Aturan Nilai Ekonomi Karbon Terbit Tahun Ini

Sorta Tobing
2 Oktober 2021, 10:00
Laksmi Dhewanthi
Katadata/Ilustrasi: Joshua Siringo-Ringo
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi.

Yang akan kami lakukan tentu saja kelanjutan dari upaya sampai dengan 2030 melalui NDC. Setelah itu, kami melakukan apa lagi sampai 2050 dan untuk mencapai di 2060 or sooner tadi.

Berarti akan menunggu realisasi di 2030?

Tidak, tidak menuggu. Ini simultan. Kami terus mengembangkan simulasi dan strateginya karena pasti akan ada opsi lainnya. 

Dalam dokumen LTS-LCCR 2050 ada tiga skenario, yaitu kebijakan sekarang, transisi, dan low carbon compatible with Paris Agreement (LCCP). Skenario terakhir yang paling ambisius. Indonesia sudah memilih akan menempuh LCCP.

Apakah termasuk rencana perdagangan karbon yang sedang digodok pemerintah?

Sebagai instrumen, iya. Kegiatan usaha yang ingin melakukan mitigasi atau penurunan emisi gas rumah kaca, tapi pada saat yang bersamaan tidak punya kecukupan investasi, nantinya bisa menerapkan nilai ekonomi karbon. 

Di dalam rencana regulasi yang sedang dipersiapkan, nilai ekonomi karbon akan diperkenalkan melalui empat mekanisme. Pertama, perdagangan karbon. Di dalamnya ada perdagangan dan offsite emisi. 

Mekanisme kedua adalah pembayaran berbasis hasil, atau result based payment. Ketiga, pungutan atas karbon. Terakhir, kombinasi dari tiga mekanisme sebelumnya.

Kapan aturannya selesai karena banyak pihak sudah menunggu?

Iya, benar. Kami juga menantikannya. Mudah-mudahan pada tahun ini dalam waktu yang tidak terlalu lama. Bentuknya nanti adalah peraturan presiden. 

Untuk isu penurunan emisi, sinergi antar kementerian menjadi penting?

Sudah pasti. NDC dan LTS-LCCR 2050 bukan dokumen KLHK. Ini adalah dokumen Indonesia. Penyusunannya pun dua-duanya dilakukan secara partisipatif. Kami sudah memulai prosesnya sejak 2019 melalui serangkaian diskusi, simulasi-simulasi, konsultasi. 

Siapa pemimpin untuk mengevaluasi pencapaiannya?

Dalam konteks pengendalian perubahan iklim, terutama komitmen United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), KLHK adalah national focal point-nya. Jadi pelaporan-pelaporan itu dilakukan melalui kami.

COP26 akan berlangsung awal November nanti, apa agenda utama Indonesia?

Pasti agenda para parties adalah menyelesaikan mandat Perjanjian Paris. COP26 ini seyogyanya dilaksanakan pada November tahun lalu, sebelum perjanjian itu berlaku.

Kalau bicara agenda Indonesia di COP26, maka bisa disebutkan ada dua jalur yang utama. Yang pertama tentu saja negosiasi COP. Yang kedua adalah soft diplomacy.

Apa isu utamanya? Dalam hal ini nanti Inggris akan menjadi designated president. Sebagai tuan rumah, tentu negara ini punya agenda tertentu, misalnya di sektor energi. Nanti seluruh anggota akan melakukan dialog dan konsultasi.

Pada COP yang sudah berlalu, perdebatan sengitnya tentang perdagangan karbon internasional?

Dalam COP24 dan COP25 sepertinya isu ini memang seru banget. Padahal ada topik lainnya yang juga terjadi perdebatan panjang, seperti adaptasi dan keuangan. 

Topik perdagangan karbon ada di Artikel 6 Paris Rule Books. Artikel ini merupakan salah satu isu perundingan dalam UNFCCC yang belum disepakati. Ini menjadi salah satu target yang akan diselesaikan. 

Biasanya, sektor usaha concern-nya di Artikel 6. Kami juga. Kesepakatan untuk artikel ini akan sangat menentukan bagaimana kita bisa menggunakannya untuk mendorong pencapaian target-target emisi.

Sampai sekarang masih ada perbedaan yang cukup signifikan terkait dengan pengaturan perdagangan karbon yang sifatnya internasional. Indonesia punya beberapa posisi.

Apa keinginan Indonesia?

Kami harapkan isu ini bisa diselesaikan dengan tidak rigid dan tidak terlalu mengikat. Semua negara punya kewajiban untuk agenda global. Tapi cara pemenuhannya dapat berbeda-beda, sesuai kapasitas dan kondisi masing-masing.

Tujuannya sama, tapi caranya berbeda. Ini menjadi lebih adil. Misalnya, ada negara yang baru mampu melakukan pada level ini. Ada yang levelnya lebih tinggi. Nah, kami harapkan bisa dikenali dalam perumusannya nanti. 

Lalu, harus ada proses yang transparan dalam perdagangan dan penetapan harga. Selain itu, ada pembagian manfaat yang lebih jelas untuk kegiatan adaptasi. 

Selama ini kegiatan adaptasi cenderung, dalam tanda kutip, terbelakang. Indonesia meletakkan itu sama pentingnya. 

Kami tidak mengharapkan perdagangan karbon hasilnya hanya untuk mitigasi. Bagi sebagian besar negara, termasuk Indonesia, kita memerlukan pendanaan untuk adaptasi. Itu kira-kira posisi yang nanti kami bawakan.

Penyumbang bahan: Amartya Kejora (magang)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...