Persaingan Investasi Energi dan Fleksibilitas Kontrak Migas

Pri Agung Rakhmanto
Oleh Pri Agung Rakhmanto
10 Juni 2023, 10:00
Pri Agung
Ilustrator: Betaria Sarulina

Jika pola ini terus berlanjut, dengan konstelasi persaingan energi yang ada, maka sebetulnya akan sangat berat – jika tidak bisa dikatakan tidak realistis – untuk mencapai target produksi 1 juta barel minyak dan 12 miliar kaki kubik per hari untuk gas pada 2030.

Sekadar mempertahankan tingkat produksi yang ada saat ini saja sudah akan sangat berat. Terbukti, target lifting anggara pendapatan dan belanja negara (APBN) selama ini juga sering tidak tercapai meskipun dari waktu ke waktu angka target itu juga terus turun. 

Sunset Industry?

Dengan gambaran yang ada, apakah kemudian hulu migas kemudian akan menjadi sunset industry ? Di tingkat global, jawabannya relatif lebih mudah, yaitu tidak.

Suplai pasar minyak global selama 10 hingga 15 tahun terakhir relatif berada pada posisi aman. Dalam arti tidak ada kekhawatiran baik dari sisi jumlah cadangan maupun ketersediaan suplainya di pasaran (saat ini mampu mensuplai minyak hingga 105 juta barel per hari).

Yang terjadi, bahkan di tengah periode terjadi banyak konflik geopolitik dan perang, justru lebih sering mengalami kelebihan pasokan sehingga OPEC harus menstabilkan harga melalui kuota pembatasan produksi bagi anggotanya.

Industri hulu migas global dan sektor industri penunjangnya, dengan mayoritas bertumpu pada perusahaan migas skala internasional sebagai motornya, tetap exist dan adaptif merespon transisi energi engan melakukan inovasi dan penerapan teknologi hulu. Bukan saja makin efisien-efektif dalam memproduksikan migas yang ada namun juga makin bersih ramah lingkungan.

Salah satunya, tentu saja teknologi penangkapan, penyimpanan dan pemanfaatan karbon (Carbon Capture Storage/Utilization, CCS/CCUS). Jika revolusi teknologi shale oil-gas telah berhasil menopang kemampuan produksi hulu migas global, dalam hal merespons transisi energi, maka CCS/CCUS  pada operasi hulu migas ini dapat dikatakan merupakan jawabannya.

Saat ini, investasi pada CCS/CCUS di tingkat global belum terlalu masif. Pada Februari 2023 lalu, Badan Energi Internasional (IEA) mencatat baru di kisaran US$ 6,4 miliar atau baru mencapai 0,5% dari total investasi energi global. Potensinya, untuk periode 2020 – 2030 mencapai US$ 87 miliar.  

Apakah sektor atau indsutri hulu migas nasional akan menjadi sunset industry? Jawabannya sebenarnya berpulang pada kita sendiri. Seberapa kita mampu menarik investasi yang ada di dalam konstelasi persaingan yang ada, baik untuk investasi pada aktivitas “konvensional” eksplorasi produksi maupun pada penerapan teknologi CCS/CCUS yang sekarang dan ke depan akan menyertainya.

Di sinilah relevansi dan urgensi insentif, khususya insentif fiskal untuk meningkatkan keekonomian dan memberikan tingkat pengembalian investasi yang lebih menarik bagi investor. Dan sejatinya, Indonesia, sebagai salah satu pelopor penerapan kontrak bagi hasil produksi di dunia, telah memiliki instrumennya sejak lama.

SKK MIGAS DAN PHR TINJAU POMPA ANGGUK SUMUR BOR LAPANGAN DURI
Aktivitas hulu migas. (Katadata / Trion Julianto)

Fleksibilitas Insentif melalui Kontrak Migas

Kontrak Bagi Hasil Produksi (Production Sharing Contract, PSC) dengan mekanisme pengembalian biaya operasi (cost recovery) yang telah diterapkan sejak lama, tetapi kemudian sempat “tergeser” keberadaaannya dengan adanya kontrak PSC Gross Split,  sejatinya sangat dapat memfasilitasi pemberian insentif fiskal itu secara sederhana.

Beberapa komponen di dalamnya yang dapat diubah atau dibuat fleksibel untuk meningkatkan kelayakan keekonomian pengembangan lapangan diantaranya adalah melalui perubahan split bagi hasil (penambahan split bagi kontraktor), First Tranche Petroleum (FTP) yang diturunkan, pengembalian biaya operasi melalui depresiasi yang dipercepat, perpanjangan periode Domestic Market Obligation (DMO) Holiday dengan mengacu pada harga Indoesian Crude Price (ICP) dan penambahan investment credit. 

Seiring dengan tingkat persaingan untuk mendapatkan alokasi investasi energi yang makin ketat, untuk dapat lebih menarik secara keekonomian, besaran-besaran di dalam komponen-komponen fiskal tersebut mestinya menjadi subjek untuk dievaluasi – bersifat fleksibel dan negotiable  bilamana diperlukan - dari waktu ke waktu. Maka, kata kuncinya sejatinya adalah fleksibilitas, dalam pengertian dan objektif untuk meningkatkan keekonomian.

Dalam konteks tersebut, khususnya adalah fleksibilitas, baik dalam hal menyangkut perubahan besaran atas komponen-komponen fiskal yang ada dari waktu ke waktu maupun fleksibilitas bagi kontraktor untuk dapat memilih bentuk kontrak yang (lebih) sesuai dengan kondisi wilayah kerjanya dan strategi portofolio investasinya.

Pendekatan inilah yang kiranya perlu diterapkan dalam kontrak-kontrak pengusahaan hulu migas di tanah air, baik yang sudah berjalan maupun yang baru nantinya. Relatif sederhana dalam implementasi, namun dapat efektif untuk meningkatkan daya tarik iklim investasi hulu migas nasional dari sisi keekonomian. 

Halaman:
Pri Agung Rakhmanto
Pri Agung Rakhmanto
Dosen di FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
Editor: Sorta Tobing

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...