Risiko Terbesar Tahun Ini, dari Omicron, Bunga The Fed hingga Cina

Muchamad Nafi
12 Februari 2022, 06:30
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Robot Pengantar Pesanan di Kedai Kopi
Robot Pengantar Pesanan di Kedai Kopi (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/rwa.)

Pandemi menjadi faktor internal yang kita hadapi. Bagaimana faktor eksternalnya, seperti percepatan pengetatan likuiditas di Amerika Serikat dan kemungkinan The Fed meningkatkan suku bunga acuan?

Dari sisi fundamental, saya urutkan faktor risiko yang paling besar di domestik itu Omicron. Selain itu, ada faktor-faktor lama yang harus kita benahi, misalnya masalah daya saing untuk investasi.

Faktor besar lainnya memang dari eksternal, seperti percepatan perubahan kebijakan moneter di negara maju. Bukan cuma di Amerika Serikat, Bank of England juga sudah menaikkan suku bunga acuan. Tinggal menunggu suku bunga acuan The Fed. Sebab ini akan berdampak pada aliran modal, terutama yang short term capital flows.

Berkaca dari pengalaman lalu, ketika ada kenaikan bisa saja ada announcement efek. Ada capital outflows besar. Dampaknya adalah kenaikan indeks dolar, lalu nilai tukar rupiah melemah. Kedua, potensi kenaikan imbal hasil obligasi, government bond yield akan naik. Ketiga volatility di capital market.

Seberapa besar dampak arus keluar modal itu?

Saat ini porsi kepemilikan asing di Indonesia sudah turun dari posisi 2013. Ketika terjadi taper tantrum saat itu, kepemilikan asing 33 %, yang tertinggi bisa di 38 – 39 %. Nah, saat ini, porsi asing di bawah 20 %.

Kenapa berkurang drastis? Karena sudah pergi banyak di 2020 dan belum kembali full di 2021. Dari 20 % porsi asing di SBN, sekitar 25 % disumbangkan kepemilikannya oleh foreign central bank dan foreign government.

Artinya saat ini relatif lebih aman dibandingkan 2013 bila kembali terjadi pelarian modal ke luar?

Ya, kalaupun ada capital outflows, tidak akan semasif di 2013. Simulasi kami, kepemilikan asing tinggal 14 %, itu sekitar US$ 20 miliar. Sementara BI saat ini memiliki cadangan devisa US$ 146 miliar. Pada saat taper tantrum, cadangan devisa hanya sekitar US$ 99 miliar. Jadi, sekarang sangat kuat untuk menahan ekspektasi pelemahan nilai tukar rupiah.

Kedua, tingkat inflasi relatif terjaga. Walaupun ekspektasi kami ada peningkatan inflasi di 2021 sekitar 1,8%, tahun depan perkiraannya 3 - 3,5 %, masih berada dalam range BI. Dengan inflasi yang terjaga tersebut, real interest rate masih relatif menarik dibandingkan rating BBB emerging countries lainnya.

Terakhir, tentu saja kita lihat current account deficit. Kita ingat, pada 2013 Indonesia dikategorikan sebagai the fragile five, yang vulnerable. Waktu itu transaksis defisit berjalan kita lebar. Saat ini, ekspektasi kami 0 sampai surplus 0,1 % dari PDB. Tahun depan, kalaupun defisit itu tidak lebih dari minus 2,5 %.

Selain Amerika, bagaimana posisi Cina pada tahun depan?

Ini faktor utama atau risiko ketiga setelah Covid-19 dan penyesuaian suku bunga acuan di Amerika. Konsensus di Bloomberg, suku bunga di Cina diekspektasikan flat tahun depan. Harapannya Cina tetap mendorong untuk penguatan perekonomian domestiknya. Risiko besar untuk Indonesia kalau pertumbuhan ekonomi Cina turun drastis.

Ekspor kita sekarang paling besar ke Cina. Jadi kalau pertumbuhan Tiongkok menurun, akan berdampak besar pada semua pergerakan di Indonesia?

Betul. Kekhawatiran ketiga kalau Cina mengalami penurunan drastis atau hard landing. Kita tidak berharap seperti itu. Kalau itu terjadi, akan ada penurunan dari harga komoditas, akan berpengaruh kepada ekspor. Walaupun, kami menilai harga komoditas di 2022 memang akan ada penurunan gradual, tapi masih cukup tinggi.

Terkait market, tahun lalu banyak investor milenial. Beberapa emiten juga mulai melakukan split saham sehingga nilainya kecil dan diharapkan pemain ritel banyak yang masuk. Bagaimana proyeksinya di tahun ini?

Investor ritel masih akan tinggi di 2022. Sekarang makin banyak edukasi tentang pasar modal, makin banyak teman-teman milenial tercerahkan di investasi. Bukan hanya di pasar modal, di equity market, tapi juga di fix income setelah pandemi. Peranan investor ritel makin besar. 

Sebenarnya sudah kami prediksi. Semakin tinggi edukasi dan publikasi tentang pentingnya melakukan investasi, baik dari otoritas maupun pelaku pasar modal lainnya, akan semakin besar pengaruhnya kepada appetite mereka untuk berinvestasi. Demikian juga di produk investasi lain, seperti kripto.

Memang belum masuk ke faktor fundamental seperti properti, masih limited. Sekarang lihatnya masih short-term, yang bisa di-trading. Menurut saya di 2022 masih tetap besar perubahannya.

Apa tips bagi para pemula agar tidak salah berinvestasi, terutama di portofolio?

Pertama, banyak belajar dari sumber yang benar ya, jangan hanya terpikat satu sumber. Misalnya, influencer yang tidak ada background mengeluarkan statement, kemudian langsung di-follow. Kalau seperti itu, jatuhnya hanya sebagai spekulatif, bisa naik tapi kemudian turun.

Pintar-pintar baca fundamental perusahaan, fundamental makro. Meski penting juga baca sentimen. Ketika berinvestasi, seberapa panjang horizonnya, kalau bukan untuk trading. Kalau masih merasa kurang, ya belajar.

Terakhir, perlu mencermati risiko. Pertama, untuk investasi yang bukan saving, apalagi yang level rating risikonya besar, gunakanlah uang yang berlebih, yang memang bukan untuk kebutuhan pokok. Harus ada manajemen aset portofolio. Jangan uang untuk kebutuhan pokok dipakai di high risk asset. Ketika lagi drop dan ada kebutuhan jatuh tempo, jadi terjebak dalam lilitan utang, misalnya.

Bagaimana dari sisi regulator, apa sudah cukup protectable untuk para investor, terutama pemula itu?

Peran besar regulator dua. Pertama pasti edukasi. Saya lihat OJK, BI, BEI, dan pelaku sudah masif untuk edukasi sebagai bagian dari consument protection.

Kedua yang harus dilakukan adalah mencegah kehadiran produk-produk ilegal. Seringkali dibasmi satu, muncul lebih banyak lagi. Ini perlu terus diawasi regulator. Tapi overall kalau dilihat dari kondisi terakhir, saya rasa pihak OJK sangat agresif mengedukasi dan mencegah institusi-institusi ilegal melakukan penetrasi ke masyarakat.

Terakhir, di saat semuanya serba online, yaitu private data protection. Ini penting. Security dari data perlu dikoordinasikan agar tidak ada breach dan data-data kita beredar ke mana-mana.

Sekarang uang kripto menjadi pilihan investasi yang banyak diminati anak muda. Di Indonesia, kripto masih dianggap sebatas komoditas, belum menjadi alat tukar. Bagaiamana mas depan uang kripto ini?

Satu prinsip yang harus dipegang adalah stabilitas dan sovereignty dari negaranya. Bank sentral tentu akan melindungi hal itu. Pertama, apakah kripto ada underlying-nya dan relatif stabil? Misal, saya melakukan transasksi lalu nilainya tiba-tiba berubah naik-turun, bagaimana? Yang seperti itu belum terpecahkan.

Saya rasa bank sentral sedang menggodoknya. Apakah nanti berbentuk central bank digital currency, itu penting. Karena arahnya akan ke banyak hal, misalnya untuk mengukur money supply, daya beli, dan tingkat inflasi satu negara. Jadi, saya rasa ke depan masih akan menjadi komoditas. Untuk menjadi alat pembayaran, saya rasa belum terlihat.

Selain saham dan reksadana, investor milenial juga berinvestasi di emas dan properti. Bagaimana di 2022 ini?

Emas ini sama seperti komoditas lain. Biasanya komoditas itu berkebalikan dengan kondisi likuiditas global. Kondisi likuiditas ke depan perlahan-lahan dikurangi dengan taper, suku bunga naik. Itu tendensinya harga komoditas akan turun.

Makanya, proyeksi kami, berbagai harga komoditas secara gradual akan turun, walapun dibandingkan dengan 2020 saat pandemi relatif masih tinggi. Harga batubara masih di atas US$ 100, harga CPO di atas US$ 1000 per metrik ton. Kalau emas, volatiliy-nya limited dibandingkan kondisi likuiditas yang sedang flush.

Nah properti, untuk investasi di bawah Rp 2 miliar, permintaannya tetap resilient. Kredit penjualan di bawah Rp 2 miliar meningkat. Tapi yang di atas Rp 2 miliar hanya untuk certain group of people. Bayangan saya, paling cepat semester kedua 2022, permintaan properti seperti landed house antara Rp 500 juta dan Rp 1 miliar sangat besar. Jadi kalau mau investasi atau jual-beli di sekitar itu

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...