Pemerintah meramal pertumbuhan ekonomi Indonesia terjungkal di kuartal kedua akibat pandemi virus corona.  Kondisi ini berpeluang meningkatkan jumlah pengangguran dan angka kemisikinan serta menurunkan daya beli masyarakat. Di sisi lain, bayang-bayang gelombang kedua pandemi masih menghantui yang bisa menjerumuskan negeri ini ke jurang resesi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam kurun kurang dari sepekan menyampaikan dua proyeksi buruk roda ekonomi triwulan kedua 2020. Kemarin (19/6) dalam sebuah diskusi virtual ia menyatakan pertumbuhan ekonomi periode tersebut -3,8%.

Ramalan ini lebih rendah ketimbang yang disampaikannya tiga hari sebelumnya saat memaparkan kinerja APBN per 31 Mei, yakni -3,1%. Proyeksi ini mirip dengan yang diungkapkan sejumlah lembaga internasional. Salah satunya yakni Bloomberg Median dan Moody’s yang memproyeksi kontraksi ekonomi Indonesia sebesar 3,1%. 

Saat memaparkan proyeksi terbarunya, Sri Mulyani tak banyak menjelaskan penyebabnya. Namun, alasan tersoroknya pertumbuhan ekonomi kuartal kedua bisa dilihat dalam pemaparan APBN. Menurutnya, penyebab kontraksi di triwulan kedua adalah tekanan besar perekonomian di hampir semua sektor lantaran kinerjanya lesu selama April-Mei. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya penerimaan negara dari pajak yang terkontraksi 10,8% dibandingkan periode sama tahun lalu dengan realisasi sebesar Rp 444,6 triliun.

Secara rinci, penerimaan PPh Migas paling terkontraksi, yakni sebesar 35,6% dengan realisasi Rp 17 triliun. Jauh dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 26,4 triliun. “Ini suatu tekanan yang sangat besar karena harga minyak, meskipun kursnya sempat mengalami pelemahan yaitu agak meng-offset, tapi itu tidak cukup karena harga minyaknya sempat turun secara drastis,” kata Sri Mulyani.

(Baca: Pemerintah Patok Defisit APBN 2021 Hingga 4,17% terhadap PDB)

Sementara PPh Non-Migas terkontraksi sebesar 10,4% dengan realisasi nominal sebesar Rp 264,8 triliun. Menurut Sri Mulyani, ini masih berada dalam koridor Peraturan Presiden Nomor 54/2020 yang menetapkan kontraksi di sekitaran 10%. Lalu PPN menurun 8,0% dengan realisasi nominal sebesar Rp 160 triliun.

Dari penerimaan pajak per jenis, hanya PPh OP dan PPh 26 yang tak mengalami kontraksi. Masing-masing tumbuh 0,55% dan 14,33%. Terkait PPh OP, hal ini dipengaruhi kebijakan pergeseran pencatatan, sementara PPh 26 dipengaruhi restitusi besar di Februari 2019 tidak terulang. Meskipun begitu, PPh 26 Mei year on year (yoy) lebih lambat dibandingkan Januari-Arpil yang tumbuh 28,14%.

(Baca: Sri Mulyani Sosialisasikan Mekanisme Penempatan Dana ke Bank Jangkar)

Bahkan, PPh final yang diterima salah satunya dari UMKM berkurang drastis sebesar 34,95%. Ini menunjukkan UMKM mengalami tekanan serius selama pandemi. Padahal, UMKM merupakan penopang utama perekonomian Indonesia.

Kelesuan hampir seluruh sektor usaha tersebut, kata Sri Mulyani, dipengaruhi pembatasan sosial dan ekonomi yang terjadi selama April-Mei di dalam negeri dan global. Secara global, terlihat dari menurunnya kinerja ekspor dan impor pada Mei 2020 seperti tertuang dalam data BPS, khususnya kinerja impor bahan baku dan barang modal yang masing-masing terkontraksi sebesar 41,39% dan 47,10%. Sementara ekspor terkontraksi 28,96%. “Ini yang bisa menjadi penghambat pemulihan di sektor manufaktur,” kata Sri Mulyani.

