Pasien yang berkonsultasi, misalnya, saat itu tidak mendapatkan respons cepat dari dokter. Mereka menanti berjam-jam bahkan hingga keesokan harinya untuk menunggu jawaban dokter di Halodoc. Akibatnya, Jonathan dan timnya justru mendapatkan banyak cacian. “Sampai-sampai CMO [Chief of Marketing] kami malas memasarkannya,” kata Jonathan.

Perlahan tapi pasti, Halodoc mulai memperbaiki sistemnya. Engineer Halodoc lantas menciptakan Virtual Chatroom, di mana keluhan pasien kini bisa dijawab hanya dalam waktu beberapa detik. Ini membuat pamor Halodoc meroket cepat. 

Ketika kasus pertama Covid-19 terjadi di Indonesia pada Maret 2020, Halodoc yang punya waktu empat tahun berbenah, akhirnya siap menyambut pandemi. “Jadi boleh dibilang empat tahun pertama itu kami edukasi pasar dulu,” kata Jonathan. 

Ketika varian Delta masuk, boleh dibilang menjadi masa paling berat bagi bangsa Indonesia. Kasus harian Covid-19 tembus puluhan ribu pasien. Rumah sakit masih gagap menyambut gelombang tinggi pasien. Di RSUD Bekasi, pasien Covid-19 tidak bisa ditangani sampai harus menunggu di atas mobil pick up atau di pelataran. 

Jika saat varian Alpha muncul masyarakat sempat mengalami kelangkaan masker, tantangan saat varian Delta berupa kelangkaan oksigen. Untung saja Indonesia punya modal kuat berupa semangat gotong royong untuk membantu sesama.

Jonathan menceritakan, saat itu sejumlah start up, komunitas, dan public figure seperti Atta Halilintar dan Armand Maulana menggalang inisiatif Oxygen for Indonesia. Gerakan ini sukses meraup donasi hingga Rp 42 miliar. Dana ini untuk mendistribusikan 17.000 mesin oksigen medis dan 2.500 konsentrator oksigen kepada 200 rumah sakit di Indonesia.

“10.000 konsentrator oksigen dapat menyelamatkan 30.000 jiwa setiap bulannya dan menyelamatkan 7 juta lebih jiwa selama masa operasionalnya,” tulis para relawan di situs resminya.

Kebutuhan tabung oksigen saat itu memang krusial mengingat dampak berat varian Delta. Sejumlah kalangan saling membahu. Yayasan Adaro Bangun Negeri, misalnya, berkolaborasi membuat Rumah Oksigen Gotong Royong dengan dana Rp 15 miliar. Mereka menyalurkan 1.000 konsentrator oksigen senilai Rp 12,6 miliar. Ada pula bantuan Rp 9,1 miliar untuk pengadaan ventilator ke rumah sakit.

Kembali soal distribusi, Jonathan mengatakan penyebaran tabung oksigen bukan pekerjaan mudah. Sebab kala itu banyak rumah sakit yang tidak percaya jika gerakan yang mereka buat tanpa pamrih. “Mereka [rumah sakit] pikir konsentrator oksigen ini tidak mungkin gratis. Jadi banyak yang tidak mau menerima,” kata Jonathan.

Halodoc yang memang sudah punya relasi kuat banyak rumah sakit bertugas meyakinkan pihak penerima donasi agar mau menggunakan mesin oksigen tersebut. “Tantangan waktu varian Delta memang luar biasa besar,” kenang Jonathan.  

Varian Delta memberikan pelajaran penting bagi Indonesia. Kini, penggunaan aplikasi telemedisin sudah sangat masif di Tanah Air. Pemerintah bahkan sudah menggandeng 17 aplikasi untuk membantu menangani pasien Covid-19. Menurut pengakuan Jonathan, telemedik saat ini menangani sekitar 35 % dari total kasus harian Covid-19 di Indonesia. “Dari 35 % itu, 90 % di antaranya merupakan porsinya Halodoc,” klaim Jonathan.

Kini, pengguna aplikasi telemedik bahkan bisa mendapatkan obat gratis yang disediakan pemerintah. Nadine (23) yang baru-baru divonis positif Covid-19 menggunakan Halodoc untuk berkonsultasi. Dokternya memberikan resep obat yang bisa ditebus.

Bermodalkan resep obat dan hasil tes antigen, Nadine kemudian mengakses laman resmi Kementerian Kesehatan dan menggunakan kupon obat yang disediakan. Obat-obatan itu lantas dikirimkan langsung ke pasien tanpa dikenakan biaya. “Punya saya [obat-obatan] satu hari sampai,” katanya. 

Ketersediaan Oksigen
Ketersediaan Oksigen (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/aww.)
 

PeduliLindungi Aplikasi Tracing Sekelas Unicorn

Indah Purnamasari kelimpungan saat hendak masuk salah satu mal di Jakarta pada Januari 2022 silam. Perempuan 20 tahun ini punya riwayat alergi parah sehingga dokter tidak merekomendasikannya untuk divaksin. Saat bepergian, mahasiswi asal Yogyakarta itu biasanya mengandalkan surat keterangan dari dokter. Namun ketika mengunjungi mal di Jakarta, petugas memintanya menunjukkan aplikasi PeduliLindungi dan sertifikat vaksinnya. 

Indah yang tidak bisa menunjukkan keduanya harus pulang dengan tangan hampa. Ia merasa kecewa tetapi berusaha memaklumi. Aplikasi PeduliLindungi kini memang sudah jadi instrumen wajib penanganan pandemi di Indonesia.

Berbeda dengan telemedik yang banyak berhubungan dengan pasien, PeduliLindungi dikembangkan untuk melacak pergerakan masyarakat. Kemiripannya, aplikasi telemedik dan PeduliLindungi sama-sama dikembangkan oleh para insinyur brilian yang bekerja keras untuk mewujudkan produk tersebut.

PeduliLindungi dibikin oleh para insinyur yang bernaung di satu divisi khusus milik PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM). Namanya Satuan Tugas Sistem Informasi Satu Data untuk Covid-19. Ketua Satgas Telkom Joddy Hernadi menceritakan sejak awal pandemi, Telkom diminta pemerintah mengembangkan aplikasi pelacak (tracing).

Para insinyur lantas berpaling ke aplikasi TraceTogether milik Singapura sebagai acuan. Tidak heran jika PeduliLindungi juga memanfaatkan koneksi bluetooth seperti aplikasi Singapura itu untuk melacak pergerakan pengguna. 

Menurut Joddy, intellectual property (IP) PeduliLindungi dimiliki oleh Telkom. Namun, sejak Oktober 2021, kewenangan dan kepemilikannya dilimpahkan kepada Kementerian Kesehatan.

Di sisi lain, Telkom sebenarnya membangun Satu Data Vaksinasi Covid-19. Platform ini terintegrasi dengan PeduliLindungi, sehingga pengguna bisa melihat apakah dirinya bisa divaksin atau tidak. Selain itu, kehadiran sertifikat vaksin di aplikasi ini memungkinkan karena ada integrasi tersebut. 

PeduliLindungi saat ini jadi salah satu aplikasi kesehatan yang paling banyak dipakai di dunia. Penggunanya kini sudah mencapai 90 juta dengan pengguna aktif sekitar 56 juta. 

Angka ini tentu jumlah yang sangat besar bagi sebuah aplikasi. Sebagai perbandingan, aplikasi Halodoc saat ini digunakan oleh 20 juta pengguna aktif setiap bulan. Tidak heran jika Joddy menyebut PeduliLindungi sangat potensial dikembangkan lebih lanjut. Aplikasi ini misalnya, bisa menjadi Super App di bidang kesehatan melalui integrasi dengan industri asuransi atau e-commerce produk kesehatan.

“Jumlah pengguna ini sudah setara dengan unicorn seperti Tokopedia, Traveloka, dan Shopee,” kata Joddy.  

kemdag
kemdag (Kementerian Perdagangan)
 

Kendati demikian, PeduliLindungi hanya dirancang untuk penanganan pandemi. Aplikasi ini tidak bisa dikembangkan untuk keperluan bisnis atau menangani transaksi yang sifatnya mencari keuntungan. Menurut Joddy, Telkom berencana mengembangkan aplikasi terpisah untuk menggarap potensi pasar di bidang layanan kesehatan.

“Kami sudah berdiskusi dengan empat perusahaan asuransi BUMN. Nanti kalau sudah ada kepastian pasti kami umumkan,” kata Joddy.

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement