Belajar dari Kejatuhan Raksasa Asuransi Dunia AIG
Pertengahan September 2008, bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, mengumumkan penyelamatan American International Group (AIG). Dana talangan diguyurkan hingga US$ 85 miliar, sekitar Rp 935 triliun dengan kurs saat itu. Pasar menyambut dengan suka-cita. Bursa-bursa di penjuru dunia menghijau mengiringi penyelamatan AIG.
Upaya The Fed tak membiarkan AIG mati menjadi penting ketika dunia begitu resah lantaran pasar finansial tengah babak-belur akibat kebangkrutan Lehman Brothers. Rontoknya salah satu bank investasi terbesar di dunia itu telah memicu aksi jual besar-besaran di pasar saham di seluruh dunia.
Keputusan tersebut sejalan dengan langkah Departemen Keuangan Amerika yang sebelumnya menyelamatkan lembaga penjamin kredit perumahan Fannie Mae dan Freddie Mac. “Pinjaman tersebut memiliki jangka waktu dan kondisi yang didesain untuk melindungi kepentingan pemerintah Amerika dan para pembayar pajak,” demikian pernyataan The Fed yang dikutip AFP ketika itu.
Kasus AIG, kata Ardhienus, bisa menjadi cermin bagi industri asuransi di Indonesia. Menurut Asisten Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia ini dalam kolom opini di Bisnis pada 19 Februari tahun lalu, yang mendasari keputusan The Fed yakni kondisi AIG dianggap sistemik. “Apabila perusahaan itu gagal dapat menyebabkan instabilitas sistem keuangan dan berdampak pada terganggunya kegiatan ekonomi,” ujarnya.
Penyelamatan perusahaan asuransi tersebut, menurut dia, membalikkan argumen selama ini bahwa institusi keuangan yang menimbulkan risiko sistemik dan mengganggu stabilitas sistem keuangan hanyalah sektor perbankan. Ternyata hal itu berlaku pada sektor asuransi.
Dengan mengutip studi empiris Weiß dan Mühlnickel yang diterbitkan pada 2004 dan Bernal pada 2014 memperlihatkan risiko sistemik yang ditimbulkan sektor asuransi lebih besar ketimbang perbankan. Menurut Ardhienus, ada beberapa faktor yang dapat menjelaskannya.
Pertama, terjadi perubahan perilaku pada perusahaan asuransi, yakni melakukan kegiatan di luar aktivitas tradisionalnya, yang rupanya berisiko tinggi seperti credit derivatives dan financial guarantees. AIG, Hartford Financial Services Group (HSFG), atau Lincoln National banyak menawarkan produk asuransi yang diiringi investasi yang memberikan jaminan pengembalian tinggi.
AIG juga menjadi penerbit Credit Default Swap (CDS) atas surat utang korporasi. Langkah bisnis ini kemudian menyeretnya menuju krisis. Banyak klaim dari pembeli CDS akibat surat utang yang dijadikan underlying mengalami default, imbas dari krisis.
Faktor kedua, kata Ardhienus, perusahaan asuransi memiliki hubungan erat dengan sektor keuangan maupun korporasi. Ini juga terkait peran perusahaan asuransi yang krusial bagi kegiatan ekonomi seperti penyedia produk proteksi terhadap risiko keuangan, dan sebagai sumber pendanaan bagi korporasi yang menerbitkan surat utang dan saham.
Penguasaan yang besar atas surat utang dan saham inilah yang perlu diwaspadai otoritas, terutama dalam periode krisis. Di kondisi itu, nilai surat berharga cenderung menurun. Untuk menghindari loss yang semakin besar dan memenuhi kebutuhan likuiditas, perusahaan asuransi akan menjual surat utangnya secara masif. Pada gilirannya hal ini mengakibatkan harga semakin menurun. Efek menularnya atau contagion akan mengeskalasi krisis menjadi sistemik.
Faktor terakhir dilihat dari ukuran perusahaan. Semakin besar institusi asuransi, semakin besar pula kemampuannya untuk menyediakan produk dan menginvestasikan dananya di pasar keuangan. Namun, konsekuensinya, makin besar pula ketergantungan atau tingkat interkoneksinya dalam pasar keuangan.