Kondisi perekonomian negara-negara lain memang juga sedang sulit dan berdampak pada permintaan ke luar negeri serta menghambat arus pasok. Pada kuartal pertama, menurut data Bloomberg, misalnya pertumbuhan ekonomi Inggris terkontraksi 1,6% dan diiproyeksikan makin turun menjadi 15,4% pada kuartal II. Sementara Jerman, Perancis, dan AS diproyeksikan masing-masing akan mengalami kontraksi 11,2%, 17,2%, dan 9,7% di kuartal II. Hanya Tiongkok yang tumbuh 1,2%, yang menurut Sri Mulyani karena lebih dulu terkena pandemi.

Meskipun begitu, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menilai Indonesia masih bisa mengonversi seluruh penurunan tersebut menjadi pemulihan ekonomi di dua kuartal selanjutnya. Hal ini karena tren kepercayaan investor global membaik dibanding periode Maret, harga IHSG makin menanjak, nilai tukar rupiah yang sempat jatuh mengalami apresiasi, serta imbah hasil atau yield surat berharga negara mulai membaik pada Mei dengan angkanya mendekati 7.

“Pelambatan kegiatan ekonomi akan kita monitor dengan stimulus yang sudah kita lakukan,” kata Sri Mulyani.

Dia berharap titik terdalam hanya terjadi di April-Mei dan perekonomian mulai pulih bulan ini. Ia pun berharap tak terjadi gelombang kedua pandemi. Kendati terjadi, pemerintah telah menyiapkan bantalan jejaring sosial agar mampu menahan pelambatan ekonomi sehingga tak sampai terjadi resesi. Pemerintah pun masih menetapkan proyeksi pertumbuhan ekonomi sampai akhir 2020 sebesar -0,4% sampai 2,3%.

Ekonomi Minus Picu Lonjakan Pengangguran dan Kemiskinan

Bila merujuk kepada data BPS terkait pertumbuhan ekonomi kuartal I sebesar 2,9%, penyebab terbesarnya adalah anjloknya konsumsi rumah tangga menjadi 2,84% dibandingkan tahun sebelumnya di periode sama sebesar 5,02%. Dengan proyeksi pemerintah untuk kuartal II, angka pertumbuhan konsumsi rumah tangga bisa semakin menurun yang mengindikasikan daya beli masyarakat melemah cukup dalam.

Hal ini karena, seperti dikatakan Direktur Eksekutif CORE Indonesia Muhammad Faisal, tingkat konsumsi rumah tangga selalu berbeda tipis dengan pertumbuhan ekonomi. Kontribusinya kepada pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat besar, yakni mencapai 60%. “Konsumsi rumah tangga normal 5%. Kalau prediksinya -3,1%, maka konsumsi rumah tangga minus 3,1% juga,” kata Faisal kepada Katadata.co.id, Rabu (17/6).

Penurunan daya beli masyarakat tersebut, kata Faisal, terpengaruh juga oleh peluang penurunan peningkatan pengangguran. Penelitian CORE Indonesia dengan asumsi pertumbuhan ekonomi kuartal II -2% sampai -5%  atau masih mencakup proyeksi pemerintah, menyatakan pengangguran bertambah 4-9 juta orang. Sementara data BPS pada 2019 mengumumkan pengangguran terbuka 6,82 juta orang atau 5,28% dari total angkatan kerja. Maka, pengangguran bisa mencapai 17 juta orang.

