G20 Harus Mengutamakan Isu-isu yang Penting untuk Negara Berkembang
Rentetan hajatan menuju Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada 15 -17 November nanti terus berlangsung. Aneka pertemuan digelar untuk membahas isu-isu global, dari working group hingga tingkat menteri.
Generasi muda dari 20 negara yang tergabung dalam Youth 20 juga berkumpul. Mereka membuat rekomendasi atas isu-isu strategis saat ini yang akan dibawa ke para pemimpin G20.
Delegasi Y20 Indonesia memiliki empat isu prioritas: transformasi digital, ketenagakerjaan pemuda, keragaman dan inklusi, serta keberlanjutan planet dan layak huni. “Semua negara harus berkoordinasi untuk meregulasikan dunia yang baru, dengan tidak menghambat inovasi,’ kata Delegasi Y20 Indonesia, Marcel Satria dalam wawancara dengan Katadata.co.id beberapa waktu lalu.
Menurut pria 24 tahun yang menjabat Corporate Development Lead di DANA Indonesia ini, dengan menjadi Presidensi G20, Indonesia bisa mendorong dunia untuk mengutamakan isu-isu yang penting bagi negara berkembang. Untuk itu proses negosiasi dengan semua anggota G20 terus dilakukan. Targetnya, rekomendasi kebijakan dari Y20 ataupun G20 dilakukan di negara masing-masing.
Apa saja pandangan-pandangan lulusan University of Warwick, Inggris yang dapat berbicara dalam bahasa Perancis, Spanyol, Jerman, dan Inggris ini? Berikut ini rangkuman wawancaranya:
Bagaimana gambaran kondisi transformasi digital Indonesia saat ini?
Transformasi digital Indonesia cukup menarik. Indonesia memiliki banyak wirausahawan yang mempunyai misi untuk membantu transformasi digital. Banyak yang sudah dilakukan sektor swasta. Pemerintah juga mulai lebih digitalisasi, terlihat ada banyak kantor-kantor digital transformation office. Misalnya di Kementerian Kesehatan yang membantu PeduliLindungi.
Tapi apa sebenarnya yang kurang? Pertama keahlian digital, karena kita masih memerlukan sekali SDM yang bisa berpartisipasi dalam digitalisasi Indonesia.
Kedua, masih kurangnya kepastian hukum, penegakan hukum dalam dunia digital. Kita lihat ada kasus-kasus pinjol ilegal, atau kasus data pribadi dicolong, itu sangat merisaukan. Kita belum membuat infrastruktur yang cukup aman untuk dunia digital. Itu semua harus diperkuat. Penting sekali disiapkan dari sekarang.
Hal yang juga menjadi tantangan Indonesia yaitu konektivitas, supaya semua warga negara bisa berpartisipasi dalam dunia digital.
Transformasi digital Indonesia bergerak cepat selama pandemi Covid-19, bagaimana negara lain?
Sebenarnya, sistem pembayaran digital di Indonesia merupakan salah satu yang bertumbuh sangat cepat. Di negara lain situasinya berbeda. Kalau ada layanan digital untuk membeli pesanan online e-commerce, ataupun food delivery, secara tradisional di negara lain menggunakan kartu kredit.
Di Indonesia, hanya sekitar 50 % memiliki akun bank, berarti lebih sedikit yang memiliki kartu kredit maupun kartu debit. Kita harus menggunakan inovasi baru, seperti pembayaran e-money dan e-wallet. Itu menjadi touch point pertama untuk banyak orang yang sebelumnya tidak masuk dunia finansial.
Itu situasi yang unik di Indonesia, karena di negara lain mereka tidak mempunyai masalah yang sama. Kita seperti meloncati penggunaan kartu kredit ataupun kartu debit. Apalagi di daerah-daerah yang tidak memiliki akun bank.
Apakah ada negara yang menjadi benchmark bagi Indonesia terkait realisasi dan target penerapan transformasi digital ke depan?
Setiap negara harus memiliki target tersendiri, karena harus sesuai dengan situasi lokal, serta apa sebenarnya yang diinginkan dan diperlukan penduduknya. Kalau kita ingin, misalnya seperti Amerika atau negara lain, mungkin dalam segi bentuk. Tapi tidak semua yang dilakukan Amerika bisa digunakan atau sesuai dengan situasi Indonesia.
Jadi tidak ada benchmark, di setiap negara ada beda-bedanya. Misalnya, payment system India lumayan maju dengan menerapkan regulasi UPI (Unified Payments Interface). Itu standar payment di India dalam membantu mendigitalisasi, yang sebelumnya banyak menggunakan pembayaran tunai.
Di Cina tidak ada standar nasional. Namun di sana mereka memiliki dua digital payment yang cukup kuat, Wechat Pay dan Alipay. Itu menunjukkan standar nasional mungkin tidak perlu di setiap negara. Namun, di Indonesia, standar nasional QR-Code, QRIS membantu sekali. Sekarang, merchants tidak harus menaruh lima QR-Code, cukup satu dan bisa digunakan dengan semua aplikasi, yang memberi konsumen pilihan.
Apa saja target yang ingin dicapai Delegasi Y20 Indonesia? Apa menyinggung soal kripto juga?
Ini kali perdana Indonesia menjadi Presidensi G20. Pertama kali Indonesia bisa mewakili Global South Countries, negara-negara berkembang yang mempunyai situasi berbeda sekali. Karena pertama kali mengambil presidensi ini, kita mau juga memprioritaskan agenda-agenda Global Self agar orang lebih berpikir dari segi negara berkembang.
Terkait kripto, memang banyak inovasi dan perkembangan maju dalam teknologi digital yang bisa kita bicarakan. Tapi, yang basic saja belum kita address. Bagaimana saya membicarakan kripto tapi para pemuda dan rekan-rekan saya di daerah belum memiliki handphone atau konektivitas dengan internet? Hal itu penting karena mereka tidak memiliki peluang untuk berpartisipasi di dunia kripto dan metaverse.
Untuk itu, Indonesia ingin sekali mengingatkan semuanya. Dunia lebih besar dari G20. Dengan presidensi di G20, kita harus bisa mengutamakan isu-isu yang penting untuk negara berkembang, baik negara berkembang di G20 maupun di luar G20.
Secara lebih detail, apa saja target transformasi digital ke depan?
Pertama, yang basic yaitu konektivitas dan akses harus dipercepat dan diperkuat serta dimudahkan. Konektivitas bukan hanya sekadar akses, tetapi juga affordability, apakah murah atau kemahalan, karena itu akan memberi dampak kepada kesetaraan dan kesenjangan sosial ekonomi, baik perkembangan di daerah maupun di kota.
Kedua, fokus kepada literasi digital, yang sekarang sering diabaikan. Dipikir para pemuda pasti tahu, padahal belum tentu. Para pemuda di daerah mungkin tidak mempunyai literasi digital yang sama dengan pemuda di kota. Jadi, penting sekali untuk pemerintah melihat literasi digital sebagai skill basic di dunia baru ini, digital.
Ketiga, harus dibereskan semua infrastruktur regulasi kita, perlindungan data pribadi, keamanan digital. Bagaimana bisa mengandalkan dunia digital dan berpartisipasi dengan penuh harapan kalau banyak kasus yang belum ada penegakan hukum. Itu harus diregulasikan juga. Kalau tidak ada trust, tidak akan ada adopsi ataupun partisipasi dan berkontribusi di ekonomi digital.
Ada misi personal untuk membawa perspektif baru ke pemerintah? Perspektif baru seperti apa?
Misalnya, pemerintahan perlu memikirkan kebijakan dengan melihat kebijakan sebelumnya, ataupun negara lain. Namun ini dunia baru, inovasi baru, sehingga regulasi untuk dunia baru mungkin tidak bisa menggunakan cara-cara lama. Contoh, dunia kripto kan besar sekali. Bicara tentang token, aset, metaverse atau decentralize finance (DeFi), itu banyak sekali seginya, dan tidak bisa diregulasikan seluruhnya dengan satu regulasi.
Misalnya, DeFi adalah layanan keuangan digital yang tidak tersentralisasi, jadi harus ada input dari pengawas dan otoritas jasa keuangan, atau dari BI, Bappebti dari segi investasi. Jadi lebih banyak kolaborasi antara agensi-agensi yang berbeda, karena ini adalah inovasi yang berbeda.
