Hulu hingga ke hilir

Upaya menurunkan harga gas untuk industri bukan perkara mudah karena mencakup rantai yang banyak dan panjang. Jika dibedah per sektor, yaitu hulu, midstream dan hilir, maka masing-masing menyimpan masalah sehingga harga gas tinggi. Alhasil, para pelaku usaha di setiap sektor itu saling adu kuat agar marginnya tak menciut gara-gara penurunan harga gas.  

Jika harga gas di hulu ditekan, maka bisa berujung pada berkurangnya nilai keekonomian dari suatu proyek yang diperoleh kontraktor migas. Sedangkan kalau margin di midstream ditekan, bakal memantik protes para trader gas yang balik menuding harga gas di hulu yang kemahalan. Adapun, pelaku industri ogah membeli gas kalau harganya kemahalan.

Padahal, harga gas di hulu sulit ditekan karena menggunakan rumus harga tetap dengan persentase eskalasi tahunan alias tidak mengikuti harga minyak bumi. Rumus ini dibuat sebagai insentif ketika harga minyak di atas US$ 60 per barel. Namun, saat harga minyak rendah saat ini, perhitungan harga gas itu malah menjadi disinsentif.

Grafik: Produksi dan Konsumsi Gas 2005-2014

Karena itu, ke depan, Kementerian ESDM berencana menyusun ulang formula harga gas. Kedua, mengaudit biaya operasi kegiatan hulu migas, penyederhanaan proses bisnis dan percepatan eksekusi proyek sehingga menciptakan efisiensi. Ketiga, formulasi ulang kebijakan pemanfaatan hasil gas bumi untuk menggerakkan ekonomi.

Persoalan lainnya adalah, harga gas di hilir merupakan harga gas hulu ditambah toll fee atau biaya pipa dan distribusi hingga ke pembeli akhir. Menurut Agus, harga gas di hilir ditetapkan oleh badan usaha dan hanya biaya pipa yang ditetapkan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas. Jadi, harga gas berpotensi naik tinggi ketika sampai di hilir.

Selain itu, rata-rata biaya distribusi gas bumi masih tinggi, yakni US$ 2 per mscf. Lewat revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 tahun 2009, pemerintah berencana mengatur biaya kegiatan midstream dan downstream alias tarif distribusi tersebut. (Baca: Beberapa Skenario Penurunan Harga Gas Versi Kementerian Energi)

Besaran tarifnya berdasarkan batasan maksimal tingkat pengembalian investasi/Internal Rate of Return (IRR) infrastruktur dan margin niaga. Tarif penyaluran ini juga dibedakan antara badan usaha yang memiliki infrastruktur dan badan usaha yang menyewa infrastruktur.

Di sektor hilir, Agus juga menyoroti penjualan gas melalui trader atau badan usaha bertingkat. Sudirman Said, Menteri ESDM terdahulu, pernah menyebut hanya 25 persen dari 60 badan usaha penyaluran gas bumi, yang memiliki infrastruktur gas.

Hal inilah yang ditengarai turut menyebabkan harga gas tinggi ketika sampai ke tangan konsumen akhir. Ke depan, Menko Perekonomian mempercepat masa transisi kewajiban pembangunan infrastruktur oleh trader gas dari dua tahun menjadi sampai akhir 2016. Artinya, jika sampai 1 Januari 2017 tak membangun infrastruktur maka para trader itu tidak akan mendapatkan alokasi gas.

Saling tuding

Ketua Indonesian Natural Gas Trader (INGTASabrun Jamil Amperawan menolak anggapan bahwa harga gas mahal karena ulah para trader. “Masalahnya bukan di kami, masalahnya di hulu,” kata dia kepada Katadata, akhir pekan lalu.

Sebaliknya, dia mengklaim, para trader turut meringankan beban pemerintah. Sebab, sebelum ada trader, tidak ada yang mau masuk ke dalam bisnis gas lantaran masalah infrastruktur. Belakangan, dalam 10 tahun terakhir, para trader bermunculan untuk memasok kebutuhan gas kapasitas kecil sebesar 0,5 juta kaki kubik per hari (mmscfd).

Menurut Sabrun, salah satu penyebab mahalnya harga gas untuk industri adalah margin yang diambil BUMN terlalu besar. Dari 29 perusahaan anggota INGTA, marginnya tidak lebih dari US$ 1 per mmbtu, kecuali ada permintaan khusus lain dari industri maka bisa mencapai 5 persen.

Sedangkan margin yang diperoleh BUMN mencapai US$ 2,5-3 per mmbtu. Hal ini sangat mempengaruhi harga karena pangsa pasar distribusi gas oleh BUMN mencapai 80 persen. “Margin itu terlalu besar, tapi tidak pernah disinggung. Yang disinggung itu ‘trader kertas’ perdagangan bertingkat,” katanya.

Ia pun menyodorkan tiga usulan agar harga gas lebih rendah. Pertama, margin BUMN harus dipotong. Kedua, pengaturan kembali harga gas di hulu. Ketiga, membuka keran impor agar harga gas lebih murah.  (Baca: Trader Modal Kertas Bakal Tak Dapat Jatah Gas)

Suara berbeda dilontarkan perusahaan hulu migas. Direktur Indonesia Petroleum Association Sammy Hamzah mengatakan, penyebab harga gas untuk industri mahal bukan di sektor hulu. Sebab, rata-rata harga gas di hulu di seluruh Indonesia hanya US$ 3 hingga US$ 7 per mmbtu. “Midstream yang (membuat harganya) mahal.”

Grafik: Realisasi Volume Pengangkutan Gas Bumi 2011-2015

Apalagi, menurut Sammy, 90 persen industri membeli gas melalui trader, bukan langsung dari hulu. Adapun, yang membeli langsung dari mulut sumur yakni pabrik pupuk dan pembangkit listrik.

Sementara itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Petrokimia Achmad Widjaya mengatakan, industri kesulitan membeli gas langsung dari hulu. Salah satunya karena infrastruktur gas yang ada masih terbatas.

Tapi,  saat ini pelaku industri menginginkan kejelasan pemerintah mengenai kebijakan penurunan harga gas. “Industri perlu kepastian, berapa dolar pun kami terima. Bisa saja pemerintah memberikan subsidi ke industri,” ujar dia.

Penurunan harga gas sangat penting untuk industri. Sebab, 40 persen hingga 70 persen struktur biaya industri berasal dari bahan bakar.

Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam menjanjikan penurunan harga gas untuk industri akan terealisasi dalam waktu dekat ini. “Sudah dibahas cukup lama, semoga tidak macet lagi. 1 Januari 2017 itu bisa,” kata dia.

Halaman:
Reporter: Anggita Rezki Amelia
Editor: Yura Syahrul
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement