Mengapa Harga BBM Harus Naik?
Ketidakstabilan geopolitik global memicu lonjakan harga minyak dunia. Kondisi ini mendorong selisih harga minyak dunia dengan harga jual bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di Indonesia semakin besar. Jika tidak diatasi, maka Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) akan jebol dan berpotensi mengguncang perekonomian nasional.
Karena itu, pemerintah bakal mempertimbangkan kenaikan harga BBM dengan cara mengurangi subsidinya untuk meringankan tanggungan APBN. Per Agustus 2022, harga eceran BBM bersubsidi bahkan jauh dari harga keekonomian.
Berdasarkan asumsi Harga Minyak Indonesia (ICP) US$ 105/barel, harga riil solar yang seharusnya dijual di pasaran adalah Rp13.950 per liter. Namun, karena disubsidi pemerintah harga jual eceran solar saat ini masih Rp5.150 per liter sehingga selisih harganya mencapai Rp8.800 per liter. Artinya 63,1 persen harga solar disubsidi pemerintah.
Begitu pula Pertalite. Harga riil bensin ini seharusnya Rp14.450 per liter, tapi harga eceran masih Rp7.650 per liter karena Pertalite disubsidi pemerintah. Selisih harga riil dengan harga eceran mencapai Rp6.800 per liter atau subsidi pemerintah mencapai 47,1 persen.
Untuk Pertamax, harga riil seharusnya Rp17.300 per liter berdasarkan harga Bensin RON 92 pada Agustus 2022, tapi harga jual eceran Rp12.500 per liter. Selisih harga Rp4.800 atau 27,7 persen yang ditanggung.
Terakhir, harga LPG 3kg seharusnya Rp18.500 per kg. Namun, harga jual ecerannya cuma Rp4.250 per kg. Alhasil, selisih harga sebesar Rp14.250 atau sebesar 77 persennya di subsidi oleh pemerintah melalui Pertamina.
Sehingga, pengurangan subsidi energi, terutama BBM tampaknya tidak bisa dihindari lagi karena asumsi-asumsi dalam APBN juga sudah jauh berubah. Asumsi harga minyak Indonesia, misalnya, kini berada di angka US$ 105/barel yang sebelumnya dipatok di APBN US$ 100/barel.
Kemudian, nilai tukar rupiah atau kurs pun sudah melemah menjadi Rp14.898/US$ per 29 Agustus 2022, yang dari sebelumnya dipatok pada Rp14.450/US$.
Meningkatnya mobilitas masyarakat akibat pemulihan ekonomi juga telah mendorong peningkatan volume konsumsi BBM. Konsumsi pertalite menjadi 29,07 juta Kilo Liter (KL) dari sebelumnya 23,05 juta KL. Lalu, solar menjadi 17,4 juta KL dari sebelumnya 15,1 juta KL.