Aneka program bantuan sosial digelontorkan untuk menangani dampak pandemi Covid-19. Ada sokongan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah, lalu kartu pra-kerja, hingga subsidi bagi karyawan dengan pendapatan tertentu. Sayangnya, penyaluran suntikan dana itu tersendat lantaran tak ditopang data yang baik.

Bantuan langsung tunai atau BLT bagi pekerja bergaji di bawah Rp 5 juta menjadi contoh terbaru yang terlambat dicairkan karena masalah data. Presiden Joko Widodo baru meluncurkan bantuan Rp 600 ribu per bulan pada Kamis kemarin. Ini pun untuk tahap pertama yang menyasar 2,5 juta pekerja.

Sejatinya, rencana subsidi gaji ini pertama kali digulirkan pada awal Agustus lalu. Pemerintah menggunakan data BPJS Ketenagakerjaan untuk menyalurkan bantuan tersebut. Asumsinya, mereka yang iuran di bawah Rp 150 ribu berarti setara gaji Rp 5 juta per bulan.

Tantangannya, untuk mengungkit daya beli, dana ini harus disalurkan langsung ke rekening pekerja. Sedangkan iuran BPJS Ketenagakerjaan umumnya dibayarkan oleh perusahaan.

Dalam waktu kurang dari sebulan, BPJS Ketenagakerjaan dan Kementerian Ketenagakerjaan harus mengumpulkan dan memverifikasi data, termasuk identitas dan nomor rekening masing-masing penerima. Padahal Jokowi mentargetkan 15,7 juta pekerja harus menerima BLT.

Pada tahap awal kemarin, transfer subsidi gaji dicairkan bagi 2,5 juta pekerja melalui Bank Mandiri, BRI, BNI dan BTN. “Kami harapkan di bulan September selesai 15,7 juta pekerja,” kata Jokowi, Kamis (27/8) di Istana Negara, Jakarta.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyatakan, data pekerja yang telah terkumpul sebanyak 13,8 juta orang atau sekitar 88 % dari target. Namun belum semuanya terverifikasi.

“Data yang sudah divalidasi dan diverifikasi oleh BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan kriteria Permenaker Nomor 14 Tahun 2020 sejumlah 10,8 juta orang atau 69 % dari target,” kata Ida.

Penyaluran secara bertahap juga dilakukan dalam program bantuan presiden (Banpres) produktif untuk UMKM yang diluncurkan di Istana Negara, Jakarta, Senin (24/8) lalu. Dari sejuta penerima pada tahap awal, bantuan Rp 2,4 juta per unit usaha akan disalurkan secara bertahap hingga menjangkau 12 juta usaha pada akhir bulan depan. Bantuan ini belum bisa disalurkan secara serentak karena Kementerian Koperasi dan UKM masih mengumpulkan data penerima.

Program subsidi gaji dan Banpres merupakan bagian dari stimulus yang diberikan pemerintah untuk penanganan dampak pandemi corona. Sebelumnya, pemerintah juga meluncurkan program bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat miskin dan Kartu Prakerja untuk pekerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK).

 

Bersamaan dengan transfer pertama subsidi gaji pekerja, Manajemen Pelaksana (PMO) Program Kartu Prakerja akan membuka pendaftaran gelombang VI. “Akan dibuka hari ini, kuotanya tetap sama yaitu 800 ribu peserta,” kata Head of Communications Manajemen Pelaksana Kartu Pra Kerja, Louisa Tuhatu dalam keterangan tertulis, Kamis (27/8).

Ketua Tim Pelaksana Komite Cipta Kerja Mohammad Rudy Salahuddin mengatakan, Manajemen Pelaksana telah menetapkan kuota 800 ribu akan berlaku hingga gelombang terakhir. “Kami berharap pada akhir Oktober ini, kalau semua lancar, kemungkinan target 5,6 juta peserta 2020 selesai,” ujarnya.

Sebelum itu, Komite harus melakukan pembenahan hingga pendaftaran Kartu Prakerja yang sempat tertunda pada gelombang IV. Kini, pemerintah memutuskan untuk melanjutkan program kartu prakerja pada tahun depan sebagai upaya pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021, dana kartu prakerja direncanakan Rp 10 triliun. Anggaran tersebut lebih rendah dari anggaran tahun ini sebesar Rp 20 triliun.

Selain lebih lambat, distribusi bantuan sosial juga kerap menjadi tak tepat sasaran karena masalah data. Ombudsman Indonesia mencatat ada 1.052 aduan yang terkait masalah penyaluran bansos hingga Juni 2020.

Rata-rata laporan terkait bansos ialah bantuan yang tidak tersampaikan kepada penerima. Kemudian, ada juga bantuan sosial yang salah sasaran. Dalam kunjungan Komisi VIII DPR ke Provinsi Banten pada 30 Juni lalu, misalnya, ada pegawai Negeri Sipil hingga anggota dewan terdaftar sebagai penerima bansos.

“Kemudian ada orang kaya yang terdaftar. Meski hanya beberapa persen saja ini akan menganggu rasa keadilan masyarakat,” kata Ketua Komisi VIII DPR Yandri Sutanto, Selasa (30/6) melansir Antara.

Masalah lainnya adalah kurangnya transpransi informasi. Keterbukaan diperlukan terutama saat bantuan itu tidak disalurkan secara serentak untuk menghindari kecemburuan di antara penerima.

Momentum Perbaikan Data

Sistem penetapan sasaran saat ini didasarkan pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang baru mencakup 38 % penduduk. Sedangkan, jaring pengaman sosial dalam pandemi Covid-19 ditujukan untuk 40 % populasi dengan pendapatan terendah.

Sebagai perbandingan, Pakistan, Republik Dominika, dan Filipina merupakan tiga negara dengan basis data penetapan sasaran bantuan sosial terbesar. Masing-masing negara memiliki cakupan data 87, 85, dan 75 % dari jumlah penduduknya.

Masalah lain, data milik pemerintah saat ini merupakan hasil Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) 2015. Sedangkan, pembaharuan data penerima bantuan seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah (Pemda) melalui koordinasi dengan Kementerian Sosial.

“Nah, tidak semua Pemda melakukan updating sampai kemudian terjadi Covid-19 di 2020 yang membutuhkan data lebih baru,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Webinar Gotong Royong Jaga UMKM Indonesia yang diselenggarakan Katadata.co.id, Selasa (11/8).

Namun, karena dampak ekonomi pandemi Covid-19 begitu besar, pemerintah tak bisa menunggu penyempurnaan data penerima bantuan untuk menyalurkan bansos. “Makanya dilakukan pembayaran dulu sambil ke bawah kami tambahkan lagi program sosial untuk bisa menyapu yang belum mendapatkan,” ujarnya.

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dalam risetnya menyebutkan, pemerintah perlu memanfaatkan momentum pandemi Covid-19 untuk memperkuat data kependudukan. Penerima bantuan sosial, baik yang menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) maupun di luar itu, seperti peserta program kartu prakerja harus tercatat dengan baik. Data ini kemudian harus diverifikasi secara berkala.

Hingga 7 Agustus, pemerintah telah menyalurkan program perlindungan sosial mencapai 41,93% dari total anggaran sebesar Rp 203,9 triliun. Di antaranya, ada untuk Program Keluarga Harapan (PKH), Program kartu sembako, hingga BLT Dana Desa.

Tabel: Perubahan Program Bantuan Sosial Sebelum dan Sesudah Covid-19, 2020

ProgramKomponenSebelum PandemiSetelah Pandemi
Program Keluarga Harapan (PKH)SasaranPeriode PenyaluranAlokasi Anggaran9,2 Juta KeluargaTriwulananRp 29,1 Triliun10 Juta KeluargaBulananRp 37,4 Triliun
Program Sembako (BPNT)SasaranNilai ManfaatAlokasi Anggaran15,2 Juta KeluargaRp 150.000/BulanRp 27,4 Triliun20 Juta KeluargaRp 200.000/BulanRp 43,6 Triliun
Tarif Listrik450VA: 24 juta pelanggan900VA: 7 juta pelangganBersubsidiBersubsidiGratisGratis
Insentif PerumahanSubsidi Uang MukaSubsidi Bunga150.000 Unit677.000 UnitRp 4 juta/unit (+175.000 unit)Selisih Bunga 5% Bank Pelaksana 6-7% (+175.000 unit)
Program PrakerjaTarget PenerimaInsentif PelatihanInsentif Pasca Pelatihan---- 5,6 juta orangRp 1 JutaRp 600 ribu x 3 bulan
Program Lainnya (dalam pembahasan)Alokasi Anggaran-Rp 20 Triliun

Sumber: Kementerian Keuangan (Bahan Rapat Terbatas 7 April 2020)

Reporter: Dimas Jarot Bayu, Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami