Rudy Hendra Prastowo belum genap dua tahun menjadi pimpinan di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Ia diangkat sebagai Direktur Energi Primer pada 14 Mei 2020. Sebelumnya, Rudy pernah menjabat Direktur Utama PT PLN Batubara pada periode 2017-2020.
Sebagai Direktur Energi Primer, Rudy bertugas memastikan suplai bahan bakar baik berupa minyak, gas, maupun batu bara terpenuhi bagi pembangkit PLN. Ia tidak bekerja sendirian. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membantunya melalui seperangkat kebijakan, termasuk kewajiban perusahaan batu bara menyuplai 25 % produknya untuk kebutuhan lokal. Harganya pun sudah ditetapkan US$ 70 per ton.
Tugas ini rupanya gagal ia jalankan. Pasokan batu bara untuk PLN macet. Sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) terancam tidak bisa beroperasi. Jika dibiarkan, krisis listrik mengancam Indonesia.
Menteri BUMN Erick Thohir seakan kehilangan kesabaran. Ia mencopot Rudy dan menggantinya dengan Hartanto Wibowo. Hartanto sosok muda potensial di PLN. Ia baru berusia 45 tahun pada 31 Desember 2021 silam.
Hartanto seharusnya tidak asing dengan operasional pembangkit listrik sebab pernah menjadi Kepala Divisi Perencanaan dan Pengembangan Korporat di PT Pembangkit Jawa Bali pada 2016.
Ia juga memahami bagaimana mekanisme suplai batu bara karena pernah jadi Direktur Keuangan merangkap Direktur Pengembangan di PT PLN Batubara. Sebelum naik sebagai Direktur Energi Primer, Hartanto merupakan pelaksana tugas Executive Vice President Risk Management di PT PLN.
Tugas berat kini menanti Hartanto. Ia wajib menyelesaikan persoalan krisis pasokan batu bara hanya dalam waktu beberapa hari. PLN juga meminta pemasok memenuhi ketentuan hari operasional (HOP) PLTU menjadi 20 hari. Hartanto perlu memastikan para perusahaan penambang itu menaatinya.
Sengkarut macetnya pasokan batu bara berpangkal dari sejumlah perusahaan pemasok batu bara yang bandel. Data Kementerian ESDM menunjukkan hingga 1 Januari 2022, sebanyak 490 perusahaan belum memenuhi ketentuan 25 % domestic market obligation (DMO). Sebanyak 418 perusahaan bahkan belum sama sekali mengirimkan batu baranya ke PLN.
Sebagian besar perusahaan ini berskala kecil dengan status persekutuan komanditer (CV) atau koperasi. Kendati demikian, ada juga perseroan terbatas (PT) dengan izin PKP2B yang belum sama sekali memenuhi ketentuan DMO.
Sementara itu, jika mengacu pada data Kementerian ESDM, produksi batu bara sejatinya tidak menjadi persoalan. Produksi di 2021 mencapai 606,2 juta ton atau 97% dari target 625 juta ton. Realisasi ekspor 304,97 juta ton, sementara pemenuhan DMO baru 63,47 juta ton. Angka ini tidak sampai setengah dari kebutuhan pasar domestik yang ditargetkan yakni sebesar 137,5 juta ton.
Melihat data realisasi batubara di 2021, memang ada selisih produksi yang belum dijual ke luar negeri maupun disetorkan ke PLN. Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebut sejumlah perusahaan masih menahan stok batu baranya untuk memaksimalkan untung.
Fabby menyoroti banyak perusahaan enggan memenuhi kewajiban DMO karena tergoda dengan harga jual yang tinggi. Harga batu bara acuan (HBA) per Desember 2021 misalnya mencapai US$ 159,79 per ton. Bahkan di November 2021, HBA sempat menyentuh US$ 215,15 per ton, yang merupakan rekor tertinggi sepanjang tahun.
“Jika dibandingkan dengan harga yang ditetapkan PLN sebesar US$ 70 per ton, disparitas harganya jauh sekali,” kata Fabby saat dihubungi Katadata.co.id.
Perbedaan harga yang terlalu lebar membuat banyak perusahaan memilih menahan stoknya alih-alih menjualnya ke PLN. Fabby menyebut jika mekanisme harga ini tidak diperbaiki, potensi kecurangan oleh perusahaan-perusahaan batu bara bisa saja terjadi.
Fabby pun mengusulkan agar alih-alih mematok harga tetap, pemerintah harus membuat indeks harga jual batu bara bagi PLN. Harga ini tetap harus lebih rendah dari harga internasional tetapi dibuat fluktuatif.
“Dengan begitu ongkos produksi PLN tidak meningkat signifikan tetapi perusahaan juga tidak tergoda untuk menahan stoknya,” Fabby menambahkan.
Larangan Ekspor Batu Bara, Efektifkah?
Sementara kisruh soal pasokan batu bara memanas di Indonesia, otoritas Jepang juga ikut kena getahnya. Pemerintah Indonesia telah melarang ekspor batu bara per 31 Desember 2021 untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Padahal, Jepang yang kini tengah memasuki musim dingin mengandalkan pasokan batu bara dari Indonesia dan Australia. Biasanya, Jepang mendapatkan sekitar 2 juta ton jatah batu bara dari Indonesia setiap bulan.
Sepucuk surat dari Kedutaan Besar Jepang kepada Pemerintah Indonesia menyebutkan larangan ekspor akan menghambat perekonomian dan aktivitas sehari-hari warga Jepang. Sejak larangan ekspor dirilis, setidaknya lima kapal kargo batu bara tujuan Jepang tertahan di pelabuhan.
Otoritas Jepang pun meminta Pemerintah Indonesia mempertimbangkan ulang larangan ekspor itu. Apalagi, Jepang biasanya mengimpor batu bara kalori tinggi yang tidak dibutuhkan pembangkit di Indonesia.
“Kami berharap [Pemerintah Indonesia] memperhatikan kekhawatiran ini untuk menjaga relasi ekonomi antara Jepang dan Indonesia,” tulis Kanasugi Kenji, Dubes Jepang untuk Indonesia melalui surat resmi kepada Menteri ESDM Arifin Tasrif, Selasa (4/1).
Melansir situs S&PGlobal, Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang menyebut larangan ekspor batu bara Indonesia tidak berdampak cepat terhadap ketersediaan energi di negaranya.
Japan's Electric Power Development Co. (J-Power) masih memiliki stok batu baru yang cukup untuk memenuhi kebutuhan energi. Selain itu, J-Power juga berencana menyebar stok batu bara secara merata di antara pembangkit listrik.
"Ada kemungkinan juga untuk membeli batu bara dari produsen lain," ujar juru bicara J-Power, dikutip dari S&P Global, Jumat (7/1).
Larangan ekspor batu bara sejatinya menjadi salah satu mekanisme sanksi bagi perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan DMO. Namun, menurut Fabby, kebijakan ini tidak bisa diterapkan secara menyeluruh. Pasalnya, sejumlah perusahaan yang sudah memenuhi kewajiban DMO batu bara juga kena imbas kebijakan ini.
PT Adaro Energy Tbk misalnya, menyebutkan sudah memenuhi ketentuan DMO bahkan melebihi target. Hingga Oktober 2021, Adaro sudah menjual 9,6 juta ton batu bara untuk pasar domestik dari target 11,1 juta ton. Dengan tambahan penjualan di November dan Desember, perusahaan mengklaim porsi DMO Adaro mencapai 27%.
"Estimasi total penjualan batu bara ke domestik untuk tahun 2021 lebih dari yang disyaratkan," kata Head of Corporate Communication Division PT Adaro Energy, Febriati Nadira kepada Katadata.co.id, Senin (3/1).
Anak usaha Adaro yang baru melantai bursa pada 3 Januari 2022 yakni PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR) juga ikut terdampak larangan ekspor. ADMR mengekspor batu bara melalui anak usahanya PT Maruwai Coal yang memproduksi batu bara metalurgi. Ini adalah jenis batu bara berkalori tinggi yang biasanya dipakai untuk industri peleburan baja.
Direktur Adaro Minerals Heri Gunawan mengatakan telah bersurat kepada Dirjen Minerba Kementerian ESDM pada 3 Januari 2022 untuk mencabut larangan ekspor Maruwai Coal. “Maruwai Coal memproduksi batu bara metalurgi untuk industri baja, berbeda dengan batu bara thermal yang biasa dipakai untuk bahan bakar pembangkit,” kata Heri dalam keterbukaan informasi.
Nasib sial juga dialami oleh PT Bukit Asam Tbk yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. Emiten berkode PTBA itu punya kuota DMO 7,5 juta ton di 2021. Hingga paruh pertama tahun lalu, PTBA telah menjual 8,1 juta ton batu bara untuk pasar domestik. Dus, PTBA juga kena getah larangan ekspor batubara.
Sekretaris Perusahaan PTBA Apollonius Andwie C mengatakan pihaknya masih meninjau dampak larangan ekspor terhadap pendapatan perusahaan. “PTBA berkomitmen untuk mendukung pasokan batu bara dalam negeri termasuk untuk kelistrikan umum, termasuk tambahan kepada PLN untuk mengatasi krisis suplai saat ini,” kata Apollo saat dihubungi Katadata.co.id, Kamis (6/1).
Larangan ekspor menyeluruh termasuk bagi perusahaan yang telah memenuhi ketentuan DMO dinilai akan menimbulkan persoalan baru. Direktur IESR Fabby Tumiwa mengatakan perusahaan akan dirugikan sementara pemerintah berpotensi kehilangan pendapatan dari ekspor batu bara.
Ia menilai larangan ekspor bagi seluruh jenis batu bara termasuk yang punya kalori tinggi perlu dievaluasi. “Sanksi seharusnya hanya diberikan kepada perusahaan bandel yang tidak memenuhi ketentuan DMO,” ujarnya.
Pemerintah memang terkesan panik mengatasi seretnya pasokan batubara pembangkit dalam negeri. Selain mencopot salah satu petinggi PT PLN, Menteri BUMN Erick Thohir juga mempertimbangkan untuk menutup PT PLN Batubara.
Anak usaha yang dibentuk pada 11 Agustus 2008 ini bertanggungjawab untuk memastikan suplai batu bara untuk PLTU. Awalnya PLN Batubara hanya menerima pasokan dari perusahaan tambang lain. Namun, pada 2017 perusahaan mengakuisisi PT Jambi Prima Coal demi mengelola tambangnya sendiri.
“Kita akan review keberadaan PT PLN Batu Bara yang merupakan anak perusahaan. Jangan sampai jadi kepanjangan lagi birokrasi yang tidak penting,” ujar Erick, Kamis (6/1).
Sementara itu, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo memastikan krisis pasokan batu bara ini tidak akan berdampak pada pemadaman listrik. Guna mengupayakan hal tersebut, PLN membutuhkan 20 juta metrik ton batu bara untuk menyuplai operasional PLTU paling tidak selama 20 hari.
“Jumlah itu terdiri dari, 10,7 juta MT dari kontrak eksisting dan 9,3 juta MT tambahan untuk meningkatkan ketersediaan batu bara ke level aman,” ungkap Darmawan dalam keterangan resminya.