Lanskap Industri Perbankan setelah Dihantam Berbagai Krisis

Gabriel Wahyu Titiyoga
15 Juli 2022, 07:30
Lanskap Industri Perbankan setelah Dihantam Berbagai Krisis
Katadata

Memulihkan permintaan kredit kerja yang merosot karena pandemi menjadi tantangan bagi bank. Pasalnya, permintaan kredit ke perbankan masih rendah. Perbankan juga berhati-berhati menyalurkan kredit karena memproyeksikan perekonomian belum membaik.

Menurut laporan Otoritas Jasa Keuangan, kredit perbankan pada 2020 merosot hingga -2.41%. Penyebabnya, menurut Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, banyak korporasi belum berjalan penuh sehingga kredit modal kerja tertahan. Kredit bank-bank milik negara hanya tumbuh 0,63%. Kredit Bank Pembangunan Daerah tumbuh lebih baik, 5,22%, sementara kredit bank syariah naik hingga 9,5%.

Kondisi bisnis perbankan mulai membaik pada 2021. Pertumbuhan kredit perbankan sudah mencapai 5,2%. Tren penurunan restrukturisasi kredit juga berlanjut dengan nilai mencapai Rp 693,6 triliun pada November 2021. Padahal di tahun sebelumnya, nilai restrukturisasi kredit lebih dari Rp 830 triliun.

Menariknya, bisnis UMKM yang lebih cepat pulih begitu situasi pandemi membaik. Menurut Nailul, UMKM juga lebih cepat menjadi saluran kredit kerja perbankan dibandingkan perusahaan-perusahaan atau bisnis besar. “Ini seperti yang terjadi ketika krisis 1998, UMKM bangkit lebih cepat makanya sampai disebut tulang punggung perbaikan perekonomian,” katanya.

Pandemi juga memicu berkurangnya jumlah bank di Indonesia. Menurut Nailul, ada sekitar 1.600 bank, termasuk Bank Perkreditan Rakyat, pada 2011. Pada Februari 2022 lalu, jumlahnya menyusut menjadi 1.571 bank. “BPR yang paling terpukul selama pandemi,” katanya.

Dengan modal dan ruang lingkup operasional yang lebih kecil dibanding bank umum, BPR memang langsung kena getahnya. Apalagi banyak bisnis di sektor UMKM yang kolaps dan tak sanggup lagi mengembalikan kredit ke BPR. Alhasil, banyak rapor BPR yang merah dan harus berjibaku untuk mempertahankan bisnisnya. “Kalau bank-bank besar relatif aman meski mereka juga terpukul,” kata Nailul.

Meski terguncang krisis ekonomi, fondasi perbankan Indonesia ternyata cukup kuat. Bank Indonesia menyebutkan kondisi perbankan saat pandemi jauh lebih baik dibanding ketika terjadi krisis besar pada 1997-1998 dan 2008. Sayap bisnis perbankan melebar, termasuk dengan pengembangan bank-bank syariah.

Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan rasio kecukupan modal (CAR) perbankan pada Mei 2020 mencapai 22,16 persen, di atas ambang minimal 8%. Pada akhir 2021, kinerja sektor keuangan terus membaik. Nilai CAR perbankan bahkan mencapai 25,62%. Rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit mencapai 154,9% sementara rasio Alat Likuid/DPK sebesar 34,24%, di atas ambang masing-masing pada level 50% dan 10%.

Kinerja industri perbankan syariah menjadi catatan penting karena ternyata terus tumbuh selama pandemi. Ketika penyaluran kredit nasional mengalami kontraksi, sektor pembiayaan syariah tetap tumbuh. Laporan OJK menunjukkan total aset perbankan syariah mencapai Rp 692 triliun atau tumbuh 14,25% secara tahunan. Ada pun pembiayaan mencapai Rp 434 triliun atau tumbuh 9,53%, sementara DPK mencapai Rp 544 triliun atau berkembang 15,14%.

Moncer di sisi aset dan penyaluran pembiayaan, bank syariah menghadapi tantangan di sektor permodalan. Sebagian besar bank syariah masih tergolong bank BUKU I dan BUKU 2 dengan modal inti di bawah Rp 1 triliun dan Rp 5 triliun. Kondisi ini berpotensi menyulitkan bank syariah untuk bersaing apalagi naik kelas.

Dunia Digital Bank Nasional

Pandemi Covid-19 rupanya mendorong transformasi digital di sektor perbankan berlangsung lebih cepat. Hasil survei Inventure Indonesia dan Alvara Research Center pada 2020 menunjukkan layanan perbankan digital seperti internet/mobile banking dan e-wallet menjadi lebih sering dipakai konsumen.

Ada sekitar 43,6% responden dalam sigi tersebut yang menyebut lebih sering menggunakan fitur internet/mobile banking. Di sisi lain, sebanyak 25,6% responden menyatakan mereka lebih sering menggunakan e-wallet setelah pandemi.

Bank Indonesia juga menggenjot percepatan digitalisasi perbankan dan perbaikan kondisi ekonomi nasional di tengah pandemi. Lembaga itu mendorong program open Application Programming Interface (API), yang memungkinkan transaksi perbankan dan fintech terkoneksi sehingga lebih maksimal dalam melayani kebutuhan masyarakat.

Menurut Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, digitalisasi ekonomi dan keuangan dipercepat melalui implementasi cetak biru sistem pembayaran 2025. “Ini bagian dari langkah pemulihan ekonomi nasional,” kata Perry dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia pada akhir 2020 lalu.

Peluang pasar dan pergeseran model mengakses ke layanan perbankan digital ini membuat bank-bank digital baru bermunculan. Selain Bank Aladin Syariah, bank digital lain yang diluncurkan selama pandemi antara lain Bank Jago, Seabank, Line Bank, dan Allo Bank. Mereka muncul dengan memanfaatkan ekosistem non-finansial dan teknologi yang dimiliki.

Bank Jago, misalnya, terintegrasi dalam ekosistem teknologi yang dimiliki Gojek dan Tokopedia. Ada pun Allo Bank berkolaborasi dengan ekosistem digital Bukalapak dan ritel Transmart. Bank itu juga tengah mengembangkan rencana untuk menggandeng jejaring bisnis ritel Grup Salim, Indomaret, yang memiliki lebih dari 18 ribu toko.

Grup Salim adalah salah satu pemegang saham Allo Bank. “Jangkauan Allo Bank bisa lebih luas lagi,” kata Direktur Utama Allo Bank, Indra Utoyo, Selasa (12/7).

Indra mengatakan bank digital memang harus tumbuh dalam kondisi yang mendukung dan tidak hanya mengandalkan ekosistem finansial seperti yang dimiliki bank konvensional. “Ekosistem teknologi dan non-finansial yang dibangun bank digital membuatnya bisa lebih kokoh,” kata Indra.

Perbankan nasional masih berupaya memulihkan diri dari tekanan pandemi. Meski demikian, mereka juga menghadapi tantangan lain berupa tensi geopolitik dunia, disrupsi rantai pasok global, dan kenaikan inflasi akibat melonjaknya harga komoditas dan energi.

Karena itulah OJK berupaya mendorong konsolidasi perbankan, membangun ekosistem digital sistem perbankan, dan penguatan kebijakan perizinan sebagai sasaran krusial dalam pengembangan industri perbankan pascapandemi Covid-19.

Industri perbankan, di tengah maraknya upaya melakukan transformasi digital, juga berhadapan dengan persoalan perlindungan dan pertukaran data pribadi, penyalahgunaan teknologi, risiko serangan siber, dan kebocoran data. Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK, Teguh Supangat, menyebutkan OJK terus berupaya untuk mengevaluasi dan memperbaiki pertumbuhan lembaga perbankan di era digital.

Menurut Teguh, bank harus bisa bertransformasi agar dapat memenuhi ekspektasi masyarakat terhadap layanan keuangan. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai macam layanan digital perbankan yang bisa diakses di mana dan kapan saja. “Potensi ekonomi digital saat ini cukup besar dan dapat menjadi strategi lain bagi bank untuk menghadapi normalisasi di era endemi,” kata Teguh.

Halaman:
Reporter: Rezza Aji Pratama , Intan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Video Pilihan
Loading...

Artikel Terkait