"Kalau dibandingkan negara maju dan berkembang, rasio utang 42% ini relatif kecil,” kata Menkeu Sri Mulyani, Juli silam. 

Pekerjaan Rumah Transisi Energi

Selama beberapa bulan ke depan, Pemerintah Indonesia akan sibuk melanjutkan negosiasi pencairan dana US$ 20 miliar. Tidak hanya soal detail transaksi, tetapi juga menyiapkan rencana implementasi. Pasalnya, perjanjian JETP datang dengan sejumlah syarat yang mengikat.

Indonesia misalnya harus membatasi emisi puncak ketenagalistrikan tidak lebih dari 290 metrik ton pada 2030. Emisi di sektor ini juga harus mencapai nol pada 2050. Selain itu, bauran energi terbarukan juga harus mencapai 34% di 2030, hampir tiga kali lipat dari posisi saat ini sekitar 12%.

Ini tentu bukan pekerjaan yang mudah. Direktur Program  Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Grita Anindarini mengatakan Indonesia harus menyiapkan mekanisme dan regulasi untuk mengakomodir transisi yang berkadilan.

“Kata ‘just’ di inisiatif ini bukan cuma soal lingkungan, tetapi juga hak asasi manusia terutama bagi mereka yang terdampak,” katanya.

Hingga saat ini, Pemerintah memang belum memberikan gambaran jelas bagaimana transisi energi akan dijalankan. Namun, dalam dokumen Investment Plan untuk Climate Investment Fund (CIF) yang diperoleh Katadata, setidaknya bisa dilihat seperti apa rencana pemerintah dalam jangka pendek.

Dokumen itu menyebutkan salah satu tantangan terbesar Indonesia di sektor energi adalah kelebihan kapasitas, terutama dari PLTU-PLTU baru dengan rata-rata umur operasi 12 tahun. 

“Ambisi iklim Indonesia cuma bisa dicapai dengan ‘penonaktifan’ [decommisioning] dan/atau ‘penggunaan kembali’ [repurposing] PLTU,” tulis Kemenkeu dalam dokumen tersebut.

Kata ‘repurposing’ menarik dicermati. Menurut Direktur IESR Fabby Tumiwa, ini berarti pemerintah membuka kesempatan PLTU untuk dimanfaatkan untuk kebutuhan lain, misalnya untuk thermal storage

“Saya tidak tahu makna definisi yang dipakai di dokumen CIF,” kata Fabby.

Sebagai langkah awal transisi, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) baru-baru ini mengumumkan akan mempensiunkan 2-3 PLTU berkapasitas 1 GW pada 2030 dan 9 GW lainnya di 2035. Fase selanjutnya, PLN akan mempensiunkan 49 GW PLTU pada 2030-2055.

“PLN akan menjadi pemain kunci dekarbonisasi di sektor energi,” tulis dokumen tersebut yang disusun Kemenkeu kepada CIF tersebut.

Dokumen itu merinci, setidaknya ada sembilan PLTU yang akan dimatikan PLN sampai 2030. Ini antara lain PLTU Suralaya Unit 1, 2, 5, 6,7, dan 8. Selain itu, ada juga PLTU Paiton 1 dan 9 serta PLTU Adipala. Sembilan pembangkit ini memiliki kapasitas 4,9 GW dengan nilai buku mencapai Rp 82 triliun. 

Ahli Transisi Energi dan Keberlanjutann sekaligus Ketua Dewan Pembina Yayasan Mitra Hijau, Dicky Edwin Hindarto mengatakan untuk memilih PLTU mana yang harus dipensiunkan perlu melihatnya dari berbagai perspektif.

Selain selain soal usia, perlu juga dilihat dari sisi teknologi dan keseimbangan pasokan. Pasalnya, PLN juga harus menjaga agar suplai listrik tetap merata saat PLTU ditutup.

“Kalau PLTU Suralaya dan Paiton memang sudah selayaknya dimatikan,” kata Dicky kepada Katadata.

Menurut Dicky, transisi energi harus memperhatikan empat aspek. Pertama, terkait dengan teknologi yang diimplementasikan harus lebih hijau dan berkelanjutan ketimbang PLTU. 

“Teknologinya juga harus yang bisa diadopsi dan diproduksi di Indonesia,” katanya. 

Selain itu, sistem measurement reporting system (MRV) juga harus dipersiapkan dengan matang, transparan, akuntabel dan sesuai dengan standar internasional. Dicky menggaris bawahi pengukuran emisi juga harus berdasarkan baseline yang jelas. Aspek ketiga adalah pembiayaan yang transparan dan berkelanjutan. Keempat, aspek keadilan. 

“Just dalam transisi energi bermakna justice [berkeadilan]. Jangan ada yang tertinggal dalam proses implementasinya,” ujarnya. 

Sementara itu, dalam wawancara eksklusif dengan Katadata di sela-sela COP27 di Sharm el Sheikh, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengungkapkan tantangan utama transisi energi sebetulnya bukan investasi, tetapi aset terlantar berbahan bakar fosil.

“Jadi banyak [aset] yang harus dimatikan, bahkan ada juga di antaranya yang belum lunas,” ujarnya, kepada Katadata.

Darmawan mengatakan saat ini emisi karbon yang dihasilkan dari sektor ketenagalistrikan Indonesia sekitar 228 juta ton per tahun. Jumlah tersebut diperkirakan akan melonjak menjadi 1 miliar ton per tahun pada 2060. 

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, Darmawan menyebut PLN sudah bisa menghapus pembangunan PLTU batu bara 13 GW. Artinya ada 1,8 miliar ton emisi karbon yang berhasil dihindari.

“Apakah ini sudah cukup? Belum,” katanya.

Darmawan melanjutkan PLN juga telah mengganti 1,1 GW PLTU batu bara menjadi pembangkit EBT, juga mengganti 880 MW pembangkit PLTU dengan gas. Hal ini bisa mengurangi 50% emisi gas rumah kaca.

"Apakah sudah cukup? Belum. Kita rancang penambahan kapasitas dari 2021-2030 sebanyak 51,6% akan berbasis pada EBT,"ujarnya. 


Liputan ini diproduksi sebagai bagian dari program Climate Change Media Partnership (CCMP)Kemitraan 2022, sebuah beasiswa jurnalisme yang diselenggarakan oleh Internews' Earth Journalism Network dan Stanley Center for Peace and Security.




Halaman:
Reporter: Rezza Aji Pratama
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement