Indonesia Pengguna Fintech Tertinggi Ketiga di Dunia
Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan instalasi aplikasi keuangan terbanyak di antara 15 negara lainnya, menurut Laporan State of Finance App Marketing edisi 2021 yang dirilis AppsFlyer. Bahkan, tingkat fraud (kecurangan atau penipuan) pada aplikasi populer Indonesia tercatat mengalami penurunan drastis hingga 48%.
Dalam laporan tersebut, Indonesia unggul dari negara besar lain seperti Amerika Serikat (AS) yang menempati peringkat keempat dan Rusia peringkat kelima. Namun, masih kalah dari India dan Brazil yang menempati posisi pertama dan kedua.
Di Indonesia, para pengguna umumnya mengunduh aplikasi layanan keuangan termasuk aplikasi mobile payment, kartu kredit, dan juga aplikasi pinjaman. Kategori tersebut berkontribusi besar terhadap jumlah total download di Tanah Air.
Sementara itu, meskipun tingkat fraud instalasi aplikasi di Asia Tenggara cukup tinggi, namun fraud jenis keuangan justru mengalami penurunan. Penurunan terjadi sepanjang periode kuartal I-2020 hingga kuartal I-2021.
Dengan jumlah populasi yang besar dan tingkat populasi underbank dan unbanked yang relatif tinggi, Indonesia juga menjadi satu-satunya negara Asia Tenggara yang berada di posisi lima besar di peringkat negara yang menginstal aplikasi keuangan.
Laporan State of Finance App Marketing AppsFlyer 2021 meneliti 2,7 miliar instalasi aplikasi di Asia Pasifik periode kuartal I-2019 dan kuartal I-2021, dari total 4,7 miliar instalasi aplikasi di seluruh dunia. Laporan juga memantau 600 juta instalasi non-organik dan 1.230 aplikasi yang terdaftar di pasar aplikasi Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Filipina, Thailand dan Vietnam.
Adapun aplikasi yang masuk dalam kategori keuangan meliputi sub-kategori seperti bank digital, bank tradisional, layanan keuangan, pinjaman dan investasi online. Senior Customer Succes Manager APAC AppsFlyer, Luthfi Anshari mengatakan 2020 sebagai momentum perubahan bisnis dan konsumen berinteraksi dan beroperasi.
“Sektor fintech (teknologi keuangan) telah beradaptasi secara drastic terutama di negara-engara berkembang. Di mana, sangat banyak masyarakat yang belum punya rekening bank dan akses ke perbankan,” kata Luthfi dalam keterangan resminya, Selasa (22/6).
Sementara itu, biaya marketing aplikasi di Asia Tenggara secara umum bergantung pada permintaan aplikasi fintech. Laporan menunjukkan, rata-rata keseluruhan biaya marketing di Indonesia meningkat sejalan bertambahnya permintaan pada aplikasi fintech.
Pada kuartal kedua 2020, anggaran marketing berkurang hampir 50% akibat pandemi global dan lockdown. Di sisi lain, permintaan terhadap solusi pembayaran touchless (nirsentuh) justru meningkat, begitu juga dengan permintaan aplikasi fintech yang tumbuh hingga 75%.
Marketer di Indonesia pun melanjutkan pengeluaran iklan demi melakukan kembali akuisisi user baru. Terlihat dari peningkatan biaya signifikan hingga 180%, dari kuartal II-2020 sampai kuartal I-2021, sekaligus menyebabkan instalasi non-organik, dengan tingkat pemulihan sebesar 26% di periode waktu yang sama.
Lebih lanjut Luthfi menyebutkan, banyaknya pengguna yang bergeser ke perangkat seluler mendorong institusi atau lembaga keuangan untuk beradaptasi dengan tren.
“Hal ini memungkinkan para konsumen bertransaksi melalui ponsel mereka. Seiring meningkatnya aplikasi pembayaran touchless. Marketer juga fokus dalam memenuhi peningkatan demand (permintaan) melalui kampanye remarketing dan akuisisi pengguna,” ujarnya
Secara rerata marketer di Asia Tenggara menghabiskan total US$ 244 juta untuk berinvestasi pada aplikasi fintech untuk menggaet user baru di 2020. Secara global, sebanyak US$ 3 miliar (Rp 43,2 triliun) dihabiskan sepanjang tahun lalu.