Sektor Energi Rendah Karbon, Skenario dan Faktor yang Mempengaruhinya

Pri Agung Rakhmanto
Oleh Pri Agung Rakhmanto
16 November 2023, 07:26
Pri Agung
Ilustrator: Betaria Sarulina

Faktor Kunci yang Berpengaruh

Berbagai skenario dan pilihan peta jalan untuk mencapai target NZE di sektor energi sebagaimana dipaparkan di atas pada dasarnya memang telah tersedia, dan dari angka-angka yang ada semuanya tampak menjanjikan. Namun, untuk merealisasikannya sangat tidak mudah.

Sektor energi Indonesia, saat ini, baik dalam hal kondisi, sistem infrasruktur maupun kebijakannya secara keseluruhan dapat dikatakan masih sangat berat-bergantung kepada bahan bakar dan sumber energi berbasis fosil. Porsi energi fosil dalam sistem energi nasional saat ini masih signifikan, jika tidak bisa dikatakan sangat signifikan.

Porsi batubara misalnya, merujuk pada data dan laporan Dewan Energi Nasional (DEN)-KESDM 2022, pada 2021 tercatat masih mencapai 37,6% dalam bauran energi primer. Porsi minyak dan gas (migas), lebih besar lagi, yaitu mencapai kisaran 51% dari bauran energi primer nasional pada 2021 lalu.

Data Kementerian ESDM (2022) menyebutkan, porsi EBET di dalam bauran energi nasional tercatat baru mencapai 14,11% dari target 23% di tahun 2025. Realisasi EBET di dalam bauran energi nasional yang belum memenuhi target tersebut menegaskan bahwa transisi energi dan pencapaian NZE memang tidak mudah untuk dilakukan.

Di dalam praktek, untuk dapat merealisasikan target NZE diperlukan investasi (pendanaan) dalam jumlah masif yang disertai dengan dukungan kebijakan fiskal dan non-fiskal. Bagi para pelaku usaha di sektor energi, pergeseran investasi dari fosil ke arah non-fosil dan rendah karbon memerlukan tambahan investasi baru.

Implikasinya, sampai dengan batas waktu tertentu hingga skala ekonominya terpenuhi, harga jual produk EBET tetap akan lebih mahal dibandingkan dengan harga energi fosil. Dalam situasi seperti ini, mekanisme pasar tidak akan dapat bekerja dan berjalan sendiri.

Perbedaan target penurunan emisi Indonesia sebesar 26% (0,038 Giga ton CO2) dengan upaya sendiri atau sebesar 41% (0,056 Giga ton CO2) jika mendapatkan bantuan dari dunia internasional, menggambarkan bahwa konsekuensi biaya yang akan timbul atas pilihan skenario yang diambil, menjadi pertimbangan utama di dalam menjalankan berbagai upaya untuk pencapaian target NZE.

Dalam konteks ini, ada tiga hal yang seluruhnya merupakan aspek ekonomi dan memerlukan kebutuhan dana di dalam prakteknya, yaitu investasi (di sisi pelaku usaha), fiskal (di sisi pemerintah) dan pasar (di sisi konsumen). Instrumen kebijakan yang dapat mewakili ketiga aspek ekonomi ini adalah kebijakan harga energi yang tepat, konsisten mengedepakan pertimbangan kaidah keekonomian dan mekanisme bisnis yang wajar, bukan kebijakan harga yang semata mengedepankan pertimbangan politis-populis.

Faktor lain yaitu pertimbangan jaminan keberlanjutan dan keamanan pasokan energi, juga tidak kalah pentingnya. Peningkatan 6% konsumsi energi fosil global terutama batubara pada 2020-2021, yaitu di Asia Pasifik (5,2%), Amerika Utara (16,1%), Amerika Latin (13,6%), Eropa (8,6%), Eurasia (1,4%), Afrika (5,7%), di tengah kampanye transisi energi yang terus menguat, menegaskan bahwa keamanan dan keberlanjutan pasokan energi tetap menjadi prioritas utama dari masing-masing negara.

Fenomena sejumlah negara yang sebelumnya telah berkomitmen meninggalkan batubara tetapi pada saat kritikal kembali menggunakan batubara, perlu menjadi perhatian dan referensi bagi Indonesia dalam menjalankan kebijakan NZE. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa aspek keamanan pasokan energi untuk setiap negara tetap merupakan yang terpenting di dalam era transisi energi dan penerapan NZE ke depan.

Revisi target waktu pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia dari tahun 2020 (Perpres No.61/2011), menjadi mundur pada 2030 (UU No.16/2016), telah mengonfirmasi bahwa pencapaian target NZE di dalam prakteknya memang tetap selalu perlu menyesuaikan dengan kondisi dan aspek ketahanan ekonomi-energi. Baik di tingkat global maupun regional-nasional yang selalu bergerak dinamis.

Hal tersebut tidak berarti kita mesti melangkah mundur dari komitmen NZE yang telah digariskan, tetapi justru menjadi pendorong untuk segera menciptakan ekosistem bisnis EBET yang lebih solid. Pengembangan EBET tidak semata-mata dilakukan hanya untuk mencapai target NZE, tetapi tetap merupakan bagian dari upaya untuk mengamankan pasokan energi di dalam negeri.

Karena itu, kerangka regulasi yang diperlukan seperti Undang-Undang Energi Terbarukan dan peraturan pelaksanaanya, aturan tentang insentif dan pelaksanaan CCS/CCUS dan perdagangan karbon, perlu segera disediakan.

 

Halaman:
Pri Agung Rakhmanto
Pri Agung Rakhmanto
Dosen di FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
Editor: Dini Pramita

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...