Ada yang berbeda dalam konferensi pers yang digelar pemerintah terkait kondisi ekonomi terkini pada awal pekan ini. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani duduk sejajar dengan “orang dekat” Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Thomas Djiwandono dan Budi Djiwandono.
Kedua keponakan Prabowo itu masuk dalam Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Pemerintahan Prabowo-Gibran. Bersama pemerintah, mereka mencoba menenangkan pasar yang bergejolak pekan lalu dan sempat menyeret rupiah mendekati 16.500 per dolar AS.
Rupiah terperosok setelah munculnya wacana relaksasi defisit APBN pada tahun depan. Prabowo dikabarkan ingin merelaksasi rasio utang terhadap PDB hingga di kisaran 50% untuk mengakomodasi program-program janji kampanyenya, termasuk makan siang bergizi.
Sri Mulyani mengatakan, konferensi pers gabungan itu merupakan orkestrasi untuk memberikan kejelasan proses transisi, terutama berkaitan kebijakan ekonomi dan APBN. Karena itu, Thomas dan Budi dilibatkan, “Ini menjadi perhatian banyak stakeholders, yang harus kita jaga bersama,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers, Senin (24/6).
Tak lama setelah konferensi pers, gejolak rupiah memang mereda. Nilai tukar rupiah pada Senin lalu ditutup menguat 56 poin ke level 16.394 per dolar AS.
Penguatan rupiah berlanjut sehari kemudian ke level 16.375 per dolar AS. Penguatan ini terjadi usai Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo bertemu dengan para pengusaha di Menara Kadin, Jakarta.
Ketua Umum Kadin Arsjad Rasjid mengatakan, Perry memberikan pengertian terkait pergerakan rupiah saat ini kepada para pengusaha. Usai pertemuan, Arsjad mengaku optimistis terhadap peluang rupiah menguat pada kuartal ketiga 2024.
Saat rupiah anjlok ke level 16.400 per dolar AS pada pekan lalu, Presiden Joko Widodo memanggil Sri Mulyani, Perry, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar ke Istana Kepresidenan, Jakarta.
Usai bertemu selama 1,5 jam, Perry menjelaskan kepada awak media, pelemahan rupiah banyak dipicu faktor eksternal dan sentimen jangka pendek. Sentimen tersebut adalah persepsi pelaku pasar keuangan terhadap keberlanjutan fiskal pada 2025. "Ini yang kemudian menjadi tekanan nilai tukar rupiah," kata Perry.
Secara fundamental, ia meyakini rupiah akan menguat karena inflasi rendah di 2,8%, pertumbuhan ekonomi 5,1%, pertumbuhan kredit 12%, dan imbal hasil investasi yang positif.
Penyebab Gejolak Rupiah dan Dampaknya
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menilai, melemahnya rupiah beberapa waktu terakhir tak semata dipicu menguatnya dolar AS. Ada andil kekhawatiran investor terkait kesinambungan fiskal. Para investor khawatir defisit fiskal meningkat untuk mengakomodasi program-program pemerintah baru.
“Saya memahami kekhawatiran pasar. Pasar khawatir jika fiskal Indonesia menjadi tidak sustainable,” ujar Chatib Basri melalui pesan singkat kepada Katadata.co.id, Senin lalu.
Ia mengatakan konferensi pers yang dilakukan Airlangga, Sri Mulyani, dan Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran penting dalam memenangkan pasar. Konferensi pers memberikan kepastian bahwa defisit anggaran akan dijaga dalam rentang 2,29% hingga 2,82% dari produk domestik bruto (PDB).
Ada pula rasionalisasi anggaran atas janji kampanye Prabowo yakni program makan bergizi menjadi Rp 71 triliun. Anggaran program ini semula diperkirakan mencapai Rp 450 triliun per tahun, sempat berubah menjadi Rp 120 triliun per tahun. “Perlu dicatat, dalam press conference itu disebut bahwa program makan bergizi sebesar Rp 71 triliun pada tahun 2025 sudah masuk dalam rentang defisit,” ujarnya.
Hal tersebut, menurut dia, memberikan kejelasan kepada pasar bahwa kebijakan fiskal yang berhati-hati akan dilanjutkan. Dengan kepastian rentang defisit APBN 2025 dibawah 3%, ia memperkirakan rasio utang terhadap PDB pada akhir tahun depan akan berada di kisaran 37% hingga 38%.
Angka tersebut lebih rendah dari rasio utang terhadap PDB 2023 sebesar 39%, di tengah spekulasi pasar rasionya akan menjadi 50%. “Dalam situasi ekonomi global yang tidak pasti, penjelasan fiskal disiplin akan dijaga saya kira merupakan sesuatu hal yang amat penting,” katanya.
Kepala Ekonom BCA David Sumual juga menilai kekhawatiran investor terkait arah kebijakan fiskal itu semakin menekan rupiah yang sudah dihantam gejolak eksternal. “Investor ingin kepastian, apakah memang akan ada perubahan mendasar. Kemarin, akhirnya clear setelah ada penjelasan dari pemerintah.” ujarnya kepada ketika dihubungi Katadata.co.id.
Namun, menurut dia, pelemahan rupiah sebenarnya tak terlalu buruk. Rupiah bersama banyak mata uang negara lain tertekan oleh menguatnya dolar AS seiring kebijakan The Fed (bank sentral Amerika Serikat) yang masih akan menahan suku bunga. Selain The Fed, meningkatnya tensi geopolitik di Timur Tengah juga membebani rupiah.
Menurut David, banyak pengusaha yang saat ini belum mentransmisikan pelemahan rupiah ke harga barang karena melihat kondisi daya beli yang masih lemah. Ia menduga, para pengusaha akan menaikkan harga pada paruh kedua tahun ini jika rupiah bertahan di level 16.400 per dolar AS dan cenderung melemah.
"Kalau pelemahan rupiah sudah di atas 5%, kebanyakan akan menaikkan harga. Terutama bahan pangan, itu kan banyak diimpor dari luar negeri." ujar David.
Meski demikian, ia tak melihat kemungkinan rupiah melemah lebih dalam hingga di atas 16.500 per dolar AS. Dengan catatan, tak ada goncangan besar dari sisi eksternal.
Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani sejak April telah memperingatkan, harga barang-barang akan naik jika pelemahan rupiah berlanjut hingga bulan berikutnya. Ia menyebut 80% dari total impor nasional terdiri dari bahan baku dan barang modal. Pelemahan rupiah secara otomatis meningkatkan biaya produksi domestik.
"Karena itu, terbuka kemungkinan adanya kenaikan harga jual produk manufaktur di pasar bila pelemahan ini terjadi lebih dari satu bulan," kata Shinta kepada Katadata.co.id.
Shinta menduga, sebagian pabrikan sementara itu mengurangi volume produksi untuk menekan kenaikan biaya produksi seperti tahun lalu. Namun, ia mengakui tidak semua pabrikan dapat melakukan strategi tersebut.
Tren pelemahan rupiah memang terjadi sejak awal tahun ini. Mengutip data Bloomberg, rupiah telah kehilangan nilainya hampir 1.000 poin atau sekitar 6% ke level 16.375 per dolar AS sejak awal tahun hingga Selasa (25/6).
Ini terjadi meski Bank Indonesia terbilang 'rajin' melakukan intervensi. Cadangan devisa sepanjang tahun ini turun dari US$ 146,38 miliar menjadi US$ 139 miliar meski neraca perdagangan masih mencatatkan surplus dan ada aliran dana masuk di Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
BI mencatat, investor asing mencatatkan beli neto sebesar Rp 117,77 triliun di SRBI sejak awal tahun hingga 20 Juni 2024. Sementara di pasar SBN, terjadi jual neto sebesar Rp 42 triliun, demikian dengan pasar saham yang tercatat Rp 9,35 triliun.
Beban Prabowo: Kondisi Ekonomi, APBN, dan Warisan Utang
Meski rupiah sempat menyentuh titik terlemahnya pada pekan lalu, Airlangga dalam konferensi pers memastikan, Indonesia memiliki fundamental ekonomi yang kuat saat ini. Ia menggarisbawahi langkah Bank Dunia yang baru saja menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini dari 4,9% menjadi 5% dan tahun depan dari 4,9% menjadi 5,1%.
“Inflasi kita terjaga di bawah 3%. Demikian pula postur defisit fiskal dalam APBN 2024. Rasio utang terhadap PDB juga masih sangat positif,” kata Airlangga.
Menurut Airlangga, sektor riil di Indonesia juga menunjukkan kondisi yang baik, tercermin dari data PMI (purchasing managers index) manufaktur Indonesia yang berada di level ekspansif selama 33 bulan berturut-turut. Indeks keyakinan konsumen juga diklaim tetap tinggi dengan indeks penjualan riil yang tumbuh.
“Sektor eksternal tetap kuat. Neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus US$ 2,93 miliar pada Mei 2024 dan surplus ini 49 bulan berturut-turut,” kata dia.
Ia juga membandingkan defisit fiskal dan rasio utang Indonesia terhadap PDB negara lain yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Airlangga mencontohkan defisit fiskal India yang mencapai 7,9%, Cina 7,16%, Amerika 6,67%, serta Thailand dan Filipina masing-masing 4%, sedangkan Indonesia masih di kisaran 2,2% terhadap PDB.
Ketua Umum Golkar ini juga membandingkan rasio utang Indonesia yang berada di kisaran 39,8% terhadap PDB, jauh lebih rendah dibandingkan negara lain. Ia mencontohkan rasio utang Jepang yang mencapai 254%, Amerika 123%, India 82%, Malaysia 64% dan Korea Selatan 56%.
Meski rasio utang pemerintah terbilang rendah, Ekonom Faisal Basri mengingatkan, beban pembayaran bunga utang Indonesia saat ini sudah mencapai 20% terhadap pengeluaran pemerintah pusat. Ia juga mengingatkan, Indonesia akan menghadapi jatuh tempo pembayaran utang mencapai Rp 800 triliun pada tahun depan, tertinggi dalam sejarah.
"Tidak pernah kita menghadapi utang jatuh tempo sebesar itu. Memang dibayar dengan menerbitkan utang baru. Tapi bayangkan jika pasar obligasi sedang gonjang ganjing," ujar Faisal di podcast Reynald Kasali, pekan lalu.
Penerbitan surat utang di tengah kondisi pasar yang tidak kondusif dapat membuat pemerintah harus memberikan suku bunga yang tinggi dan akan membebani APBN di masa depan.
Pemerintah mengalokasikan pembayaran bunga utang sebesar Rp 497,3 triliun dalam Peraturan Presiden (Pepres) Nomor 76 Tahun 2024 tentang APBN 2024, naik 11,55% dari realisasi tahun 2023. Alokasi pembayaran bunga utang ini mencapai 17,3% dari total pagu belanja negara 2024.
Faisal juga menekankan perlunya kehati-hatian di tengah kondisi global saat ini. Ia mengingatkan, kenaikan utang hanya boleh dilakukan jika memiliki dampak pada perekonomian.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut sejumlah tantangan eksternal yang dihadapi Indonesia, yakni tensi geopolitik yang meningkat, suku bunga tinggi di negara maju, stagnansi pertumbuhan ekonomi global, ruang fiskal yang terbatas karena pemulihan setelah pandemi yang tidak sesuai harapan. "Inilah environment yang harus kita hadapi," kata dia.
Sementara di dalam negeri, Bank Dunia menilai, rendahnya penerimaan pajak masih menjadi tantangan Indonesia. Rasio penerimaan pajak baru mencapai 6% terhadap PDB.
Kinerja penerimaan pajak pada tahun ini memang tak semulus dua tahun sebelumnya. Berdasarkan data APBNKita, penerimaan pajak pada Januari hingga Mei 2024 mencapai Rp 760,4 triliun atau turun 8,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Bank Dunia berpendapat, perlu reformasi tambahan untuk memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan, dan mengurangi meluasnya informalitas di kalangan dunia usaha akan menjadi hal yang penting.
Reformasi khusus dapat mencakup penurunan ambang batas pajak, peninjauan kembali pengecualian pajak terutama yang tidak menguntungkan masyarakat miskin dan kelas menengah, dan meningkatkan kepatuhan termasuk melalui upaya berbagi data dengan pihak ketiga. Pengumpulan pajak dalam jangka menengah juga perlu ditingkatkan melalui data pihak ketiga yang membantu melacak dan memverrifikasi pendapatan
Selain kebutuhan untuk meningkatkan pendapatan, Bank Dunia juga mengingatkan pentingnya peningkatan kualitas belanja juga terutama untuk perlindungan sosial, kesehatan, dan peningkatan sumber daya manusia.