"Yang dirancang kurang memperhatikan tuntutan kondisi mendatang, terlalu fokus pada kondisi sekarang. Ini menjebak, dan versinya sama dari satu kota ke kota yang lain, jadi perencanaannya kurang kuat," ujar Sigit. 

Sedangkan Yayat memandang keterbatasan tata kota di beberapa kawasan penyangga Jakarta, terjadi karena ketimpangan anggaran yang cukup besar. Untuk membangun kota diperlukan kehadiran ruang terbuka, alun-alun, hingga taman.

Dalam membangun kota juga diperlukan kreativitas hingga simbol atau ikon kuat untuk mencerminkan kehadiran dan eksistensi kawasan. Dengan begitu, bukan tidak mungkin untuk menciptakan fenomena serupa Citayam Fashion Week di kota lainnya di Indonesia.

"Jadi bukan malas (Pemda membangun kota), enggak punya duit. Jangan membandingkan dengan Jakarta, jauh," kata Yayat. 

Pengamat tata kota, Marco menyatakan perlunya ruang terbuka cukup luas, perlintasan transportasi masal, hingga kepadatan rata-rata yang cukup, untuk memajukan kota-kota penyangga Ibu Kota. Apalagi, kota dirancang untuk kenyamanan mobilitas dan tempat tinggal.

Menanam Akar yang Hilang

Selain gaya fesyen yang nyentrik, remaja "SCBD" juga kerap mengumbar kemesraan di tempat umum. Sebut saja pasangan viral Jeje dan Roy, serta Bonge dan Kurma. Pasangan-pasangan tersebut berani mendeklarasikan hubungan mereka di muka umum, sembari menunjukkan kemesraan dengan bergandengan tangan, merangkul, hingga berpelukan. 

Ditelusuri lebih jauh, kebanyakan remaja "SCBD" adalah anak-anak putus sekolah akibat faktor ekonomi keluarga. Di sisi lain, fenomena Citayam Fashion Week mampu memberikan mereka panggung eksistensi sekaligus cuan. Alhasil, para remaja itu menganggap pendidikan bukan hal prioritas untuk mereka bisa bekerja dan meraup rezeki di masa depan. 

Sigit menilai perilaku remaja "SCBD" merupakan hasil didikan media sosial. Namun, ketika mereka mencapai tahap popularitas, para remaja tersebut belum mampu mengendalikan diri. Padahal, setiap kelompok atau orang yang mencapai posisi tertentu membutuhkan pengendalian, agar tidak merusak pondasi sosial.

Selain itu, perkembangan Citayam Fashion Week dinilai tidak memiliki akar dengan pondasi yang kuat, baik dari sisi latar belakang ekonomi, struktur organisasi, hingga jaringan. Remaja "SCBD" dianggap terlalu menikmati euphoria eksistensi mereka dan mengekspresikannya di tempat umum. 

"Mereka seperti tercabut dari akarnya, melakukan tindakan-tindakan yang enggak bisa kita kontrol, seperti pacaran di muka umum untuk mencari perhatian publik," ujar Sigit.

Di sisi lain, Ida menilai kepopuleran Jeje, Bonge, dan lainnya bisa menjadi "rujukan" yang kurang baik, ketika berkembang anggapan, dengan putus sekolah mereka tetap bisa meraih sukses. Kondisi tersebut dianggap mengkhawatirkan, karena bagaimanapun sumber daya manusia berkualitas menjadi modalitas eksistensi bangsa dan negara di era digital.

Tak hanya itu, Sosiolog UI itu menilai bonus demografi Tanah Air bisa terancam, mengingat struktur populasi ke depan adalah usia muda. Untuk itu, dibutuhkan rekognisi keberadaan bocah "SCBD" sebagai kelompok anak-anak kreatif.

"Mereka harus didampingi, diperkuat kompetensinya melalui pendidikan-pendidikan vokasi, khususnya fesyen, content creator, IT dan lainnya. Artinya, pasca tren "SCBD" mereka tetap bisa eksis, produktif dan positif," ujarnya.

Cerminan kondisi sosial remaja yang muncul pada Citayam Fashion Week turut menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah penyangga Jakarta. Yayat menyarankan Pemda untuk bisa mempersiapkan anak-anak kreatif dari kotanya, kemudian Jakarta akan menjadi panggung utama mereka. 

Untuk itu, kehadiran sanggar, pusat pelatihan, pusat pendidikan, hingga wadah untuk membuat atraksi budaya menjadi hal yang dibutuhkan dalam merangkai tata kota di sub-urban. Pemda juga dituntut untuk menciptakan ruang kota yang lebih kreatif dalam mewadahi kreatifitas remaja sub-urban.

"Bagi anak pinggiran itu, berangkat ke Sudirman itu murah naik kereta api. Jadi enggak masalah (biaya), yang masalah tempat (kota asal) mereka tidak mendukung," kata Yayat.

Adapun dari sisi sosiologi, Sigit menilai anak-anak "SCBD" harus dikembalikan ke dunianya, sekolah atau kuliah lagi. Di samping itu, perlu ditindaklanjuti pemerintah daerah setempat untuk membangun fasilitas-fasilitas rekreasi, ruang terbuka umum untuk bersosialisasi dan mengaktualisasi diri. 

Pemanfaatan kawasan Dukuh Atas sebagai area Citayam Fashion Week juga perlu diatur kembali, seperti menerapkan waktu penggunaan kawasan sebagai area nongkrong di jam-jam tertentu. Ditambah lagi, perlunya dukungan pengembangan bakat bagi remaja "SCBD" untuk lebih produktif. 

"Kalau pemerintah peduli dengan ini, jangan beri beasiswa untuk sekolah, melainkan pengembangan bakat. Ada banyak sumber ilmu yang bisa didapat oleh Gen Z dari berbagai sumber," kata Sigit.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement