya saing produksi pangan Tanah Air karena diproduksi lewat proses yang kurang efisien. Kurang efisiennya proses produksi menyebabkan harganya menjadi mahal dan berkaitan dengan permasalahan pascapanen yang sudah disebutkan sebelumnya.

Intensifikasi pertanian melalui penggunaan alat pertanian modern dan berkualitas memerlukan investasi yang besar, maka sudah selayaknya pemerintah juga fokus untuk menjaga iklim investasi pada sektor pertanian.

Krisis energi juga mendorong kenaikan harga bahan baku pupuk karena gas bumi, yang merupakan salah satu bahan baku utama pupuk, kian mahal. Meningkatnya harga pupuk, termasuk sebagai dampak konflik Rusia - Ukraina, sudah pasti berdampak pada petani Indonesia dan produktivitas pertanian.

Akibat harga bahan baku yang kian melonjak, produksi pupuk NPK dalam negeri yang menurun hingga 31,43 persen. Belum lagi distribusi pupuk bersubsidi di Indonesia yang masih bermasalah.

Pupuk yang tidak terjangkau dan langka sudah cukup lama dikeluhkan petani dan ini dapat mendorong petani menggunakan pupuk tidak sesuai dosis hingga akan mempengaruhi produktivitas pertanian.

Komitmen pemerintah dalam menangani dampak buruk perubahan iklim pada produktivitas pertanian dan juga ketahanan pangan di Indonesia, serta terwujudnya pertanian berkelanjutan harus diwujudkan dengan aksi nyata dan dieksekusi dengan strategi yang lebih komprehensif.

Ekstensifikasi pertanian, jika masih dilakukan, harus dibarengi dengan intensifikasi termasuk melalui penggunaan bibit unggul, pupuk yang tetat jenis dan dosis, perbaikan kesehatan tanah serta adopsi teknologi pertanian modern. Akan lebih baik lagi jika pemerintah meninggalkan ekstensifikasi dan hanya fokus pada intensifikasi.

Akses terhadap pupuk yang berkualitas dan terjangkau perlu dijamin karena ketidakpastian pasokan dan mahalnya pupuk dapat mendorong praktik penggunaan pupuk yang tidak sesuai dosis. Harga pupuk yang kini sudah mahal di tingkat petani, terancam terus meningkat jika melihat krisis energi yang sedang berlangsung.

Kesenjangan harga antara pupuk subsidi dan non-subsidi perlu diperkecil supaya tidak memunculkan potensi pasar gelap yang akan merugikan petani dalam mengakses pupuk yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.

Keterlibatan pihak swasta dalam penelitian, penyuluhan, dan promosi praktik pertanian yang berkelanjutan diperlukan untuk mempercepat adopsi pertanian berkelanjutan. Meningkatkan investasi pertanian juga tidak kalah penting untuk menopang ketahanan pangan di Indonesia, mengingat permasalahan pasca panen yang masih umum terjadi.

Halaman:
Azizah Fauzi
Azizah Fauzi
Peneliti

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...