Pemerintah dan regulator sektor keuangan juga telah memberikan beragam insentif untuk mendorong pertumbuhan kredit agar pemulihan ekonomi lebih cepat. Insentif berupa penurunan tingkat suku bunga, penjaminan kredit, penempatan dana di perbankan, subsidi bunga bagi UMKM, pelonggaran ketentuan uang muka properti dan kendaraan. 

Meski insentif digelontorkan sejak tahun lalu, penyaluran kredit baru berhasil bangkit dari kontraksi pada Juni dan berlanjut pada Juli. Namun, pertumbuhannya nyaris stagnan yakni berada di bawah 1%. 

Risiko Saat Kredit Tumbuh

Posisi kepemilikan perbankan sudah menyalip asing sejak kuartal dua tahun lalu. Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai, porsi perbankan yang besar pada surat berharga negara membantu menahan kenaikan yield saat terjadi gejolak di pasar keuangan. Hal ini juga berdampak pada kondisi rupiah yang lebih stabil. 

"Kontribusi bank saat kredit lambat adalah melalui pembelian SBN. Harapannya, pemerintah dapat menjadi lokomotif dalam menggerakkan ekonomi karena pengusaha juga saat ini masih wait and see," ujar David kepada Katadata.co.id. 

David menjelaskan, banyak pengusaha yang masih menahan diri untuk melakukan ekspansi dan menarik pinjaman. Ini karena ketidakpastian yang masih tinggi akibat Pandemi Covid-19. Meski demikian, menurut dia, beberapa sektor memang mencatatkan kinerja yang baik, bahkan sejak tahun lalu.

"Ketidakpatian masih tinggi, terutama kemarin karena varian Delta. Namun, ketika kondisi ekonomi pelan-pelan pulih, bank akan menyalurkan kredit dan porsi perbankan di SBN akan turun," ujarnya. 

Ia menjelaskan, saat ekonomi mulai pulih, permintaan kredit akan meningkan dan risiko penyaluran kredit menurun. Bank akan memilih untuk menyalurkan kredit lantaran margin yang jauh lebih tinggi dari penempatan dana di SBN. 

Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah juga harus memikirkan kemungkinan jika ekonomi mulai pulih dan perbankan mengurangi penempatan dana di SBN. Apalagi, jika minat asing mungkin masih akan lemah terutama karena rencana kebijakan tapering off Bank Sentral AS, The Federal Reserve.

Salah satu yang krusial, menurut dia, adalah memastikan kondisi fundamental ekonomi Indonesia baik dan tetap stabil. Dengan demikian, lembaga pemeringkat tak akan memangkas peringkat utang Indonesia yang dapat berdampak pada penilaian asing. 

Indonesia berhasil mempertahankan peringkat utang di level investment grade saat lembaga-lembaga pemeringkat global memangkas peringkat utang banyak negara lainnya. Selain itu, menurut dia, pemerintah harus mematikan pembiayaan yang diperoleh produktif dan mampu mendorong pemulihan ekonomi lebih cepat. 

"Pembiayaan yang diperoleh pemerintah ini paling penting bukan berasal dari mana, tetapi apakah diarahkan secara produktif. Eksekusi pencairan anggaran yang tidak terlambat juga sangat penting," katanya. 

Meski ada risiko bank mengurangi penempatan dana di perbankan, ia menilai pembiayaan pemerintah pada tahun depan tetap aman. Pemerintah tak akan kesulitan utang. Hal ini, menurut dia, antara lain didukung oleh kesepakatan dengan Bank Indonesia untuk tetap membantu pendanaan APBN hingga tahun depan. 

"Selain itu, tapering off juga belum pasti di mulai tahun ini. Bisa saja diundur menjadi tahun depan atau lebih mundur lagi, seperti saat tapering off 2013 sehingga dana asing masih berpotensi masuk," katanya.  

Pemerintah menargetkan pembiayaan utang dalam RAPBN 2022 mencapai Rp 973,6 triliun, turun dibandingkan APBN 2021 Rp 1.027 triliun. Berdasarkan Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2022,  komposisi pembiayaan utang tahun depan terdiri atas rencana penarikan utang  Rp 1.058,4 triliun dan pembayaran cicilan utang sebesar Rp 84,8 triliun.

Adapun penarikan utang, akan terdiri atas penerbitan SBN neto sebesar Rp 991,3 triliun, penarikan pinjaman dalam negeri Rp 3,6 triliun serta penarikan pinjaman luar negeri Rp 63,5 triliun.

Pembiayaan utang berangsur turun sejak tahun ini dari Rp 1.229 triliun pada tahun lalu. Pemerintah bahkan memperkirakan realisasi pembiayaan utang hingga akhir tahun ini akan berada di bawah Rp 1.000 triliun. Adapun dalam jangka menengah, pemerintah berjanji akan terus menurunkan pembiayaan utang setiap tahun. Hal ini untuk mencapai defisit 3% pada tahun 2023 sebagaimana yang diatur dalam UU No 2 tahun 2020.

Halaman:
Reporter: Abdul Azis Said
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement