Insentif dan Disinsentif Spesifik Penting untuk Dorong Green Financing
Pembiayaan berkelanjutan menjadi salah satu instrumen untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan mendukung komitmen pemerintah atas transisi menuju ekonomi hijau melalui penerbitan Roadmap Keuangan Berkelanjutan yang dibagi dalam dua tahap, 2015-2019 dan 2021-2025.
Lembaga pengawas keuangan ini telah menerbitkan beberapa kebijakan terkait keuangan berkelanjutan. Misalnya, Peraturan OJK 51/2017 (POJK 51) tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan dan yang terbaru yakni Taksonomi Hijau Indonesia yang diluncurkan Presiden Joko Widodo pada 20 Januari 2022.
Saat ini OJK menindaklanjutinya melalui implementasi Taksonomi Hijau agar pembiayaan berkelanjutan di Indonesia di sektor swasta dan pemerintah dapat terakselerasi. Kepala Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK, Enrico Hariantoro, mengatakan pentingnya menyeimbangkan pembangunan ekonomi yang lebih ramah lingkungan untuk generasi masa depan.
“Di satu sisi, mendorong ekonomi hijau menjadi urgensi saat ini. Di sisi lain, sektor yang belum hijau masih menjadi tulang punggung ekonomi. Hal ini perlu diseimbangkan dengan cermat,” kata Enrico dalam mewawancarai khusus dengan Katadata beberapa waktu lalu.
Berikut ini wawancara lengkap Katadata bersama Enrico Hariantoro.
OJK mendukung praktik keuangan berkelanjutan melalui berbagai peraturan pendukung, bagaimana perkembangan dari kebijakan tersebut?
OJK telah menerbitkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan tahap satu dan dua. Pada tahap satu lebih berfokus pada peningkatan awareness pelaku usaha dalam menerapkan sustainability, sementara tahap dua berfokus pada pembentukan ekosistem keuangan berkelanjutan yang komprehensif. Kami berharap pelaku usaha mengimplementasikan praktik keuangan berkelanjutan ini secara konsisten.
Kebutuhan untuk mengungkapkan (disclose) telah kami akomodasi melalui kehadiran POJK 51 yang mewajibkan lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik untuk menyampaikan laporan keberlanjutan (sustainability report) secara tahunan. Sehingga publik dapat melihat dan menganalisis sejauh mana mereka menerapkan keuangan berkelanjutan.
Kami telah mengidentifikasi nilai pembiayaan sektor hijau berdasarkan laporan yang disampaikan kepada kami maupun berdasarkan hasil survei. Namun demikian, standar hijau yang digunakan oleh lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik tersebut belum seragam. Hal tersebut menyebabkan potensi besar terjadinya multi interpretasi, bahkan potensi pengungkapan atau pelaporan informasi kegiatan ramah lingkungan yang kurang tepat (greenwashing).
Untuk itulah mengapa kami menginisiasi Taksonomi Hijau Indonesia di 2022 ini, agar menjadi game changer dalam penerapan keuangan berkelanjutan. Ini upaya kami untuk menyamakan bahasa tentang mana saja kegiatan usaha atau produk/jasa yang tergolong hijau.
Pascapenerbitan Taksonomi Hijau, kami mendorong industri jasa keuangan untuk melaporkan secara detail berapa banyak eksposur sektor hijau dan/atau praktik berkelanjutan yang sudah dilakukan dalam balance sheet perusahaan. Tahun ini kami memulainya di sektor perbankan, dengan sejumlah bank besar sebagai piloting yang dimulai pada Juli.
Bagaimana respons sektor perbankan?
Sambutannya sangat bagus. Sebetulnya semua pihak sudah menyadari bahwa sustainability menjadi keniscayaan bersama. Namun dukungan terhadap sustainability finance ini masih bisa ditingkatkan.
Kami mendorong agar bank maupun perusahaan publik tidak sebatas melakukan aktivitas yang meminimalisasi dampak lingkungan. Misalnya dengan mendaur ulang kertas, membuat program penghijauan, membiayai mengolah limbah, dan lainnya. Dukungan perbankan dapat diarahkan pada pengembangan inovasi produk dan skema pembiayaan yang mendukung peningkatan pembiayaan terhadap proyek-proyek hijau.
Apa saja tantangan yang dihadapi?
Beberapa tantangan utama yang kami identifikasi atas pendanaan proyek-proyek dengan prinsip berkelanjutan antara lain biaya yang tinggi, periode return of investment yang relatif lama, dan kebutuhan penggunaan teknologi yang besar.
Tantangan lainnya yaitu standar hijau dan berkelanjutan belum diatur secara global. Dengan demikian, kepastian return atas pihak-pihak yang terlibat seperti pelaku usaha dan investor, menjadi tujuan bersama yang sering digaungkan.
Untuk mengatasinya, roadmap keuangan berkelanjutan tahap dua mendorong agar model bisnis dapat beradaptasi dan mengusung konsep berkelanjutan. Peningkatan pembiayaan hijau harus diiringi dengan kriteria yang reliable pada sektor-sektor benar-benar sustainable guna menghindari praktik greenwashing.
Dengan demikian, kebutuhan insentif dan disinsentif yang spesifik menjadi penting untuk mendorong pembiayaan di sektor hijau. Biaya transisi energi itu sangat besar dan tidak mungkin hanya mengandalkan anggaran pemerintah. Butuh kerja sama dengan pihak swasta. Namun perlu dicatat bahwa sektor swasta juga membutuhkan kepastian profit (commercial business) dalam aktivitas bisnisnya.
Sebagai bagian dari pengembangan keuangan berkelanjutan, pemerintah membentuk instrumen green bond, sustainable financing, dan blended finance. Bagaimana kinerja berbagai instrumen tersebut dan pengembangan apa saja yang akan dilakukan?
Di pasar modal, green bond sudah disambut baik oleh pasar dan sudah diatur dalam POJK No. 60/2017. Baru-baru ini juga terdapat penerbitan green bond BNI dan BRI dengan target yang cukup signifikan. Instrumen-instrumen juga terus berkembang, seperti sustainability bond dan sustainability-linked bond. Untuk green bond, kami mengharapkan mampu menarik investor asing untuk mendukung green projects di Indonesia.
Adapun untuk kredit atau pembiayaan berkelanjutan, perbankan akan mengadopsi Taksonomi Hijau sebagai klasifikasi kredit atau pembiayaan ke sektor-sektor hijau dan diharapkan akan tampak dalam sustainability report mereka. Saat ini, kami tengah memetakan pelaporan Taksonomi Hijau di beberapa bank besar pada debitur-debitur terbesar.
Ke depan, cakupan pelaporan akan diperluas sehingga data yang granular dan rinci secara sektoral akan tersedia. Hal itu diharapkan dapat menjadi pemicu pengembangan skema pembiayaan alternatif sesuai karakter proyek atau bisnis berkelanjutan bagi para debitur.