Made with Flourish
Halaman selanjutnya:  Properti Hotel dan Ritel Terdampak Paling Parah

Properti Hotel dan Ritel Pun Terdampak

Konsultan properti Colliers International Indonesia menyatakan properti di sektor hotel dan ritel tak luput terdampak pandemi. Perhotelan yang menjadi bagian dari industri pariwisata bahkan disebut paling parah dibandingkan sektor lain di dalam industri.

“Kunjungan hotel menurun drastis seiring perlambatan wisata,” kata Senior Associatr Director Colliers Intenational Indonesia, Ferry Salanto, dalam diskusi virtual terkait properti, awal bulan lalu.

Di Indonesia, menurut data Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), 1.266 hotel telah tutup per 7 April. Angka itu berdasarkan pengusaha hotel yang lapor kepada PHRI. Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani memperkirakan jumlah sesungguhnya lebih dari itu.

Akibat dari tutupnya lebih dari seribu hotel itu, Sukamdani menyatakan jumlah pekerja terdampak mencapai lebih dari 150 ribu orang. Angka ini pun masih belum pasti dan kemungkinan lebih besar lagi, mengingat banyaknya pengusaha yang tak melapor.

(Baca: Babak Belur Industri Otomotif Dihantam Pandemi Corona)

Di sektor properti ritel, menurut Colliers International Indonesia, dampak terjadi karena pemberlakuan PSBB yang mengurangi secara drastis kunjungan masyarakat ke mal dan pusat perbelanjaan. Hal ini berdampak pada tutupnya banyak gerai dan tak lakunya persewaan gerai ritel.

Pendapat Colliers International Indonesia senada dengan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pusat Pengelola Perbelanjaan Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja. Menurutnya jumlah kunjungan ke mal semakin anjlok, kecuali untuk supermarket dan farmasi.

“Bahkan ada yang tinggal 20% sampai 30% (kunjungan) saja. Berarti turun sampai 70% hingga 80%,” kata Alphonzus seperti dilansir Bisnis.com, Kamis (26/3).

PSBB juga menghambat pembangunan sejumlah mal baru di Indonesia. Saat ini menurut data Colliers International Indonesia, ada 11 proyek mal yang akan beroperasi di Jabodetabek. 7 Proyek di antaranya berada di luar Jakarta.  Salah satu proyek mal yang terhambat adalah pembangunan Pondok Indah Mall 3 milik PT Metropolitan Kentjana Tbk. Penundaan dilakukan selama dua pekan.

(Baca: Industri Tekstil RI saat Pandemi: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga)

Insentif Pemerintah Dinilai Belum Tepat Sasaran

Mengantisipasi dampak pandemi ke industri properti, pemerintah memberikan stimulus pembiayaan perumahan masyarakaat berpenghasilan rendah (MBR). Stimulus ini masuk dalam skema Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang menjadi payung hukum kebijakan fiskal pemerintah di tengah pandemi.

Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Eko Heripoerwanto pada 31 Maret menyatakan stimulus ini berlaku mulai 1 April. Bentuknya pengalokasian dana untuk Subsidi Selisih Bunga (SSB) dan tetap melaksanakan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM).

Teknisnya, masyarakat mendapatkan keringanan pembayaran SSB sebesar 5% per tahun selama masa subsidi 10 tahun. Khusus untuk provinsi Papua dan Papua Barat suku bunga yang dibayarkan masyarakat sebesar 4% per tahun selama 10 tahun. Pemerintah akan membayar subsidi sebesar selisih angsuran.

Untuk SBUM rumah tapak pemerintah memberikan keringanan sebesar 1% atau berupa subsidi sebesar Rp 4 juta. Khusus di provinsi Papua dan Papua Barat, SBUM yang diberikan sebesar Rp 10 juta.

Total anggaran untuk stimulus ini sebesar Rp 1,5 triliun yang diberikan untuk pembangunan perumahan MBR hingga 175.000 unit. Persyaratan untuk mendapatkan stimulus ini adalah warga Indonesia berpenghasilan rendah dan belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah untuk pembiayaan kepemilikan dan pembangunan rumah. Namun, pemerintah menaikkan batas maksimal penghasilan menjad Rp 8 juta per bulan dan Rp 8,5 juta per bulan untuk provinsi Papua dan Papua Barat.

Bank yang ditunjuk pemerintah untuk melaksanakan program ini adalah PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.

(Baca: Bolong Bansos Pemerintah di Kelas Menengah Bawah)

Namun Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda menilai stimulus pemerintah kurang tepat sasaran. Pasalnya stimulus ini bertujuan untuk meningkatkan pembelian rumah. Sementara, yang dibutuhkan pengembang saat ini adalah stabilitas keuangan dan keringanan membayar tanggungan ke bank.

“Lagi pula tidak semua pengembang mengerjakan rumah MBR,” kata Ali kepada Katadata.co.id, Kamis (30/4).

Selain itu, menurut Ali, stimulus itu hanya berlaku jika ada pembeli dan mau akad. Sedangkan, saat ini prioritas masyarakat berpenghasilan rendah tak membeli rumah. Melainkan membeli pangan dan obat-obatan untuk persiapan menghadapi pandemi. Selain itu, kuota bank untuk akad rumah bersubsidi pun dikurangi oleh pemerintah.

Maka, menurut Ali, stimulus yang tepat adalah pada banking system dengan penundaan angsuran dan pengurangan bunga bagi pengembang dan pembeli yang cicilannya telah berjalan. Begitupun pengurangan pajak.

“Kalau sampai pengembang dan pembeli yang sudah berjalan cicilannya tak sanggup bayar tanggungan ke bank, yang terjadi kredit macet,” kata Ali.

(Baca: Pandemi Mengubah Lanskap Gerai Retail, Siapa yang Diuntungkan?)

Data Statistik Sistem Keuangan Indonesia (SSKI) yang dipublikasikan BI pada April 2020 menunjukkan non-performing loan (NPL) atau kredit macet di sektor properti sebesar 2,97% pada Februari. Angka ini meningkat dari Januari sebesar 2,88%.

Sementara Bank BTN yang mejadi salah satu penyalur subsidi perumahan pemerintah sepanjang 2019 telah mencatat kenaikan rasio NPL menjadi 4,78%. Pada 2018, NPL BTN sebesar 2,8%. Direktur Utama BTN pada 18 Februari lalu dalam rapat dengan DPR menyebut kenaikan NPL besar dipengaruhi kredit bermasalah di sektor properti.   

Ali menyebut angka NPL tersebut sudah sangat mengkhawatirkan dan berpotensi mengganggu kinerja bank. Sebab besar kemungkinan bisa semakin meningkat di atas 3% pada kuartal II dan III tahun ini.

Apabila stimulus tak dilakuan segera, Ali memprediksi 50% pengembang akan tutup dan sektor finansial akan hancur. Karena industri properti memiliki efek besar kepada sektor. Pemerintah pun terancam kehilangan 12%-15% kontribusi ekonomi dari industri ini.   

(Baca: Krisis Bahan Baku Impor Hantui Industri Farmasi)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement