Kedua, kesesuaian isu. Semakin dekat isu yang diangkat dengan preferensi pemilih, semakin besar peluang partai untuk mendapatkan dukungan suara. Ketiga, konten iklan yang kreatif. Ini terkait kemampuan untuk mengemas pesan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan target audiens.

Di sisi lain, terdapat fenomena cukup khusus pada Pemilu 2019. Maraknya politik kebencian berbasis identitas menjadi insentif murah bagi sebagian partai dibandingkan promosi lewat iklan televisi. Pemilu serentak juga berpengaruh, karena memberi fokus lebih besar pada Pilpres dibandingkan Pileg. Makanya, terlihat sumber daya parpol lebih banyak dikerahkan untuk Pilpres ketimbang Pileg.

Arif menilai efek ekor jas atau pengaruh figur politik tidak terlalu dominan dalam Pemilu kali ini. PDIP dan Gerindra memang mendapat efek elektoral lebih baik, tetapi tidak terdapat lonjakan luar biasa pada perolehan suara mereka. Distribusi suara untuk partai-partai yang berpeluang lolos ke Senayan juga tidak mengalami perubahan mencolok dibandingkan lima tahun sebelumnya, kecuali suara Hanura yang banyak tergerus.

(Baca: LIPI Sebut Pemilu 2019 Jadi 'Kuburan Massal' Partai Politik)

Pemilih-pemilih loyal memberi warna lebih kuat pada relatif bertahannya konfigurasi kepartaian di parlemen. Namun, bukan berarti tidak terdapat dinamika perubahan dalam konstelasi politik menyangkut isu-isu penting serta dalam relasi antara DPR dan pemerintah.

Iklan di Media Sosial Punya Pengaruh Besar

Di luar faktor-faktor yang disebutkan Arif, mungkin juga pengaruh iklan di media televisi untuk mengkampanyekan partai politik sudah mulai luntur. Apalagi dengan pesatnya penggunaan internet dan media sosial.

Hasil survei Charta Politika menunjukkan informasi di media sosial cukup berpengaruh dalam menarik masa pemilih. Dari survei itu, 81,3 persen responden menyatakan informasi di media sosial mempengaruhi pilihan mereka. Hanya 13,6 persen yang bilang tidak berpengaruh dan 5 persen menjawab tidak tahu.

(Baca: Hasil Survei: Media Sosial Mempengaruhi Pilihan saat Pemilu)

Charta Politika melakukan survei tersebut pada periode 19-25 Maret 2019 dengan metode wawancara tatap muka terhadap 2 ribu responden. Sampel dipilih secara acak di beberapa kelurahan yang tersebar seluruh Indonesia. Sedangkan tingkat kesalahan atau margin of error survei ini mencapai 2,19 persen.

Direktur Riset Charta Politika, Muslimin, mengatakan tren penggunaan media sosial semakin dalam dibandingkan Pemilu 2014. Dia pun mengingatkan partai dan tokoh politik tidak bisa lagi mengabaikan kekuatan media sosial. "Karena media sosial jadi medium masyarakat untuk mengakses informasi," ujarnya di Jakarta, Kamis (4/4).

Dari data hasil survei tersebut, metode iklan bergambar menjadi salah satu yang efektif dirasakan masyarakat. Mayoritas responden mengatakan iklan dengan gambar logo parpol, calon presiden dan wakil presiden, tokoh partai dan artis, cukup efektif menjadi pertimbangan publik dalam pemilih.

(Baca: Sambut Pemilu 2019, Facebook Luncurkan Fitur Info Kandidat Dewan)

Terkait kemenangan PDIP, Gerindra, dan Golkar, kemungkinan hubungannya dengan pemilihan iklan di spanduk dan baliho. Hasil survei Charta Politika menyebutkan sebagian besar responden menyatakan sering melihat baliho dan spanduk PDIP. Gerindra dan Golkar berada di urutan kedua dan ketiga.

Halaman:
Reporter: Ameidyo Daud Nasution
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement