Analisis berbeda dilontarkan pengamat politik Universitas Al Azhar Ujang Komarudin. Kejadian awal hingga pertengahan pekan ini menjadi indikator jelas keluarga Jokowi mengambil batas dengan partai pengusungnya. 

PDIP pun sebenarnya sudah biasa menyerang Jokowi, meski mereka adalah partai penguasa. Ujang juga mengamati benturan Megawati dan Jokowi ini sudah terjadi sejak periode pertama kepemimpinan 2014. Hubungan naik turun ini biasa terjadi dan ia menilai akan baik bila PDIP beralih menjadi oposisi di pemerintahan.  

“Analisa saya, capres yang diusung PDIP belum tentu didukung oleh Jokowi. Hari ini sudah kelihatan, PDIP usung Ganjar, sedangkan Jokowi ke Prabowo. Kita lihat saja, semua masih serba mungkin,” kata Ujang Komarudin. 

Pelatihan jurkam PDIP jelang kampanye pemilu 2024
Pelatihan jurkam PDIP jelang kampanye pemilu 2024 (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/Spt.)

Jurus Banteng Merah 

Para pengamat politik sepakat kepemimpinan Megawati Soekarnoputri masih tetap kuat dan solid di tengah gempuran gemuk koalisi Prabowo. Megawati sudah duduk di bangku tertinggi PDIP sejak 20 tahun lalu hingga sekarang.

Menurut Nicky Fahrizal, hingga kini masih belum ada politisi PDIP yang bisa menggantikan Megawati. Selain itu, partai ini masih akan kuat karena cenderung selektif dalam memilih koalisi. Semakin ramping koalisi, maka semakin efisien anggaran dan strategi yang akan dilancarkan.

PDIP sebagai salah satu partai politik senior di Indonesia juga memiliki sudut pandang berbeda dari partai lainnya. Bila kebanyakan partai memiliki kultur transaksional, alias bakal memperoleh suatu jabatan atau keuntungan lain saat masuk dalam koalisi. PDIP tidak melihat seperti itu.

“Yang mereka lihat itu harus berjuang dulu, tunjukkan bahwa satu barisan, kemudian kalau sudah titik maksimal baru bicara soal koalisi,” kata Nicky, “Ini kan tidak nyambung dengan partai lain.”

Kendati kalah dalam porsi koalisi,  Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi menilai PDIP punya kans menang di Pemilu 2024, asal bisa mengelola pemilih. Prabowo dengan modal dukungan lima partai politik, di sisi lain juga tidak bisa menang dengan mudah. Sebab, ia melihat basis massa Golkar, PAN, PKB, hingga Gerindra tidak serta merta memilih elit partai atau capres yang disepakati elit partai. 

Salah satu langkah PDIP yang ia nilai cukup tepat adalah ketika Ganjar turun ke basis pemilih Nahdlatul Ulama. Belum lagi Ganjar masuk dengan mendekati sosok Yenny Wahid, anak Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid. 

“Hampir 50% orang Indonesia dekat dengan NU,” katanya. “Yenny Wahid dan ibunya, Sinta Nuriyah, adalah representasi simbolik yang krusial.”

Sama halnya dengan Burhanuddin, pengamat politik Universitas Trunojoyo Surokim Abdus Salam menilai langkah politik koalisi gemuk pendukung Prabowo bisa saja berbalik menjadi simpati untuk PDIP. Apalagi bila kemudian PDIP bisa mencitrakan diri sebagai koalisi yang dikeroyok oleh banyak partai. 

Pandangan ini berkaca pada Pilpres 2014. Jokowi yang kala itu maju sebagai calon presiden dikeroyok banyak partai pendukung Prabowo. PDIP pun memperoleh simpati karena adanya pembagian kekuatan yang vulgar dari pendukung Prabowo.

Bila dibawa ke Pemilu 2024, Surokim melihat saat ini pemilh rasional Indonesia sudah kian bertambah sehingga perilaku pemilih pun berubah. Oleh sebab itu, partai harus bisa menjaga perasaan publik agar selalu sefrekuensi.

“Semakin vulgar akomodasi kepentingan partai-partai berbagi kekuasaan tanpa bisa menjelaskan secara memadai kepada publik, maka semakin besar tanda tanya publik,” kata Surokim. “Hal itu akan mempengaruhi citra koalisi sebagai tempat mencari aman dan perlindungan.”

Ujang Komarudin lalu menawarkan sudut pandang lain. PDIP masih punya sisi yang bisa diperbaiki agar koalisi bisa semakin gemuk. “Kelihatannya PDIP terlalu dominan; berkuasa penuh dan terlalu banyak peran. Partai yang ingin bergabung jadi merasa tidak nyaman,” ujarnya. 

Salah satu contohnya adalah PAN yang sudah kabur ke koalisi Prabowo, padahal sempat ingin bergabung. Begitu juga dengan Partai Golkar yang, menurut Ujang, bila bergabung dengan PDIP, tidak akan memperoleh keuntungan apapun. 

“Capres, cawapres, ketua tim sukses, tidak bisa. Tidak dapat peran apa-apa. Jadi mereka (Golkar) realistis saja ke Prabowo, daripada PDIP yang dominan dan besar sendiri,” jelasnya. 

Dengan suasana politik seperti sekarang, Ujang melihat ada kemungkinan PDIP gagal hattrick, menang Pemilu untuk ketiga kalinya. Pendiri Indonesia Political Review (IPR) ini menjelaskan pada Pemilu 2024 nanti akan ada pemilihan presiden dan pemilihan legislatif.

Dari dua pemilihan, PDIP mungkin bisa unggul di legislatif.  “Tapi kalau pola komunikasi PDIP seperti ini saja, wah itu bahaya bagi Ganjar. Pilpres ini agaknya berat, karena Prabowo dan pasangannya nanti di-backup oleh Jokowi,” tegas Ujang. 

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement