Pasar keuangan babak belur pada perdagangan kemarin, Senin (9/3). Indeks harga saham gabungan atau IHSG anjlok 6,58% ke 5.136. Kondisi serupa terjadi pada indeks utama di kawasan Asia, Eropa, dan Amerika. Pelaku pasar panik dengan turunnya harga minyak dan kenaikan penyebaran virus corona.
Drama terjadi ketika perdagangan saham Wall Street kena penghentian sementara atau suspend selama 15 menit. Ketika bel perdagangan berbunyi, Indeks S&P 500 langsung terjun bebas 7%. Angka penurunan ini bertahan hingga penutupannya. Begitu pula dengan Dow Jones dan Nasdaq. Kejatuhan ini merupakan yang terparah sejak krisis keuangan global 2008.
Di tengah kekhawatiran masifnya penyebaran virus corona, Arab Saudi melancarkan blitzkrieg alias serangan kilat. Tak sepaham dengan Rusia soal pemotongan produksi minyak, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman langsung menurunkan harga minyak mentahnya dengan diskon besar.
Tak hanya itu, Arab Saudi pun menaikkan produksi minyaknya hingga lebih 10 juta barel per hari pada April nanti. Hal ini membuat perdagangan harga minyak langsung amblas 20%.
(Baca: Harga Minyak Naik 5% Pasca Penurunan Terbesar Sejak Perang Teluk 1991)
Minyak jenis Brent untuk kontrak Mei 2020 sempat menyentuh harga US$ 35,97 per barel. Minyak West Texas Intermediate untuk kontrak April anjlok hingga US$ 32,82 per barel. Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan harga kedua jenis minyak itu telah menyentuh level terendah sejak 2016.
Aksi brutal MBS membuat pasar keuangan megap-megap. Ekonomi global diprediksi dapat jatuh ke dalam resesi. “Tapi ini gaya MBS yang khas kan?” kata Greg Brew, pengajar kawasan Timur Tengah di Southern Methodist University, seperti dikutip dari New York Times. “Dia adalah pengambil risiko dan cenderung mengambil keputusan impulsif.”
Black Monday atau Senin Kelabu, begitu media menyebut peristiwa kemarin. Kejadian serupa juga pernah terjadi pada 19 Oktober 1987. Ketika pembukaan pasar, volume penjualan mendadak lebih tinggi daripada pembelian saham. Imbasnya, indeks Dow Jones terjatuh 22,6%. Pasar bereaksi negatif dengan kebijakan baru pajak AS dan tingginya defisit perdagangan negara itu.
Kali ini Black Monday terjadi di saat dunia sedang berupaya menangani virus corona Covid-19. Penyebaran signifikan sudah tidak lagi berada di Tiongkok, tapi di luar negara itu. Italia per hari ini, Selasa (10/3), berada di peringkat kedua dengan jumlah terinfeksi virus corona terbanyak, yaitu 9.172 orang. Lembaga pemeringkat Moody’s memprediksi Negeri Pizza akan jatuh ke resesi pada 2020.
Lalu, di bawahnya terdapat Korea Selatan dengan jumlah penderita mencapai 7.513 orang. Pasien terbanyak tetap berada di China dengan 80.761 kasus.
(Baca: Makin Banyak, Jumlah Kasus Positif Corona di Indonesia Capai 27 Orang)
Pada pembukaan perdagangan hari ini, bursa Asia dibuka membiru. Angka-angka merah sudah tidak ada lagi. Namun, kekhawatiran pasar masih tetap terasa. Bloomberg menyebut pasar keuangan global telah masuk bear market atau harga saham yang cenderung melemah.
The Economist pun menuliskan gejolak pasar belum berakhir. Kestabilan bisa dicapai dengan dua hal. Pertama, sinyal hal terburuk telah terlewati. Namun, saat ini jelas hal itu belum terjadi. Tingkat infeksi virus corona Covid-19 di negara-negara maju justru meningkat.
Kedua, harga aset berisiko, seperti saham dan obligasi korporasi, harus cukup murah untuk menarik investor. Tapi hal itu juga masih jauh panggang dari api. “Untuk saat ini, panik (yang) berkuasa,” tulis media yang berbasis di London, Inggris tersebut.
(Baca: Hadapi Corona, Sri Mulyani Bakal Bebaskan Sementara Pajak Penghasilan)
Selanjutnya: Antisipasi Virus Corona ke Pasar Modal