Sri Mulyani Akan Pakai Dana PEN Rp155 Triliun untuk Meredam Inflasi
Pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp 154,8 triliun dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2022 untuk belanja berbagai bantuan sosial bagi masyarakat. Menteri Keuangan Sri Mulyani juga akan memakai anggaran tersebut untuk menghadapi risiko lonjakan inflasi akibat perang Rusia dan Ukraina.
Sri Mulyani mengatakan anggaran untuk perlindungan sosial bukan hanya mengalir dalam rangka menangani Covid-19 tapi melindungi masyarakat secara keseluruhan. Anggaran itu termasuk melindungi dari lonjakan harga-harga pangan, seperti yang terjadi saat ini pada harga minyak goreng.
Ia mengatakan, kenaikan harga pangan lainnya juga bisa naik sebagai imbas perang Rusia dan Ukraina, salah satunya gandum. "Jadi kami harus sangat waspada. Kami menyediakan Rp 154,8 triliun sebagai bantalan perlindungan sosial terkait dengan tekanan (harga) ekstrem yang mungkin berasal dari harga komoditas ini," kata Sri Mulyani dalam diskusi Fitch on Indonesia - Exit Strategy after the Pandemic, Rabu (16/3).
Pemerintah mengalokasikan anggaran PEN tahun ini sebesar Rp 455,62 triliun. Meski demikian, pagu tersebut belum final sehingga masih berpotensi berubah. Adapun anggaran tersebut akan mengalir untuk tiga keperluan, yakni belanja kesehatan sebesar Rp 122,5 triliun, perlindungan masyarakat Rp 154,8 triliun dan penguatan pemulihan ekonomi Rp 178,3 triliun.
Adapun belanja perlindungan masyarakat tersebut akan dipakai untuk berbagai keperluan, terutama menyalurkan sejumlah paket bantuan sosial ke masyarakat, termasuk yang disebutkan Sri Mulyani sebelumnya, untuk menangani lonjakan harga-harga.
Beberapa program yang akan disalurkan pemerintah tahun ini lewat belanja perlindungan masyarakat, antara lain Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan sembako, kartu pra-kerja, BLT Desa, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), dan antisipasi perluasan perlinsos lainnya.
Sri Mulyani mengatakan, negara-negara dunia sudah menghadapi masalah lonjakan harga-harga bahkan sebelum meletusnya konflik di Ukraina. Masalah ini mulai terlihat tahun lalu karena adanya gangguan dari sisi supply. Sebagai contoh, Amerika sejak beberapa bulan terakhir berjuang menjinakkan inflasinya. Adapun pada Februari lalu, inflasi di Negeri Paman Sam itu sudah menyentuh level tertingginya dalam 40 tahun.
Namun, masalah inflasi ini makin memburuk dengan adanya perang Rusia dan Ukraina. Konflik memicu kenaikan harga-harga komoditas. "Serangan Rusia ke Ukraina sebagai salah satu yang paling penting karena dapat menciptakan ketidakpastian yang sangat tinggi, seperti yang sekarang kita saksikan peningkatan yang sangat ekstrim di beberapa komoditas," kata Sri Mulyani.
Bukan hanya memicu kenaikan inflasi, ketegangan antar dua negara bekas Uni Soviet ini juga memicu ketidakpastian yang tinggi di pasar keuangan dan pasar modal. Ini tidak lepas dari langkah negara-negara barat menjatuhkan sanksi ke Rusia. "Semua ini menjadi tantangan yang nyata untuk proses pemulihan ekonomi, baik di negara maju maupun negara emerging," kata Sri Mulyani.