Chatib menjelaskan, pemulihan ekonomi di negara maju dan berkembang memiliki perbedaan. Ini terutama disebabkan oleh akses vaksin dan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Pemulihan ekonomi di sebagian besar negara maju, menurut dia, membentuk kurva V. Artinya, ekonomi jatuh atau terkontraksi cukup dalam akibat covid-19 tetapi pulih dengan sangat cepat ke level sebelum pandemi. 

Sementara di sebagian besar negara berkembang yang memiliki masalah keterbatasan vaksin dan protokol kesehatan yang lebih longgar, pemulihan ekonominya membentuk kurva seperti huruf L, membentuk logo Nike, atau huruf W. 

"Negara yang punya masalah pada akses vaksin, pemulihan ekonomi seperti huruf L yakni ekonomi turun lalu stagnan atau seperti logo nike yakni ekonomi turun lalu naik tetapi sangat lambat, atau huruf W yakni ekonomi turun, naik sedikit lalu turun lagi," katanya.

Hal ini menunjukkan, pemulihan ekonomi sangat bergantung pada penanganan pandemi Covid-19. Salah satu yang paling krusial dilakukan, menurut dia, adalah mempercepat vaksinasi. 

"Untuk mengendalikan pandemi ini dibutuhkan pembatasan yang harus diiringi dengan bantuan sosial. Selain itu, jika ingin fokus pada pengendalian pandemi, biaya seperti test PCR juga harus terjangkau," ujarnya. 

Mantan Menteri Keuangan era Presiden SBY ini mengusulkan pembatasan yang ketat untuk mengendalikan kasus. Namun, bantuan sosial seharusnya diberikan bukan hanya kepada orang miskin tetapi juga rentan miskin yang mencakup 160 juta orang atau 40 keluarga. Selain itu, pemerintah juga harus memberikan bantuan kepada UMKM. 

"Masing-masing keluarga diberikan Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta sehingga dibutuhkan anggaran Rp 40 triliun hingga Rp 60 triliun dalam satu bulan atau paling banyak Rp 180 triliun dalam 3 bulan," katanya. 

Jika pandemi telah benar-benar terkendali, menurut Chatib, pemerintah perlu memberikan dukungan pada industri yang potensial berkembang seperti teknologi seiring perubahan prilaku masyarakat.  "Kemudian bagaimana membuat green recovery," ujarnya. 

Ia mengusulkan pemerintah untuk membuat kebijakan cukai bahan bakar mineral (BBM) yang sebagian besar dikonsumsi kalangan menengah atas. Dana cukai ini dapat digunakan untuk pembiayaan kesehatan yang membutuhkan alokasi anggaran besar untuk penanganan pandemi Covid-19. 

"Cukai BBM ini juga bagus untuk lingkungan dan dapat menghasilan pendapatan lebih untuk membiayai kebutuhan penanganan Covid-19," ujarnya. 

Ekonom INDEF Faisal Basri juga menekankan pentingnya penanganan kesehatan untuk memulihkan ekonomi. Selain ini, menurut dia, pemerintah terlalu menganggap remeh pandemi Covid-19. Hal ini terlihat dari alokasi anggaran APBN 2021 yang awalnya memangkas anggaran kesehatan tetapi menaikkan anggaran kesehatan. Pemerintah mengasumsikan Covid-19 tak lagi menjadi masalah besar pada tahun ini. 

"Di APBN 2021 itu awalnya anggaran untuk infrastruktur naik tajam, sedangkan kesehatan turun. Namun, akhirnya diubah kembali oleh pemerintah karena lonjakan kasus," ujarnya.

Ia juga menilai pemulihan ekonomi di Indonesia relatif lambat dibandingkan negara-negara lain.  Dampaknya, ekonomi Indonesia yang sudah sempat naik kelas pada 2019 ke dalam kelompok negara pendapatan menengah atas, kembali turun kelas. 

Faisal pun menilai sulit bagi Indonesia untuk kembali naik kelas jika tak mampu mengendalikan Covid-19. Selain vaksinasi, pemerintah perlu memperbaiki tingkat pengetesan yang masih rendah dan tertinggal jauh dari banyak negara. 

Bappenas  sebelumnya bahkan memperingatkan ekonomi Indonesia berpotensi disalip Filipina dan Vietnam dalam beberapa tahun ke depan. Ini bahkan akan terjadi jika rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 5%. 

"Tanpa ada redesign transformasi ekonomi, pendapatan perkapita Indonesia akan disalip oleh Filipina pada 2037 dan Vietnam pada 2043," kata Deputi bidang Ekonomi Bappenas Amalia Adininggar awal bulan ini.

Ia menekankan, Indonesia akan sulit keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap dengan rata-rata pertumbuhan 5%. Padahal, Indonesia menargetkan dapat menjadi negara maju pada 2045.

Ia memperkirakan, Indonesia perlu mencapai rata-rata pertumbuhan ekonomi 6% untuk menjadi negara maju usia kemerdekaan genap 100 tahun. Pertumbuhan yang lebih agresif 7% bahkan bisa membantu Indonesia mencapai predikat negara pendapatan tinggi atau high income country sebelum 2040.

Untuk mencapainya, menurut dia, perlu melalui transformasi ekonomi pasca Covid-19. Ada dua langkah yang bisa dilakukan. Pertama, mengubah struktur perekonomian dari perekonomian dengan produktivitas rendah menjadi perekonomian yang produktivitasnya tinggi. Kedua, meningkatkan produktivitas di dalam sektor yang sudah ada saat ini.

Halaman:

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement