Kasus SNP merusak nama harum Leo Candra sebagai pendiri Grup Columbia. Bagi konsumen kelas menengah dan bawah, Columbia populer sebagai toko ritel yang menyediakan solusi bagi kebutuhan terhadap produk elektronik, furnitur, dan peralatan rumah tangga. Grup usaha berdiri sejak 1982 tersebut memilik lebih dari 500 showroom di 300 kota dengan principal produsen antara lain Olympic, Nozomi, Yanmar, Modena, Fujitec, Sanken, dan lainnya.

Selain menjual tunai, Columbia menawarkan juga pembelian barang secara kredit. Pada 2002, Leo mengakuisisi SNP Finance untuk mendukung layanan pembiayaan secara kredit. Konsumen Columbia pun menjadi nasabah utama SNP, yang memiliki 72 kantor cabang.

Atas kesuksesannya dalam mengembangkan bisnis pembiayaan retail, Leo mendapatkan penghargaan Lifetime Achievement Award in Multifinance Industry 2017 dari Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) pada 14 Desember 2017. Namun, Direktur APPI Suwandi Wiratno menyatakan, asosiasi sudah mencabut penghargaan kepada Leo sejak kasus gagal bayar MTN mencuat.

Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) SNP di Pengadilan Niaga Jakarta juga makin rumit dengan penyidikan kasus pidana oleh polisi. Pasalnya, ketiga direktur SNP sudah ditahan. PKPU adalah proses penyelesaian dan restrukturisasi utang dalam hal debitur atau kreditur menilai debitur tidak dapat lagi melanjutkan pembayaran utang yang sudah jatuh waktu.

Corporate Secretary SNP Finance Ongko Purba Dasuha sebelumnya menyatakan, tagihan total kepada SNP hanya Rp 4,07 triliun, bukan Rp 14 triliun. Rinciannya, tagihan kreditur separatis (kreditur dengan jaminan) senilai Rp 2,2 triliun yang berasal dari kredit dari 14 bank.

Mereka adalah Bank Mandiri dengan utang pokok Rp 1,40 triliun, BCA Rp 209 miliar, Bank Panin Rp 140 miliar, Bank J Trust Rp 55 miliar, Bank Resona Perdania Rp 73 miliar, Bank Nusantara Parahyangan Rp 46 miliar, Bank Victoria International Rp 55 miliar, Bank Ganesha Rp 75 miliar, Bank National Nobu Rp 33 miliar, Bank Woori Saudara Rp 16 miliar, Bank BJB Rp 25 miliar, Bank CTBC Rp 50 miliar, Bank Sinarmas Rp 9 miliar, dan Bank Capital Indonesia Rp 30 miliar.

Ditambah dengan utang bunga senilai Rp 9,75 miliar dan utang denda senilai Rp 124 juta, total tagihan separatis SNP menjadi Rp 2,22 triliun. Sisanya adalah tagihan 336 pemegang MTN senilai Rp 1,85 triliun.

Menyeret Akuntan Publik

Kasus ini juga menyeret akuntan publik yang mengaudit SNP.  Sebab, problem dalam laporan keuangan SNP seharusnya ditemukan dalam proses audit oleh akuntan publik. Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah menjatuhkan sanksi administratif kepada kantor akuntan publik yang diketahui melakukan audit atas laporan keuangan SNP tahun buku 2012 hingga 2016.

Mereka adalah Akuntan Publik Marlinna, Akuntan Publik Merliyana Syamsul, dan Kantor Akuntan Publik (KAP) Satrio Bing, Eny & Rekan (Deloitte Indonesia). Sanksi administrasi diberikan setelah Pusat Pembinaan Profesi Penunjang Keuangan (PPPPK) Kementerian Keuangan memperoleh laporan pengaduan dari OJK.

Bank Mandiri sendiri berencana memidanakan kantor akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan SNP. Sebab, mereka dinilai tak mengaudit laporan tersebut dengan sebenarnya. Kepada CNN Indonesia, Sekretaris Perusahaan Rohan Hafas mengungkapkan, problem ditemukan setelah Mandiri mengaudit ulang laporan keuangan SNP. Setelah hasil pemeriksaan dari Ikatan Akuntan Publik (IAI) keluar, Mandiri akan menggugat para auditor secara pidana.

Halaman:
Editor: Yura Syahrul
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement