Pemerintah selalu menimbang dengan keras saat hendak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Begitu pula ketika akan memangkas subsidi sumber energi ini. Sebagai komoditas yang dipakai hampir semua penduduk, efek politis selalu dihiraukan, apalagi di tahun pemilu. Sebaliknya, kebijakan mempertahankan subsidi atau harga menambah gejolak ekonomi, termasuk memukul daya tahan rupiah.
Harga minyak mentah dunia telah jauh meninggalkan asumsi patokan minyak Indonesia (ICP) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar US$ 48 per barel. Awal bulan ini, minyak jenis Brent menyentuh US$ 85 per barel. Walau kemudian menurun, Jumat kemarin masih tetap di level tinggi US$ 76,78 per barel.
(Baca juga: Harga Minyak Brent Turun ke US$ 76,44 Efek Janji Arab Naikkan Produksi)
Sebenarnya, pemerintah bukan tak mempredisksi situasi ini. Maret lalu, Sri Mulyani sudah meramal realisasi ICP dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melampaui asumsi APBN 2018. Di satu sisi, perubahan ICP dan nilai tukar rupiah bakal menambah penerimaan negara. Di sisi lain, perubahan tersebut membuat beban subsidi energi bertambah.
Karenanya, ketika itu pemerintah memutuskan harga BBM bersubsidi dan listrik tidak naik untuk menjaga daya beli masyarakat. “Sehingga menjadi motor penggerak ekonomi bersamaan dengan investasi dan ekspor,” kata Sri Mulyani. (Baca: Sri Mulyani Ramal Asumsi Harga Minyak dan Rupiah di APBN 2018 Meleset).
Ramalan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu bukan hanya terbukti. Kenyataannya lebih jauh dari itu. Harga minyak mentah dunia saat ini tertinggi sejak akhir 2014 yang ketika itu mencapai US$ 99,08 per barel. Sementara pelemahan rupiah, walau bukan yang terburuk, sepanjang tahun ini masuk lima besar yang paling terpukul dolar Amerika setelah Turki, Brasil, Rusia, dan India, yakni sebesar -12,8 persen.
Pada awal September kemarin, misalnya, nilai tukar rupe dan rupiah memimpin pelemahan mata uang Asia. Dari Januari-September 2018, mata uang India melemah lebih dari 10%, terdalam dibanding mata uang Asia lainnya. Diikuti mata uang Indonesia yang terdepresiasi lebih dari 9%. Sementara mata uang utama Asia yang berhasil menguat terhadap dolar AS hanya yen Jepang. (Lihat grafik di bawah ini).
Untuk mengatasi dua tekanan ini -lonjakan harga minyak dan kejatuhan rupiah- Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya menyarankan pemerintah menaikkan harga BBM. Dengan kebijakan ini, masyarakat akan lebih berhemat menggunakan bahan bakar tersebut. Ujungnya, impor BBM berkurang sehingga membantu memperbaiki defisit neraca berjalan (CAD) dalam jangka pendek.
Banyak ekonom melihat CAD menjadi momok yang terus menghantui ekonomi Indonesia sejak terjadi pada 2004. Penyumbang defisit paling besar dari sektor minyak dan gas. Bulan lalu, misalnya, nilai ekspor migas mencapai US$ 1,21 miliar sementara impor US$ 2,28 miliar. Alhasil, neraca perdagangan migas nasional defisit US$ 1,07 miliar.
Secara akumulasi Januari-September, neraca migas defisit US$ 9,38 miliar. Angka ini melonjak 59,5 % dari tahun sebelumnya US$ 5,88 miliar. (Lihat grafik di bawah ini).
Karena itu, Berly melihat penting bagi pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM dengan perkembangan pasar dunia. Apalagi, harga BBM dengan keekonomiannya sudah terpaut jauh sehingga perlu diantisipasi. “Kalau ekonom, kita yakin seharusnya harga naik. Memang harganya sudah seperti itu, jangan ditutupi,” kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (26/10).
Tak hanya itu, Berly menilai pemerintah perlu mengurangi subsidi BBM. Dengan begitu, anggaran negara bisa dimaksimalkan untuk kebutuhan masyarakat lainnya seperti sektor kesehatan. “Prinsipnya, kalau subsidi jangan ke barang, tapi ke orang, ke orang miskin. Kalau subsidi ke barang, potensi tidak tepat sasaran tinggi apalagi BBM dikonsumsi orang banyak,” ujarnya.
Hal senada beberapa kali disuarakan oleh Chatib Basri. Menteri Keuangan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini mengatakan terus melemahnya rupiah tak jauh berbeda dari faktor yang terjadi pada 2013. Rentannya rupiah tidak lain karena ekonomi Indonesia masih terbebani defisit neraca transaksi berjalan, dengan salah satu sumber terbesarnya dari migas.
Dia pun menyarankan pemerintahan Presiden Joko Widodo mengatasinya dalam jangka pendek dengan menaikkan harga BBM. Langkah ini penting diambil mengingat terjadi disparitas harga BBM di dalam negeri dan internasional terlalu jauh. Akibaatnya, ada peluang terjadi penyeludupan sehingga volume impor minyak terus meningkat.
Bila mengacu ke beberapa negara lain, harga BBM di Indonesia memang tergolong paling murah. Berdasarkan data Globalpetrolprice, harga BBM di Indonesia US$ 0,7/liter atau setara Rp 10.500/liter dengan kurs Rp 15 ribu per dolar. Angka tersebut berada di urutan kedua termurah setelah harga BBM di Malaysia yang dijual Rp 7.950 per liter. Sementara Singapura merupakan negara dengan harga BBM termahal di Asia Tenggara. (Lihat grafik di bawah ini).
Suara seirama disampaikan pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto. Jika ditinjau dari perspektif ekonomi, seharusnya harga BBM Premium dan Solar harus disesuaikan mulai pertengahan 2016. Sebab, sejak itu sudah ada selisih harga BBM yang ditetapkan pemerintah dengan harga keekonomiannya. Hingga kini, Premium masih Rp 6.450 per liter dan Solar Rp 5.150 per liter.
Namun dari perspektif politik, kata Pri, pemerintah kemungkinan akan menahan diri untuk menaikkan harga BBM. “Sudah tanggung kalau menaikkan harga BBM sekarang. Tahun anggaran 2018 sudah hampir selesai, pemilu juga sudah dekat, April 2019,” kata dia.
Sumber Katadata.co.id di pemerintahan juga mengabarkan perdebatan sengit antara yang pro mengutamkan aspek politik dan mereka yang mendukung reformasi struktural dengan mengurangi subsidi. Di kubu pro politik, kenaikan harga BBM dikhawatirkan memicu inflasi sehingga melemahkan daya beli masyarakat. Ujungnya, persepsi masyarakat kepada pemerintah menurun.
Bila ini terjadi akan buruk bagi Joko Widodo yang bakal berlaga pada Pilpres 2019. Walau jauh meninggalkan Prabowo Subianto, elektabilitas Jokowi, demikian dia biasa disapa, belum kokoh benar. Sejumlah survei menunjukkan keterpilihan mantan Gubernur DKI Jakarta itu 52 – 58 persen. Jika mengacu pada Pilpres 2009, dia mesti mengantongi elektabilitas di atas 60 persen seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sebenarnya, bukan kali ini satu pemerintahan menimbang hal demikian. Bila ditarik ke belakang, SBY memilih tak menaikkan harga BBM pada 2014 lalu saat harga minyak mencapai US$ 108,62 per barel. Padahal, ketika itu dia sudah masuk masa transisi. SBY bergeming. Alasannya, tanggung jawab tersebut bisa dipikul oleh pemerintahan yang baru.
Kal ini, kubu yang pro pembenahan struktur ekonomi mendorong menaikkan harga BBM dan memangkas subsidi. Langkah tersebut dinilai mujarab untuk menekan defisit neraca berjalan. Pelaku pasar akan merespons positif sehingga rupiah akan menguat dan bursa efek pun bergairah.
Selain itu, dampak politis kenaikan harga BBM lebih mudah ditangani dalam beberapa bulan mendatang. Hal berbeda ketika menghadapi rupiah yang masih loyo. Sebab, selain faktor internal, banyak penyebab eksternal yang akan menentukan seperti rencana bank sentral Amerika, The Fed, mengerek suku bunga, perang dagang Amerika-Cina, dan ancaman lonjakan harga minyak.
Puncak beda pandangan ini mencuat saat pemerintah tak jelas mengumumkan kenaikan harga Premium. Pada Rabu (10/10) sore, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyampaikan kenaikan Premium di sela-sela pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali. Harga Premium untuk wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali) dinaikkan menjadi Rp 7.000 per liter dari Rp 6.550 per liter. Di luar Jamali, harganya Rp 6.900 per liter dari Rp 6.450 per liter.
(Baca: Tiga Penyebab Jokowi Menunda Kenaikan Harga Premium )
Namun, sekitar setengah jam kemudian, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengumumkan kenaikan harga BBM batal. Menurutnya, pembatalan ini merupakan arahan langsung dari Presiden Joko Widodo. “Agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan Pertamina,” katanya.
Tak ada perubahan itu berlangsung hingga sekarang. Menurut Pri, jika BBM tidak naik, ada sejumlah hal yang akan terjadi. Pertama, selisih harga BBM dengan harga keekonomian akan semakin besar. Kedua, defisit fiskal APBN kian melebar. Ketiga, beban keuangan Pertamina bertambah.
Lalu keempat, secara tidak langsung dapat memberi sentimen negatif terhadap nilai tukar rupiah. Kelima, konsumsi BBM akan semakin tinggi karena harga tetap sehingga memperbesar impor BBM yang ujungnya meningkatkan defisit neraca migas. “Keterkaitannya juga ke pelemahan nilai tukar rupiah lagi,” ujar dia.
Alhasil, Pri menyimpulkan jika pemerintah pada akhirnya menaikkan harga BBM, perlu dibarengi dengan dua upaya. Pertama membantu daya beli masyarakat yang terdampak paling besar dan pengendalian inflasi terkait kenaikan harga barang-barang lainnya.
Kedua, perlu mengantisipasi kebijakan embargo Presiden Amerika Donald Trump terhadap Iran November mendatang. Langkah ini dapat membuat harga minyak melonjak. Sejumlah analisis dunia bahkan memprediksi harga minyak bisa tembus US$ 100 per barel, walaupun IMF sempat meramalkan sebaliknya.
Pri memperkirakan pemerintah masih bisa menanggung beban fiskal untuk tahun ini jika harga minyak bergerak di kisaran US$ 80-85 per barel. “Untuk 2019, berbeda lagi kondisinya karena pemerintah akan menggunakan APBN yang baru,” kata dia.
Kini, bola kembali di kaki pemegang kekuasaan. Akankah pemerintah mengutamakan kebijakan populis ataukah menaikkan harga BBM untuk menyembuhkan defisit transaksi berjalan dan memperkuat rupiah?
Dalam kolom di harian Kompas, Jumat kemarin, Chatib Basri menutup artikelnya mengenai beratnya ekonomi tahun-tahun depan, di antaranya terkait rupiah. Ia menyitir pidato “Musim Dingin” Jokowi di pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali. Menurutnya, tahun depan tak hanya menyimpan musim dingin, bahkan berpotensi menimbulkan badai salju. Karena itu, “Kita perlu bijak, dan berani memilih di antara pilihan yang sulit. Tak bisa terus datang dengan kebijakan populis.”