- Kombinasi El Nino dan IOD diperkirakan akan menyebabkan penurunan curah hujan pada Agustus hingga Oktober 2023 di sebagian wilayah Indonesia.
- Kekeringan dan penurunan produksi padi menjadi tak terelakkan.
- Inflasi diperkirakan akan melonjak karena kenaikan harga pangan.
Ancaman El Nino kembali datang ke Indonesia. Kenaikan suku permukaan laut di bagian timur Samudra Pasifik ini akan berpotensi menurunkan produksi padi dan mengganggu stabilitas harga pangan.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, puncak El Nino ekstrem akan terjadi pada Agustus nanti. Kondisi ini dapat menyebabkan kekeringan yang melanda antara 560 ribu hingga 870 ribu hektare (ha) lahan. Luas lahan yang mengalami kekeringan ini jauh lebih besar dari biasanya di 200 ribu hektare.
Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu menambahkan, periode panas dari El Nino Osilasi Selatan (ENSO) berpotensi menyebabkan kebakaran lahan pertanian, kegagalan panen, dan peningkatan serangan hama dan penyakit tanaman.
“Untuk itu, perlu dilakukan antisipasi dan adaptasi dalam upaya mengurangi dampak terhadap penurunan kapasitas produksi pangan,” kata Syahrul saat rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi IV, Selasa (13/6).
El Nino kembali ke Indonesia di tengah kemandekan produktivitas padi yang telah terlihat sejak 2018. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produktivitas padi cenderung mandek di level 52 kuintal per hektare antara 2018 dan 2022. Dalam periode ini, luas panen dan produksi sama-sama menyusut.
El Nino Menguat Setelah Juni 2023
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengamati tanda kembalinya El Nino sejak awal Juni 2023. Berdasarkan data dari Badan Meteorologi Australia, indeks Nino 3.4 telah mencapai 0,81 derajat Celsius pada 29 Mei hingga 4 Juni 2023.
Para ahli iklim Australia sepakat tanda-tanda El Nino terefleksikan dalam indeks yang mengukur anomali suhu permukaan laut di ekuator tengah Samudra Pasifik atau wilayah Nino 3.4 tersebut. Jika suhunya memanas lebih dari 0,8 derajat dari rata-rata pada 1961 sampai 1990, perubahan ini menandai kehadiran fenomena cuaca tersebut.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan lembaganya memperkirakan probabilitas lebih dari 80% untuk El Nino menguat setelah Juni 2023 ke kategori moderat dari lemah. El Nino yang moderat ditandai dengan indeks Nino 3.4 yang melebihi 1 derajat.
“ENSO netral telah beralih menuju fase El Nino, sebagaimana diprediksi, terjadi pada Juni ini,” kata Dwikorita di konferensi pers daring pada 6 Juni 2023. “Sementara itu, gangguan iklim juga terjadi di Samudra Hindia, yaitu IOD.”
Sebagai informasi, ENSO adalah fenomena laut-atmosfer yang terjadi secara berkala dan tidak teratur yang melibatkan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik timur laut. Kondisi ini sangat mempengaruhi sebagian besar daerah tropis dan subtropis.
El Nino kali ini muncul ketika osilasi permukaan laut di Samudra Hindia memasuki periode menghangat. Perubahan ini merupakan fase positif dari fenomena yang disebut Dipol Samudra Hindia (IOD).
Dalam situs BMKG, IOD merupakan fenomena cuaca ketika terjadi perbedaan suhu permukaan laut antara dua wilayah, yaitu di Laut Arab (Samudra Hindia bagian barat) dan Samudra Hindia bagian timur di selatan Indonesia.
Indonesia terakhir kali menghadapi El Nino dan IOD secara bersamaan pada 2019. Menurut Dwikorita, El Nino yang lemah dan IOD yang kuat saat itu bermuara ke jumlah kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang tinggi.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas wilayah karhutla pada 2019 mencapai 1,6 juta hektare. Angka ini tiga kali lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Dwikorita menambahkan, kombinasi dari El Nino dan IOD kali ini diperkirakan akan bermuara ke penurunan curah hujan antara Agustus dan Oktober 2023 di sebagian wilayah Indonesia. Penurunan curah hujan ini terjadi terutama di Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, serta sebagian wilayah Kalimantan dan Sulawesi.
Sebagian wilayah bahkan diperkirakan akan melihat curah hujan yang “sangat rendah” atau kurang dari 20 milimeter (mm) per bulan. Berdasarkan pengamatan antara 1991 dan 2020, curah hujan normal dalam kategori menengah berkisar antara 100 dan 300 milimeter (mm) per bulan.
Produksi Padi Akan Merosot
Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa mengatakan El Nino diperkirakan akan memangkas produksi padi pada 2023 setidaknya 5% dari tahun sebelumnya. Berdasarkan data BPS, laju penurunan itu setara dengan 2,7 juta ton gabah kering giling (GKG).
Dengan demikian, produksi padi bisa turun ke 52 juta ton GKG pada 2023. “Sudah barang tentu besar pengaruhnya (El Nino), terutama terhadap produksi padi nasional,” kata dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) itu pada Kamis (15/6). “Semakin lama kekeringan akan semakin meluas di beberapa tempat.”
Ketika Indonesia menghadapi El Nino dan IOD pada 2019, BPS memperkirakan produksi padi turun 7,7% ke 54,6 juta ton GKG dari tahun sebelumnya. Penurunan terjadi di tengah cuaca ekstrem. Sawah menghadapi banjir pada awal tahun dan kekeringan selama paruh tahun kedua.
Profesor di universitas yang berbasis di Bogor, Jawa Barat, tersebut telah menerima laporan kekeringan di beberapa wilayah. Di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, terdapat lebih dari 90 ribu hektare lahan yang gersang.
Petani mungkin tidak bisa menanam padi di lahan yang sudah merekah itu. Hal ini akan merugikan mereka karena gagal menanam. Di sisi lain, para petani belum memiliki perlindungan dari asuransi pertanian.
Padahal produksi padi pada musim panen di Maret 2023 telah naik tipis. Berdasarkan data BPS, produksinya diperkirakan hanya tumbuh 0,53% ke 23,9 juta ton GKG pada periode Januari hingga April 2023 dibandingkan tahun sebelumnya.
Dwi menyebut produksi padi pada musim panen pertama pada 2023 mengalami gangguan. Pasalnya, pda akhir 2022 terjadi curah hujan yang tinggi dan banjir. Cuaca yang masih “sangat basah” pada awal 2023 kemudian menurunkan kualitas gabah.
Pemerintah telah mempersiapkan tujuh langkah untuk mengantisipasi El Nino, mulai dari identifikasi lokasi kekeringan hingga dukungan asuransi pertanian. Upaya antisipasi lainnya adalah mempercepat penanaman untuk “mengejar sisa hujan,” kata Syahrul.
Tekanan Inflasi
Mohammad Faisal dari Center for Reform on Economics (CORE) Indonesia mengatakan, penurunan produksi padi diperkirakan akan bermuara ke tekanan inflasi yang lebih tinggi karena mendorong harga pangan ke atas. Tren ini terefleksikan dalam inflasi pada 2019.
“Kurang lebih memang ada tekanan inflasi yang lebih tinggi (dari sisi suplai)” kata Direktur Eksekutif CORE Indonesia itu. “Saya belum melihat ada lonjakan yang luar biasa. Tapi tetap harus sangat waspada karena kejadiannya bukan hanya di Indonesia.”
Pada 2019, BPS melaporkan laju inflasi tahunan untuk komoditas bahan makanan mencapai 4,28% setelah kekeringan yang terjadi di tengah El Nino. Tingkat inflasi itu lebih tinggi dari yang terlihat pada tahun sebelumnya, yaitu 3,41%.
Kali ini, harga pangan termasuk beras telah meningkat sejak awal tahun. Pada Mei 2023, indeks harga konsumen (IHK) untuk makanan, minuman, dan tembakau telah naik 4,27% dari tahun sebelumnya.
Berdasarkan laporan BPS, beras menjadi salah satu komoditas yang berkontribusi dominan ke inflasi tahunan secara keseluruhan pada Mei 2023.
Dalam catatan Kementerian Perdagangan (Kemendag), harga beras medium mencapai Rp 12 ribu per kilogram (kg) per 15 Juni 2023. Ini menandai pertumbuhan kira-kira 15% dari tahun sebelumnya.
Untuk menjaga suplai beras, pemerintah telah mengamankan kesepakatan antarpemerintah dengan India terkait pengadaan beras hingga 1 juta ton. Dengan nota kesepahaman (MoU) yang telah ditandatangani, negara ini dapat mengimpor beras tersebut ketika stok domestik menipis.
“Ini baru MoU untuk (menentukan) harga tetap. Barang (sudah) ada, tapi kita belum membelinya. Kalau butuh, bisa dibeli,” kata Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan di kantornya, Jakarta Pusat, kemarin.
Di samping itu, perusahaan umum Badan Usaha Logistik (Bulog) telah menerima penugasan untuk mengimpor 2 juta ton beras hingga akhir 2023. Impor ini bertujuan untuk memenuhi cadangan beras pemerintah (CBP) yang idealnya tidak kurang dari 1,2 juta ton.