Kedua, seringkali orang lupa, karena kripto dan metaverse, web 3.0 adalah sesuatu yang dibangun secara tidak tersentralisasi, tidak ada juga yurisdiksi, jadi tidak ada perbedaan antar-negara. Untuk itu, forum G20 menjadi lebih penting lagi. Semua negara harus berkoordinasi tentang meregulasikan dunia yang baru ini, dengan tidak menghambat inovasi. Karena dunia digital ini tidak melihat perbatasan negara.
Strategi untuk mengeksekusi target-target yang ingin dicapai seperti apa?
Secara praktis, yang kami lakukan sebagai Y20 yaitu menyiapkan komunike, poin-poin untuk melakukan negosiasi dengan semua negara G20 dan para pemuda negara G20 tentang apa saja yang harus diprioritaskan oleh para pemimpin kami. Itu step pertama. Penting sekali komunike disepakati secara musyawarah, mufakat, secara konsensus.
Selanjutnya, komunike disampaikan kepada para pemimpin dan terus berinteraksi dengan working group, engagement group di keluarga besar G20. Dengan melakukan itu, harapan kami, mereka mengingat terus perspektif dari para pemuda. Ujung-ujungnya, program atau implementasi dari rekomendasi kebijakan oleh Y20 ataupun G20 harus dilakukan di negara masing-masing.
Sejauh ini ada berapa program yang diusulkan Y20 ke Presidensi G20? Program apa yang menjadi prioritas?
Kami masih di tahap negosiasi, isu-isunya masih bicara secara keseluruhan. Kami berdiskusi kemudian dari hasil diskusi harapannya pemuda negara G20 bisa berbicara dengan representatif dan perwakilan negara masing-masing untuk forum G20.
Untuk program prioritas Indonesia terkait transformasi digital, menurut saya konektivitas dan literasi digital itu paling penting. Kalau tidak di-fix sekarang, setelah masa pandemi, dunia digital sudah terintegrasi sekali. Kapan akan diperbaiki situasi itu?
Itu yang ingin ditekankan. Kami bicara dengan Kementerian Pendidikan atau Kementerian Kominfo untuk memasukkan program literasi digital secara formal, misalnya program pendidikan nasional. Ataupun untuk lebih banyak inisiatif, mensosialisasikan literasi digital kepada seluruh masyarakat, bukan hanya pemuda. Itu juga bisa membantu untuk mencegah pinjol ilegal.
Ada rencana melibatkan DANA ke Agenda Y20 dan sampai ke presidensi G20, atau misi khusus?
Sebenarnya DANA Indonesia dan Y20 lumayan separate dalam segi apa yang saya lakukan di Y20 mewakili para pemuda, bukan perusahaan. Namun apa yang kami lakukan dan kerjakan di DANA Indonesia sangat seiring dengan tujuan-tujuan di Y20. DANA bekerja keras untuk memperluas inklusi keuangan melalui metode pembayaran digital.
Di Y20, yang saya kerjakan adalah inklusi di dunia digital secara keseluruhan, dan apa yang membantu. Karena pekerjaan saya di DANA, saya tahu apa saja tantangan startup untuk membantu inklusi keuangan di daerah-daerah. Ini bisa saya gunakan untuk menginformasikan cara untuk kebijakan di Y20 dan G20.
Saya tahu juga apa yang bisa dilakukan sektor swasta, juga apa yang diperlukan dari pemerintahan dari segi kebijakan, bukan pemerintah yang harus berinovasi terus. Menurut saya, inovasi adalah it's not the duty event policy maker, bukan suatu kewajiban untuk pembuat kebijakan, tetapi itu passionate entrepreneur, yang diinginkan para wirausahawan/wati.
Sebenarnya Indonesia beruntung sekali mempunyai sektor startup yang begitu bagus dan dinamis dan memajukan Indonesia. Apa yang missing? Apa yang kurang? Nanti kami harapkan bisa disampaikan ke para pemimpin negara-negara G20.
Juga yang sedang kami pikirkan, strategi apa yang sebaiknya dilakukan. Enggak bisa dari pusat, harus ada inisiatif dari provinsi. Indonesia memiliki otonomi daerah. Kami ingin kesadaran di level nasional, di mana setiap pemerintah profinsi juga bisa lebih sportif kepada inisiatif para pemuda setempat.