Merugikan Pengusaha

Di pihak lain, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira merasa ketentuan pemberian bonus hingga lima kali gaji kepada buruh akan merugikan para pengusaha.

Tak semua pengusaha memiliki kemampuan yang sama untuk memberikan bonus tersebut, apalagi hingga lima kali gaji. "Pasal ini juga dinilai membuat ketidakpastian bagi pengusaha," kata dia.

Pengusaha pun menyampaikan langsung keluhan atas adanya ketentuan pemberian bonus hingga lima kali gaji kepada buruh. Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan pada semua sektor industri, terutama perhotelan.

Menurut Yusran, sektor perhotelan kerap menggantungkan bisnisnya secara musiman, terutama saat masa liburan. “Tidak bisa seperti ini dong, kami kan perusahaan musiman tidak bisa disamakan dengan industri. Itu yang sedang kami usulkan pemerintah harusnya memisahkan," kata Yusran di Jakarta, Rabu (12/2).

(Baca: Aturan Pesangon dalam Omnibus Law hingga 9 Bulan Gaji, Ini Hitungannya)

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, tidak ada perlakuan khusus bagi sektor usaha tertentu dalam pemberian bonus. Namun, ia memastikan bahwa pemberian bonus hanya diberlakukan bagi perusahaan besar.

"Memang tidak berlaku bagi perusahaan kecil, mikro, dan menengah. Hanya berlaku untuk perusahaan besar," katanya di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (12/2) seperti dikutip Kompas.

Ida pun memastikan bahwa bonus yang akan diberikan nantinya berbeda dari tunjangan kinerja. " Ini manfaat baru yang diperkenalkan dari omnibus law," kata dia.

Menurutnya, bonus merupakan salah satu bentuk dari kompensasi yang diberikan terhadap perubahan skema besaran pembayaran pesangon pekerja. Nantinya pesangon tidak lagi dihitung maksimal 32 kali gaji.

"Pesangonnya tidak seperti UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tapi ada formula yang kita atur dengan jaminan kehilangan pekerjaan. Ada uang saku, ada vokasi, kemudian ada akses penempatan, kemudian nanti ada sweetener (bonus)," ujarnya.

Minim Keterlibatan Akademisi-Buruh

Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada Tadjudin Nur Effendi menilai banyaknya kritik terhadap ketentuan pemberian bonus dalam Omnibus Law Cipta Kerja membuktikan pemerintah tak memiliki pertimbangan matang ketika menyusunnya.

Menurut Tadjudin, hal itu terjadi karena penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja tidak melibatkan banyak akademisi, khususnya di bidang ketenagakerjaan. Menurut Tadjudin, tim penyusun Omnibus Law Cipta Kerja itu lebih banyak didominasi unsur pemerintah dan pengusaha.

“Yang jadi penyusun tidak ada orang akademisi (di isu ketenagakerjaan). Seharusnya ada pertimbangan akademis. Jadi asumsi itu bukan dibangun berdasarkan intuisi semata,” kata Tadjudin.

(Baca: Lima Aturan Kontroversial dalam Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja)

Tak hanya akademisi, serikat buruh pun mengaku tak banyak dilibatkan dalam proses penyusunan draf Omnibus Law Cipta Kerja. Kahar mengatakan, KSPI baru diminta untuk ikut terlibat dalam tim sinkronisasi Omnibus Law Cipta Kerja pada tahapan akhir penyusunan draf.

Tawaran itu pun ditolak karena dianggap sekadar formalitas untuk mendapatkan persetujuan dari elemen serikat buruh. “Sikap KSPI menolak. Ini harusnya (dilibatkan) dari awal penyusunan draf Omnibus Law Cipta Kerja,” kata Kahar.

Nining pun menyebut KASBI tak pernah diajak ikut serta menyusun draf Omnibus Law Cipta Kerja. KASBI baru diajak terlibat saat draf Omnibus Law sudah diserahkan dan akan dibahas DPR.

Nining menilai sulit mengubah substansi dari rancangan Omnibus Law Cipta Kerja ketika pembahasannya sudah sampai di parlemen. Sebab, serikat buruh hanya akan dimintai pendapatnya lewat Rapat Dengar Pendapat Umum. “Jadi lebih baik hentikan saja pembahasannya di DPR,” kata Nining.

Halaman:
Reporter: Dimas Jarot Bayu, Fahmi Ahmad Burhan
Editor: Pingit Aria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement