Perjalanan Gubernur Bank Indonesia Bergelut Menjaga Moneter

Amelia Yesidora
18 Juli 2022, 18:29
Calon Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo bersiap menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi XI DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (28/3). Perry ditunjuk sebagai calon tunggal Gubernur Bank Indonesia oleh Presiden Joko Widodo menggantika
ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Calon Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo bersiap menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi XI DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (28/3). Perry ditunjuk sebagai calon tunggal Gubernur Bank Indonesia oleh Presiden Joko Widodo menggantikan Agus DW Martowardojo yang berakhir masa jabatannya pada Mei 2018.

Badan Pusat Statistik melaporkan inflasi Indonesia Juni 2022 mencapai 0,61 % secara bulanan atau 4,35 % secara tahunan. Angka tahunan tersebut melampaui batas inflasi Bank Indonesia untuk 2022, yaitu 3 % plus minus 1 %, sekaligus tertinggi sejak 2017 yakni 3,61 %. 

Inflasi tidak hanya menghantam Tanah Air, data Tradingeconomics menunjukkan Venezuela adalah negara dengan laju inflasi tahunan tertinggi di dunia, yakni 222 % year on year (yoy). Harga barang di sana mengalami kenaikan lebih dari tiga kali lipat dalam setahun terakhir. Berikut perbandingan 10 negara dengan inflasi tahunan tertinggi, dilansir dari Databoks: 

Sebelumnya, Indonesia pernah mengalami titik inflasi tertinggi pada awal Orde Baru, tepatnya pada 1966. Saat itu, level inflasi Tanah Air berada di level 635%. Alhasil, lonjakan kenaikan harga tersebut tak lagi disebut sebagai inflasi, melainkan hiperinflasi. 

Boediono dalam buku berjudul Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah menuliskan hiperinflasi sebagai keadaan di mana laju inflasi sangat tinggi, berada di angka 100 % atau lebih. Akibatnya, masyarakat akan kehilangan kepercayaan untuk memegang uang, lantaran tingginya kekhawatiran akan nilai uang semakin berkurang.

Gubernur Bank Indonesia Kendalikan Hiperinflasi

Selaku bank sentral, Bank Indonesia memiliki tanggung jawab menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Hiperinflasi yang terjadi awal Orde Baru turut menjadi tantangan yang dihadapi Gubernur Bank Indonesia era Presiden Soeharto, yakni Radius Prawiro. 

Sebagai pemegang ujung tombak Bank Indonesia dari 1966 hingga 1973, Radius memulai upaya perbaikan ekonomi dengan mengubah UU Pokok Bank Indonesia. Dalam catatan Tirto, upaya perbaikan itu berhasil menekan hiperinflasi secara drastis dari 635 % pada 1966, menjadi 112,2 % pada 1967. Tren penurunan terus berlanjut ke level 85,1 % pada 1968. 

Selama menjabat, Radius juga harus menghadapi masalah likuiditas, di mana masyarakat pada saat itu tidak mau menabung dan cenderung menyimpan kekayaan dalam bentuk perhiasan. Bukan tanpa alasan, masyarakat ketakutan akan kebijakan redenominasi dari nilai Rp 1000 menjadi Rp 1 yang sempat berlaku pada 1959.

Oleh sebab itu, Gubernur Bank Indonesia kelahiran Yogyakarta tersebut meluncurkan program Tabungan Pembangunan Nasional (Tabanas) dan Tabungan Asuransi Berjangka (Taska). Program tersebut disertai dengan iming-iming bunga 6 % per bulan dan uang dalam tabungan akan bebas dari pengusutan. 

Berkat keberhasilan program tersebut, laju inflasi turun menjadi satu digit, tepatnya 2,5 % pada 1971. Jumlah uang yang beredar pun turun dari 765 % pada 1966 menjadi 33 % pada 1970. Atas jasanya, nama Radius Prawiro diabadikan sebagai nama salah satu gedung Bank Indonesia yang terletak di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat sejak 2015.

Bank Indonesia
Bank Indonesia (Arief Kamaludin | Katadata)

Selanjutnya, kepemimpinan Bank Indonesia periode 1973 hingga 1983 beralih ke Rachmat Saleh. Gubernur Bank Indonesia satu ini merupakan sosok yang patut diteladani. Terdapat lima pedoman profesionalitas, etika, dan moral yang rekat dengan Rachmat, yakni nasionalisme, kejujuran, kerja keras, dedikasi, serta konsisten menambah pengetahuan. 

Arifin Siregar tercatat sebagai Gubernur Bank Indonesia kedelapan, untuk masa jabatan periode 1983 hingga 1988, menggantikan Rachmat Saleh. Dilansir dari Antara, Arifin memegang gelar PhD di bidang ekonomi dari Munster University, Jerman Barat pada 1960. Usai menamatkan pendidikan, pria asal Medan itu memulai karirnya di Jerman Barat sebagai seorang peneliti. 

Sebelum menjadi Gubernur Bank Indonesia, dia memiliki perjalanan karir cukup panjang. Arifin sempat menjadi ekonom Biro Penelitian dan Kebijakan Ekonomi Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di Amerika Serikat. 

Pada periode 1969-1971, dia sempat menjadi wakil Dana Moneter Internasional di Laos dan bertindak sebagai penasihat keuangan dan moneter untuk pemerintah Laos. Setelah itu, barulah dirinya kembali ke Indonesia untuk bekerja di Bank Indonesia. Butuh waktu 12 tahun bagi Arifin untuk menjadi orang nomor satu di Bank Sentral. 

Pada 1988, pemimpin Bank Indonesia kesembilan beralih ke Adrianus Mooy. Pria kelahiran Pulau Rote itu, merupakan alumni Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada lulusan 1958. Dia juga meraih gelar profesor bidang ekonomi dari University of Wisconsin, Amerika Serikat pada 1987. 

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...