Ekonomi Global Tertekan, Fundamental Indonesia Lebih Kuat
Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi, di antaranya pada 1998 dan 2008. Bagaimana Anda melihat situasi saat ini?
Apa yang terjadi di dunia jelas membawa dampak kepada kita. Kita tidak kebal terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak dan pangan. Inflasi yang meningkat akan menyulitkan masyarakat Indonesia, sebab mereka akan menghabiskan lebih banyak uang untuk hidup sehari-hari. Kenaikan inflasi juga bisa memicu Bank Indonesia menaikkan suku bunganya. Ini membuat banyak perusahaan juga kesulitan.
Ketika tadi saya menyatakan sudah ada kemampuan untuk menghadapi krisis, bukan berarti itu akan lancar-lancar saja. Tetap akan ada gejolak, namun itu bisa dikelola karena fundamental ekonomi negara ini sudah jauh lebih baik.
Apakah Bank Indonesia perlu menaikkan suku bunga?
Saya memahami situasi yang dihadapi Bank Indonesia. Sebagian harga bahan bakar minyak masih disubsidi. Namun tidak ada masalah pangan besar sejauh ini di Indonesia. Kondisi perekonomian, di luar kenaikan suku bunga yang terjadi di Amerika, tidak terlalu berdampak pada volatilitas rupiah.
Alasannya adalah komoditas. Indonesia mengekspor banyak komoditas. Tingginya harga komoditas membantu Indonesia. Jadi ini seperti dua sisi koin. Di satu sisi, Indonesia memiliki masalah subsidi karena harga minyak naik, juga soal penyesuaian suku bunga. Di sisi lain, Indonesia memiliki harga komoditas tinggi, artinya pendapatan nonpajak akan meningkat dan akhirnya membantu neraca keuangan.
Indonesia, yang ikut mengalami dampak kenaikan harga pangan dan minyak dunia tapi juga mendapatkan hasil dari ekspor batu bara, minyak, dan gas, tidak berada dalam bahaya seperti halnya negara yang sangat bergantung pada impor. Banyak negara Asia tidak memproduksi komoditas, tapi justru mengimpornya. Dengan demikian, Indonesia lebih terlindungi dibanding negara yang hanya mengimpor energi.
Dari perspektif kebijakan moneter, cepat atau lambat tingkat suku bunga perlu naik. Meski demikian, tidak ada kondisi mendesak seperti halnya di tempat lain di mana dampak inflasi dan risiko neraca pembayaran lebih besar.
Jadi prospek ekonomi Indonesia berada di jalur yang tepat?
Kalau menganalisis kondisi outlook ekonomi regional, Indonesia sebenarnya tidak lagi bergantung pada apa yang terjadi, misalnya di Amerika atau Cina. Outlook ekonomi Indonesia justru lebih dipengaruhi faktor domestik.
Pertumbuhan ekonomi Amerika mungkin akan melambat pada paruh kedua tahun ini. Di Cina sudah terjadi pelambatan ekonomi. Hal ini menjadi faktor negatif bagi sejumlah negara Asia, tapi tidak menjadi masalah untuk Indonesia. Dengan pertumbuhan ekonomi berkisar 4,5-4,8% tahun ini, Indonesia tidak lagi bergantung pada apa yang terjadi di Amerika atau Cina. Perekonomian domestik tumbuh kembali setelah Covid-19. Turisme pun berkembang.
Menurut saya, risiko pelambatan pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang tinggi tidak terjadi di Indonesia. Saya khawatir hal itu terjadi di negara-negara Asia lain, bukan di Indonesia.
Bagaimana dengan jumlah utang Indonesia yang bertambah?
Rasio antara utang dan pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia, bahkan menurut komparasi internasional, tergolong rendah. Tidak sampai 40%. Sementara di Amerika, rasionya hampir 100%, India sudah 70%.
Sejak krisis 1997-1998, Indonesia menjadi lebih konservatif dalam hal pinjaman sektor publik dan defisit fiskal. Di negara mana lagi di Asia defisit 2% dari GDP sudah dinilai buruk? Sebagian besar negara lain bahkan masih menerima defisit sekitar 5-7%.
Defisit tahunan dan rasio utang Indonesia jauh lebih rendah dari negara-negara setara, baik di Asia dan dunia. Jadi ketika para investor global melihat Indonesia, mereka jarang sekali mencemaskan kondisi utang sektor publik.
Tentu saja hal itu bukan berarti tak ada yang perlu dikhawatirkan. Jika defisit bertambah dan rasio utang naik tajam, tentu Anda akan cemas. Tapi melihat apa yang sudah terjadi dalam dua tahun terakhir, ketika ada negara lain punya defisit 10-15% dan rasio utang dengan PDB meningkat lagi 20%, Indonesia masih lebih baik.
Negara mana yang bisa dikomparasi dengan Indonesia?
Brasil. Populasinya mirip. Kedua negara memiliki geografi dan sumber daya alam yang besar. Di saat yang sama, selain komoditas, tidak banyak mengekspor elektronik atau menjadi bagian dari rantai pasok global.
Pelajaran penting dari pengalaman Brasil dalam 100 tahun terakhir adalah, pertama, jangan terlalu bergantung pada ekspor komoditas karena sangat volatil. Kedua, jangan membuat peran sektor publik begitu besar hingga malah mengekang sektor swasta. Di Brasil, peran pemerintah begitu besar, bisa mengumpulkan pendapatan hingga 30% PDB, namun membuat sektor swasta tak bisa apa-apa.
Pemerintah Indonesia membentuk beberapa holding untuk mengendalikan pasokan sejumlah komoditas pangan dan energi. Bagaimana Anda menilainya?
Apa yang orang inginkan dari pemerintah adalah keamanan, baik itu di bidang hukum, energi atau pangan. Tak ada yang ingin stasiun pengisian bahan bakar malah kehabisan bensin atau tak ada apa-apa di toko pangan. Yang penting rantai pasok aman, masyarakat tak peduli itu itu dikelola pemerintah atau swasta.
Jika sektor swasta tak memenuhinya, pemerintah perlu berperan untuk memperbaikinya. Ini bisa dilakukan lewat pengadaan publik, kepemilikan publik pada bagian penting rantai pasok, reformasi kelembagaan, atau regulasi untuk menyediakan layanan bagi publik. Intervensi masih diperlukan untuk mengelola rantai pasok dalam menyediakan ketahanan pangan dan energi bagi masyarakat.
Indonesia akan menghadapi pemilihan umum pada 2024. Bagaimana dampak persiapan kampanye menuju ke sana terhadap perekonomian?
Tanda demokrasi yang matang adalah ketika siklus politik tidak begitu mempengaruhi siklus ekonomi. Tak peduli siapa presiden saat ini atau pada 2024, arah ekonomi seharusnya tak tergantung ke sana. Dalam 10-20 tahun terakhir, Indonesia sudah menunjukkan, ketika ada pemilihan presiden atau transisi pemerintahan, sebagian besar arah ekonomi tak terpengaruh.
Ini berbeda dengan Amerika, misalnya, ketika dua partai idi sana merepresentasikan ideologi ekonomi yang sangat berbeda. Ketika satu partai berkuasa, dia bisa membatalkan hal-hal yang sudah dikerjakan rivalnya sebelumnya. Bercampurnya siklus politik dan ekonomi seperti itu memicu ketidakpastian untuk investor dan masa depan ekonomi.