Dalam skenario terburuk, Pertamina memperkirakan dampak penurunan harga minyak dan melemhanya kurs rupiah dapat membuat perusahaan kehilangan pendapatan 44,6 % dari Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2020.

Berdasarkan RKAP, target laba tahun ini US$ 2,2 miliar dan pendapatan US$ 58,33 miliar. “Total pendapatan kami akan turun pada skenario berat sebesar 38 %, dan pada skenario sangat berat menjadi 45 %,” kata Nicke.

(Baca: Terseret Kejatuhan Harga Minyak, Rupiah Melemah ke Rp 15.506 per Dolar)

Halaman selanjutnya: Apakah Harga BBM Akan Ikut Turun?

Penerimaan negara pada tahun ini pun diprediksi semakin sulit mencapai target, terutama terkait perpajakan. Pajak ekspor minyak berpotensi anjlok. Di sisi lain, penurunan harga minyak juga akan berpengaruh pada belanja subsidi pemerintah. “Subsidi BBM kemungkinan turun bahkan nihil, tergantung asumsi kurs,” ucap Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual.

Penurunann dari sisi penerimaan diperkirakan lebih besar daripada pengeluaran pemerintah. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kemungkinan bertambah besar. Pada akhirnya, kejatuhan harga miyak akan menambah beban ekonomi Indonesia.

Pengamat ekonomi dan dosen Perbanas Institut Piter Abdullah mengatakan banyak komoditas Indonesia yang akan ikut terseret. “Yang pasti, karet. Dan tentunya berdampak pada perekonomian Sumatera yang masih banyak perkebunan karet,” ucapnya.

(Baca: Usai Anjlok hingga Minus, Harga Minyak Perlahan Bangkit jadi US$ 1,4)

Penurunan komoditas juga membuat ekspor dalam negeri terpukul. Ditambah dengan ICP yang turun, ia memperkirakan defisit APBN melebar. Dalam APBN 2020, ICP dipatok US$ 63 per barel, sedangkan kurs Rp 14.400 per dolar AS.

Melebarnya defisit anggaran sebenarnya sudah diantisipasi pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020. Di tengah penanganan virus corona, defisit anggaran boleh melampaui batas maksimalnya di 3 %. Tahun ini defisit diperkirakan mencapai 5,07 %.

Namun, konsekuensi naiknya deifist adalah bertambahnya utang pemerintah. “Tapi dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB (produk domestik bruto) yang masih di kisaran 30 % sebenarnya tidak terlalu berbahaya,” kata Piter.

Pelebaran defisit hingga 10 % hanya menambah rasio utang pemerintah dari 30 % menjadi 35 % sampai 40 % terhadap PDB. Angka ini masih jauh dari batas yang maksimal yang diatur pemerintah, yaitu 60 % dari PDB.

Apakah Harga BBM Akan Ikut Turun?

Pemerintah masih mengkaji kemungkinan penurunan harga BBM seiring anjloknya harga minyak dunia. Pengamat Energi Pri Agung Rakhmanto memperkirakan penurunan harga BBM dapat mencapai Rp 1.000 hingga 1.500 per liter jika menggunakan asumsi harga minyak dunia dan rupiah sekarang.

Kejatuhan WTI pada awal pekan ini sempat menyeret rupiah di pasar spot ke level Rp 15.500 per dolar AS. Pada sore hari kemarin mata uang Garuda sedikit menguat menjadi Rp 15.467 per dolar AS.

Pri Agung mengatakan harga minyak dunia dan kurs sangat berpengaruh terhadap perhitungan BBM. Pada Januari hingga Februari lalu, harga minyak mentah di kisaran US$ 55 per barel dan kurs Rp 13.500 sampai 14 ribu per dolar AS.

Di dalam periode tersebut dapat dikatakan relatif tidak ada perubahan signifikan terhadap asumsi harga minyak mentah Indonesia atau ICP maupun kurs yang ditetapkan dalam APBN. Jika dilakukan penyesuaian, penurunan harganya seharusnya berada antara Rp 200 dan 500 per liter.

(Baca: Harga Minyak Anjlok, Pertamina Jelaskan Alasan BBM Tak Turun)

KONSUMSI BBM SELAMA PANDEMI COVID-19
Ilustrasi. Konsumsi BBM selama pandemi Covid-19 turun. (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/hp.)

Sementara pada bulan Maret hingga April ini rata-rata harga minyak dunia di kisaran US$ 30 per barel. Namun, rupiah melemah ke level Rp 15.000 - 15.500 per dolar AS. Pelemahan ini yang membuat harga BBM sulit turun.

Ruang untuk penurunan harga BBM tetap ada di kisaran Rp 1.000 samapi 1.500 per liter. “Persisnya berapa, saya kira biar pemerintah dan Pertamina yang nanti menghitungnya,” ujarnya. Proyeksinya, rata-rata harga minyak di sepanjang 2020 kemungkinan tetap rendah yakni di angka US$ 30 sampai 40 per barel.

Mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menilai situasi penurunan harga minyak bisa dimanfaatkan untuk memperkuat industri hilir migas. Contohnya, mengembangkan proyek kilang migas, petrokimia, dan jaringan gas bumi.

“Harapannya, ketika selesai dibangun, butuh tiga sampai lima tahun, infrastruktur hilir sudah siap beroperasi dan harga kembali normal,” katanya dalam akun Instagram resminya, @arcandra.tahar.

(Baca: Manfaatkan Harga Minyak Minus, Trump Akan Borong 75 Juta Barel)

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan, Febrina Ratna Iskana, Agatha Olivia Victoria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement