Mengejar Aset ke Luar Negeri
Jauh sebelum geger dokumen Panama Papers yang dirilis pada awal April lalu, sejumlah negara bersepakat menangkal krisis keuangan dunia. Mereka membentuk kerja sama dalam pertukaran informasi perpajakan. Target utamanya, mencegah penghindaran dan pengelakan pajak. Kementerian Keuangan menyatakan hal ini menjadi penyebab utama basis pajak negara yang menerapkan tarif cukup tinggi tergerus.
Pada 2010 mengemuka pertukaran informasi secara otomatis untuk kepentingan perpajakan. Saat itu berbarengan dengan upaya Amerika Serikat mengenalkan kebijakan Foreign Account Tax Compliance Act (FACTA). Melalui FACTA, Amerika meminta lembaga keuangan negara lain untuk memberi laporan terkait aktivitas akun keuangan warga negaranya yang memegang kepemilikan signifikan (FFI) dalam sebuah perusahaan.
Sempat kurang mendapat respons, langkah Amerika baru ditanggapi serius oleh negara-negara lain tiga tahun kemudian. Pada 2013, menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara kelompok dengan ekonomi besar yang tergabung dalam G 20 dan OECD berkumpul membahas masalah tersebut. Satu pandangan tercapai: memberi dukungan barter informasi secara otomatis.
Di tahun itu pas berbarengan dengan beredarnya dokumen Offshore Leaks. Bocoran data dari Portcullis TrustNet (Singapura) dan Commentwealth Trust Limited (British Virgin Island) itu memuat -dari 2,5 juta dokumen- 2.961 akun nasabah pemilik rekening asal Indonesia di sepuluh negara suaka pajak, di antaranya Caymand Island, Cook Island, dan Singapura.
Setahun kemudian, negara-negara G 20 dan OECD menyepakati formula pertukan informasi layaknya konsep FACTA. Mereka menamakannya Common Reporting Standars sebagai landasan dalam pertukaran informasi secara global, cikal-bakal Automatic Exchange of Information (AEOI). (Baca: Heboh Panama Papers Mengguncang Berbagai Negara).
Di Indonesia, pada akhir 2014, muncul wacana pemberian pengampunan pajak, khususnya bagi yang menyimpan uang di Singapura. Rencana itu keluar setelah Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro bertemu Menteri Keuangan Singapura Tharman Shanmugaratnam di Singapura, pada Desember 2014. Kedua pihak berkomitmen bertukar data perpajakan untuk melawan penghindaran dan pengelakan pajak lintas negara.
Untuk itu, pemerintah menyiapkan payung hukum dengan merevisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Pilihan lainnya, membuat undang-undang khusus tentang pengampunan pajak. “Ini menyangkut uang rakyat, jadi harus betul-betul masuk undang-undang dan disetujui DPR,” kata Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo kala itu.
Rencana penerpan tax amnesty makin kuat pada 2015. Tahun lalu, penerimaan pajak begitu seret imbas pelemahan ekonomin global. Apalagi pemasukan pajak per kuartal ketiga baru sekitar 60 persen dari target dalam APBN 2015. Selisih penerimaan dan target (shortfall) pajak ini bahkan sampai memakan “korban.” Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito undur diri -kini digantikan Ken Dwijugiasteadi.
Hingga kini rencana tersebut masih terkatung-katung. Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tax Amnesty masih mandek di Dewan Perwakilan Rakyat setelah melewati tiga kali reses sejak akhir 2015. Padahal, pemerintah melihat potensi dana warga Indonesia di luar negeri begitu besar. (Baca pula: Unit Khusus Pajak Telisik Ribuan Nama WNI dalam Panama Papers).
Misalnya, pertengahan Maret lalu, Bambang Brodjonegoro menyatakan memegang data rekening tersebut. Pola yang digunakan orang Indonesia untuk memiliki akun di sana pun diketahui, yaitu dengan membentuk perusahaan khusus dengan tujuan tertentu atau Special Purpose Vehicle (SPV) di berbagai tempat di dunia. Biasanya SPV didirikan di negara-negara bebas pajak (tax haven).
Negara tax haven yang cukup popular dan sering menjadi tujuan Warga Negara Indonesia ini adalah British Virgin Islands. “Di satu negara, ada rekening lebih dari 6.000 WNI,” ujar Bambang usai mengikuti rapat terbatas pencucian uang dan penggelapan pajak di Kantor Kepresidenan, pertengahan Maret lalu.
Sebagian uang yang disimpan di negara tersebut belum tercatat sebagai aset dalam Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak. Aset tersebut tersimpan dalam berbagai bentuk, antara lain properti, perusahaan, atau deposito. Artinya, selama ini pemilik rekening tersebut tidak pernah membayar pajak atas asetnya. “Ini bagian yang kami kejar,” kata Bambang.
Sempat menyebutkan potensi dana repatriasi melebihi Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 11.450 triliun, dia mengaku tidak mengetahui persis jumlahnya. Meski begitu, Bambang optimistis jumlah dana repatriasi cukup besar sehingga mampu menggerakkan perekonomian nasional.
Walau pejabat di Lapangan Banteng, markas Kementerian Keuangan, begitu getol mengegolkan tax amnesty, namun suara lonjong datang dari Direktorat Jenderal Pajak. Sumber Katadata di direktorat itu menyatakan ada kekhawatiran sejumlah pejabat cukup mengemuka bila pengampunan pajak terlaksana.
Misalnya, pemerintah belum memiliki data akurat aset orang Indonesia di luar negeri. Sehingga, upaya menyembunyikan harta lainnya kemungkinan besar tetap terjadi. Yang paling dicemaskan adalah para penunggang gelap kebijakan ini.
Menurutnya, barisan konglomerasi Indonesia sudah antre begitu Senayan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tax Amnesty. Namun, sebagian besar dari mereka yang akan mendaftar ditengarai para pebisnis bermasalah. “Hendak mencuci uang kotor,” katanya. “Begitu diampuni, uang haram mereka menjadi bersih.”
Bila melihat kajian Bank Indonesia, kemungkinan masuknya uang “haram” ini bisa terjadi. Bank sentral itu memperkirakan dana orang Indonesia di luar negeri saat ini mencapai Rp 3.147 triliun. Dari jumlah itu, 60 persen merupakan dana legal, sisanya ilegal. Bila dipecah lagi, dana ilegal bersumber pada hasil korupsi sebesar 10 persen dan 30 persen sisanya berasal dari hasil narkoba, terorisme, dan pencucian uang.
Sumber lain di Direktorat Pajak menyatakan, masuknya para pendompleng bisa terjadi. Namun, hal itu bukan berarti mereka akan terbebas dari jerat hukum untuk tindak pidana lainnya. Sebab, aparat masih bisa menelisik kejahatan lainnya seperti korupsi. “Yang penting, tidak menggunakan data tax amnesty sebagai bukti permulaan,” ujarnya.