(Baca: Indonesia di Tengah Ketegangan Baru Sengketa Laut Cina Selatan)

Pernyataan Faisal ini selaras dengan data yang disampaikan Wakil Ketua Umum KADIN dan APINDO Shinta W Kamdani. Saat ini pekerja yang sudah dirumahkan di lingkungan anggota asosiasinya mencapai 6 juta orang. Seluruhnya berpeluang benar-benar kehilangan pekerjaan karena sampai saat ini belum ada kepastian akan bisa kembali bekerja. “Malahan sudah ada tambahan dari sektor yang mulai kolaps,” kata Shinta kepada Katadata.co.id, Rabu (17/6) malam.

(Baca: Cekak Anggaran yang Membelit Tahap Lanjutan Pilkada 2020)

Setali tiga uang, tingkat kemiskinan juga berpeluang meningkat meskipun menurut Ekonom INDEF Bhima Yudhistira belum akan terlihat di kuartal II. Hal itu karena terjadi jeda setelah masyarakat di-PHK sampai akhirnya masuk ke kategori miskin. Masa jeda ini adalah upaya masyarakat untuk mendapatkan sumber pendapatan lagi. “Kita punya 115 juta masyarakat rentan miskin. Kenaikan kemiskinan kemungkinan terjadi di September,” kata Bhima.

Pemerintah, seperti tertuang dalam bahan pemaparan Sri Mulyani, memperkirakan angka kemiskinan meningkat 1,89 juta orang sampai 4,86 juta orang. Sementara jumlah pengangguran meningkat 2,92 juta orang sampai 5,23 juta orang.

Di sisi lain, menurut Bhima, pengumuman proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal II oleh Sri Mulyani sebelum data resmi BPS mengindikasikan buramnya pasar keuangan. Ia menilai langkah ini dilakukan untuk meredam kepanikan pelaku pasar keuangan yang bisa mengakibatkan capital outflow besar-besaran dan berdampak menggerus devisa sampai sektor perbankan.

Kondisi ini terlihat salah satunya dari investasi asing yang realisasinya sepanjang Januari-Maret 2020 menurut data BKPM anjlok 7% dengan nominal Rp 98 triliun. Sementara perbankan didera masalah yang terlihat dari peningkatan kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL). Pada Mei lalu, NPL bank-bak BUMN secara konsolidasi naik menjadi 3%. BRI menjadi salah satu yang terimbas dan mengalami penurunan laba bersih dari Rp 8,19 triliun menjadi Rp 8,17 triliun.

Masalah lain di sektor perbankan, kata Bhima, bisa terlihat dari kasus Bank Bukopin yang kekurangan likuiditas. Ia pun menilai stimulus pemerintah melalui relaksasi kredit tak efektif. Menurutnya itu hanya menunda masalah, bukan menyelesaikan masalah karena belum tentu nasabah bisa membayar kreditnya di kemudian hari. 

“BI masih punya ruang 25 basis poin untuk menurunkan suku bunga acuan. Ini untuk menurunkan beban masyarakat mengambil kredit,” kata Bhima kepada Katadata.co.id, Rabu (17/6).

Halaman selanjutnya: Pelajaran dari Pemulihan Krisis 1998/1999

Pelajaran dari Pemulihan Krisis 1998/1999

Pengalaman Indonesia menghadapi krisis terburuk adalah pada 1998/1999 atau kerap disebut sebagai krisis moneter. Saat itu menurut data Bank Indonesia pada 1999, akibatnya pendapatan per kapita terpuruk dari US$ 980 pada 1997 menjadi sekitar US$ 500 pada 1999 atau setara pendapatan per kapita sekitar tahun 80-an. Laju pertumbuhan ekonomi -13,4% di akhir 1998 dibandingkan pada 1995 yang sebesar 8,2%. Pada kuartal I 1999 juga masih terkontraksi sebesar 6,13%.  