Indikator-indikator tersebut bisa menjadi alat ukur untuk melihat dinamika di Tanah Air. Apalagi di Indonesia belum ada Lembaga Penjamin Polis (LPP) seperti yang diamanatkan Undang-Undang Perasuransian Tahun 2014. Lembaga ini semestinya akan berlaku seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bagi industri perbankan yang menjamin dana pihak ketiga.
Beda Persepsi Pejabat Negara akan Dampak Kemelut Jiwasraya
Bukan hanya Sri Mulyani yang masih menelaah risiko sistemik gagal bayar di Jiwasraya. Beberapa pejabat negara juga memberi perhatian khusus. Namun, belum ada pandangan bulat atas kasus tersebut.
Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, kasus Jiwasraya berimbas pada menurunnya kepercayaan investor. Melorotnya Indeks Harga Saham Gabungan 0,85 % ke level 6.225 pada penutupan perdagangan Rabu kemarin -bersamaan dengan pernyataan BPK akan risiko sistemik Jiwasraya- menjadi salah satu indikasi. “Karena orang tidak percaya, akhirnya investor lari ke negara lain,” kata Erick.
Kementeriannya akan memastikan bahwa penyelesaian gagal bayar Jiwasraya berjalan dengan baik. Program penyelamatan telah dirancang, mulai dari pembentukan anak usaha hingga membuat induk usaha asuransi. Dengan membentuk induk usaha, misalnya, diperkirakan meraup dana Rp 1,5 triliun yang bisa untuk mencicil ke pemegang polis asuransi.
(Baca: Erick Thohir Sebut Sudah Ada Formula untuk Sembuhkan Jiwasraya)
Persepsi berbeda muncul dari Bahlil Lahadalia. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini memastikan kasus gagal bayar Jiwasraya tidak mengganggu iklim investasi. “Jiwasraya adalah murni kriminal terkait penggelapan dana oleh oknum-oknum tertentu. Asuransi Jiwasraya tidak akan mengganggu iklim investasi di Indonesia,” Bahlil menyampaikan pandangan resminya sehari kemudian.
Sementara itu, Anggota Komite Investasi Bidang Komunikasi dan Informasi BKPM Rizal Calvary Marimbo mengatakan iklim investasi dikelola penuh oleh pemerintahan yang cakupannya jauh lebih besar dan luas. Adapun investasi Jiwasraya sebatas satu entitas perusahaan. Karena itu, dia menganggap terlalu jauh bila mengaitkan gagal bayar di Jiwasraya terhadap iklim investasi.
Karena itu, dia menegaskan kasus Jiwasraya tidak akan berdampak sistemik terhadap industri asuransi lainnya. Untuk bisa dianggap mengganggu iklim investasi, kasus Jiwasraya harus punya daya ganggu sistemik baik ke situasi moneter, keuangan, maupun pengelolaan makro ekonomi nasional.
Kejaksaan Agung Menelusuri Dugaan Korupsi di Jiwasraya
Kemelut di Jiwasraya membawa Kejaksaan Agung untuk menelisik kasus tersebut lebih dalam. Namun hingga kini belum ada tersangka dalam kasus dugaan korupsi di sana. Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan lembaganya sedang memeriksa lima ribu transaksi investasi Jiwasraya.
Penelusuran ini akan memetakan para tersangkanya yang butuh waktu cukup lama. “Karena transaksi yang terjadi hampir lima ribu transaksi bahkan lebih. Jadi kami tidak ingin gegabah,” kata Burhanuddin di Gedung BPK, Rabu (8/1).
Pihaknya akan memilah ribuan transaksi tersebut antara bodong dan resmi dalam rupa investasi saham, reksa dana, hingga pengalihan pendapatan. Setelah itu ada uji kecurangan.
Untuk keperluan tersebut, Kejaksaan Agung telah menggeledah 13 objek yang berkaitan dengan Jiwasraya. Penyidik pun sudah memeriksa 98 saksi. Hasilnya, kata Burhannudin, ada sedikit titik terang. “Ada perbuatan melawan hukum,” ujarnya.
Pengusutan dugaan korupsi Jiwasraya naik ke tingkat penyidikan sejak 17 Desember 2019, seiring keluarnya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan Nomor 33/F2/Fd2/12 Tahun 2019. Langkah hukum Kejaksaan juga diselaraskan dengan audit investigasi tahap kedua yang sedang dikerjakan BPK. Lembaga audit ini masih menghitung kerugian negaranya.