Krisis saat itu dipicu oleh efek domino kondisi ekonomi negara ASEAN, yakni Thailand dan Malaysia yang mata uangnya melemah pada 1997 akibat ulah para spekulan menarik uang. Pertengahan 1997 Indonesia akhirnya ikut terdampak. Spekulan menarik uang dan kurs rupiah mulai mengalami depresiasi dan semakin diperparah dengan gejolak politik pemilu saat itu. Januari 1998 depresiasi rupiah sebesar 265% dibandingkan bulan sebelumnya. Akhirnya pada Juni 1998 mata uang dalam negeri menyentuh Rp 15.000 per US$ atau tujuh kali lipat dari sebelum periode krisis.

Perbankan pun akhirnya terpukul saat itu. Banyak bank mengalami kekurangan likuiditas dan tutup karena banyak nasabah menarik uang atau rush money. Ditambah pula beban utang luar negeri yang besar. Per Juli 1999 jumlah utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 150 miliar, salah satu yang terbanyak dibandingkan negara dunia ketiga lainnya.

Data Bank Dunia pun menyatakan pada 1999 utang per kapita rata-rata US$ 377, sedangkan pendapatan per kapita di periode sama US$ 425. Hal ini membuat rasio pembayaran utang atau debt service ratio (DSR) Indonesia saat itu mencapai 54%.

Guna melakukan pemulihan ekonomi saat itu pemerintah melakukan beragam kebijakan yang tertuang dalam paket reformasi ekonomi, yakni penyehatan sektor keuangan, pembenahan fiskal dan moneter, serta penyesuaian struktural yang mencakup penurunan tarif beberapa sektor industri dan pertanian.

Realisasinya adalah dengan penerbitan sejumlah peraturan, di antaranya SK Menteri Keuangan Nomor 15/KMK.017/1998 tentang pencabutan pembatasan pembukaan cabang bank campuran dan cabang pembantu bank asing, SK Menteri Keuangan Nomor 16/KMK/01/1998 tentnag penurunan bea masuk beberapa produk pertanian, menurunkan tarif seluruh produk makanan maksimal 5%, dan SK Nomor 17/KMK/01/1998 tentnag penurunan bea masuk atas impor produk tertentu.

(Baca: Jalan Panjang dan Berliku Memburu Pajak Digital Asing)

Bhima menyatakan skema pemulihan saat krisis 1998/1999 tak bisa digunakan untuk saat ini karena kondisinya berbeda. Krisis saat ini menurut mereka lebih rumit, yakni ditambah kesehatan dan pengalaman untuk itu. Namun, pelajaran yang bisa diambil dari pemulihan krisis moneter adalah kebijakan harus dilakukan secara luar biasa dan tepat sasaran. Dua hal itu yang belum terjadi saat ini.

“Yang paling penting, 1999 kenapa bisa kembali pulih, ada perombakan di tim ekonomi. Untuk meningkatkan trust. Termasuk melakukan perbaikan komunikasi publik,” kata Bhima.

(Baca: Utang Jumbo Pemerintah Buntut Stimulus Pandemi Corona)

Kebijakan yang tak tepat sasaran menurut Bhima salah satunya stimulus ke UMKM yang berkontribusi besar ke perekonomian dan penyerapan tenaga kerja Indonesia. Subsidi bunga kredit yang mencapai Rp 35,28 triliun kepada 60,66 juta rekening belum sepenuhnya bisa dinikmati UMKM.

Data INDEF menyatakan, dari 64.194.057 pelaku UMKM baru 12.673.609 atau sekitar 19,74% yang berpotensi mendapatkan bantuan. Hal ini karena akses untuk mendapatkan permodalan dari bank, KUR, dan lain-lain selama ini masih diprioritaskan kepada UMKM yang telah terbukti performanya. Sehingga, yang mendapat akses permodalan itu-itu saja. Dari bahan Kemenkeu juga terlihat progres stimulus ke UMKM dari total anggaran Rp 123,46 triliun masih 0,06%.

Selanjutnya adalah bahaya terbelit utang jumbo luar negeri yang bisa mengembalikan masalah krisis moneter akibat pemenuhan sumber stimulus. Data Bank Indonesia pada April 2020 mencatat posisi utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 400,2 miliar atau tumbuh 2,9% yoy dan lebih tinggi 0,6% dibanding Maret 2020. DSR terhadap PDB pada kuartal I pun mencapai 27,6% dibanding kuartal IV 2019 yang sebesar 18%. Angka DSR tersebut sudah setengah dari saat krisis moneter.

“Selain utang publik juga utang swasta karena ada gelombang default yang harus diantisipasi. Waktu itu kami rekomendasikan belanja negara yang tak penting. Ini banyak kementerian yang jumbo dipotongnya kecil,” kata Bhima.

Bahan Kemenkeu APBN KiTa per 31 Mei menyatakan kontrak belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp 87,06 triliun. Menurun dari periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 159,81 triliun. Penurunan ini karena pemangkasan anggaran di Perpres 54/2020, misalnya Kemenhan yang semula Rp 131,18 trilun menjadi Rp 122,45 triliun. Sementara Kemenkes bertambah menjadi Rp 76,55 triliun dari Rp 57,40 triliun.

DPR Dorong Pemerintah Evaluasi Stimulus

Anggota Komisi XI DPR RI, Puteri Komarudin terkait kondisi saat ini mendorong pemerintah terus mengevaluasi stimulus yang terlah diberikan. Khususnya kepada UMKM yang berpeluang membangkitkan perekonomian nasional.

“Hasil evaluasi ini penting bagi kelangsungan dak efektivitas segala bentuk stimulus yang akan berlangsung pada triwulan III dan IV,” kata Puteri kepada Katadata.co.id, Rabu (17/6) malam.

Politikus Golkar ini pun meminta kepada pemerintah tetap menggenjot percepatan penanganan pengendalian di bidang kesehatan. Karena, kesehatan adalah paling penting dalam pemulihan krisis saat ini yang diakibatkan pandemi covid-19. Terlebih saat ini pemerintah sudah menetapkan kenormalan baru dan terdapat potensi gelombang kedua pandemi.

Potensi gelombang kedua pandemi memang nyata. Sejak pemerintah berangsur melakukan kenormalan baru atau new normal  awal bulan ini, angka kasus positif corona harian belum menunjukkan melandai, bahkan menyentuh seribu orang seperti pada 10 Juni yang mencapai 1.240 orang dan pada 18 Juni menyentuh 1.331 orang. Total kasus corona saat ini 42.762 orang dengan 16.798 orang sembuh dan 2.339 meninggal dunia.  

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin menyatakan, pemerintah tetap optimis pertumbuhan ekonomi akan meningkat di kuartal III dan IV. Alasannya karena PSBB sudah mulai dilepaskan dan aktivitas ekonomi sudah berjalan.

“Memang tidak akan kembali seperti sebelum covid dalam satu kuartal, akan tetapi kami melihat mulai berangsur-angsur membaik kalau dibandingkan kuartal II,” kata Masyita kepada Katadata.co.id, Rabu (17/6).

(Baca: Keraguan Kucuran Aneka Bansos Bisa Meredam Kemiskinan)

Masyita pun mengimbau kepada masyarakat agar lebih disiplin menjalankan protokil covid-19 demi mencegah potensi gelombang kedua pandemi. Sehingga, perekonomian Indonesia bisa cepat lepas dari kondisi buruk saat ini. Pemerintah pun, kata dia, akan terus mengoptimalkan stimulus UMKM, bantuan sosial, dan penanganan kesehatan.

“Apakah menambah utang? Tentu, tapi kami melihat debt ratio Indonesia masih cukup sehat. Pemerintah dalam UU 2/2020 juga bisa melebihi defisit 3% hanya 3 tahun ini. Ini pemerintah betul-betul berkomitmen kembali ke disiplin fiskal,” kata Masyita. 

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami