Risiko Transisi Iklim Dorong Industri Sawit Ambil Tindakan

Image title
Oleh Alfons Yoshio - Jeany Hartriani
25 Januari 2022, 21:41
Risiko Transisi Iklim Dorong Industri Sawit
ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/aww.

Perkembangan kondisi dalam negeri dan internasional mendorong industri kelapa sawit Indonesia mulai mempertimbangkan risiko transisi iklim. Berbeda dari risiko perubahan iklim secara fisik, ini adalah risiko bisnis akibat dari aksi pemerintah, konsumen, atau perusshaan swasta dalam menanggapi krisis iklim.

Saat konsumen, pemodal, perusahaan, dan pemerintah meningkatkan intensitas respon perubahan iklim, risiko transisi iklim akan cepat terwujud pada sektor dan negara penghasil emisi tinggi.

Advertisement

Dalam dua dekade terakhir, Indonesia telah kehilangan 17 persen tutupan pohonnya berdasarkan data Global Forest Watch. Angka ini setara dengan emisi karbon 19 gigaton CO2e.

Pendorong utama dari besarnya angka kehilangan tutupan pohon adalah deforestasi yang dimanfaatkan untuk budidaya komoditas. Hal ini membuat industri kelapa sawit menjadi salah satu yang rentan dalam upaya pengurangan emisi.

Industri kelapa sawit Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menunjukkan angka produksi lebih dari 52 juta ton pada tahun 2019, atau 58 persen dari pasokan global.

Upaya untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan yang menjadi fokus dari respon iklim belakangan, meningkatkan risiko transisi iklim bagi industri kelapa sawit Indonesia.

Empat Risiko Transisi Iklim

Task Force on Climate Related Financial Disclosures (TCFD), gugus tugas yang mencakup 32 anggota G20, mengelompokkan risiko transisi iklim dalam empat kategori; kebijakan dan peraturan, pasar, teknologi, dan reputasi.

Risiko kebijakan dan peraturan mencakup litigasi lingkungan sampai kebijakan pemerintah dalam membantu pencapaian komitmen iklim internasional. Kebijakan yang dimaksud mulai dari konservasi hutan sampai mekanisme penetapan harga karbon.

Contoh terbaru terjadi di Konferensi Tingkat Tinggi terkait Iklim (COP26) di Glasgow, 26 November 2021 lalu. Lebih dari 100 pemimpin dunia mengikrarkan janji mengakhiri deforestasi dan mengembalikan fungsi hutan pada 2030. Presiden Joko Widodo menjadi salah seorang pemimpin yang menandatangani perjanjian nol deforestasi tersebut.

Selain komitmen para pemimpin dunia, pemerintah dari 28 negara juga menyatakan keseriusannya untuk menghapus deforestasi dari perdagangan global makanan dan produk pertanian lain seperti minyak kelapa sawit, kedelai, dan kakao.

COP26 juga mempertegas Pasal 6 Perjanjian Paris terkait perdagangan karbon dan peningkatan momentum penetapan harga karbon internasional. Industri kelapa sawit Indonesia dihadapkan dengan risiko sekaligus peluang dari penetapan harga karbon ini.

Pajak karbon akan meningkatkan biaya operasi bagi produsen yang getol menghasilkan emisi namun tidak berinvestasi dalam teknologi pengurangan emisi. Di sisi lain, pasar kredit karbon akan menawarkan sumber pendapatan tambahan bagi perusahaan yang melestarikan hutan yang ada ataupun mereboisasi lahan yang terdegradasi.

Praktik penetapan harga karbon di Indonesia memang belum berjalan, namun terbitnya Peraturan Presiden Nomor 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon, menjadi lampu kuning untuk industri yang menghasilkan emisi.

Apalagi, berdasarkan riset Trove Research bersama dengan University College London (UCL), tengah tahun 2021 lalu, harga kredit karbon diperkirakan akan melonjak antara US$ 20-50 per metrik ton CO2e pada 2030. Kenaikan ini lebih tinggi dari kondisi di negara maju saat ini yang menerapkan harga rata-rata US$ 3-5 per metrik ton CO2e.

Kondisi harga karbon internasional menjadi relevan dalam pengambilan keputusan strategis produsen kelapa sawit, karena terdapat opportunity cost dari konversi lahan dan produksi. Dengan kondisi saat ini, harga US$ 15 per metrik ton CO2e, Orbitas memperkirakan konsesi kelapa sawit yang tidak ditanam dapat menghasilkan pendapatan tahunan hingga US$ 12,8 miliar untuk industri kelapa sawit Indonesia.

Risiko Pasar mengacu ke perubahan preferensi konsumen atau penurunan akses pasar sebagai akibat keterlibatan dalam deforestasi atau degradasi hutan.

Misalnya, jika perusahaan di sepanjang rantai pasok kelapa sawit mewajibkan adopsi kebijakan Nol Deforestasi, Nol Gambut, Nol Eksploitasi (No Deforestation, No Peat, No Exploitation/NDPE) ke sumber pemasok mereka, hanya produsen yang patuh yang dapat mengakses pasar tersebut.

Temuan Chain Reaction Research menyebutkan, per April 2020, 83 persen kapasitas pemrosesan minyak sawit Malaysia dan Indonesia memenuhi standar NDPE. Kondisi ini akan sangat membatasi akses pasar bagi produsen yang belum bisa mengikuti standar tersebut.

Contoh lain, pada November 2021, 10 perusahaan komoditas pertanian global terbesar, termasuk Cargill, JBS, Bunge, Marfrig, Golden Agri-Resources, dan Wilmar International, mengambil langkah lebih jauh dengan komitmen iklim bersama.

Selain itu, seluruh pasar berisiko ditutup bagi produsen kelapa sawit yang terlibat deforestasi karena undang-undang rantai pasokan akan memerangi deforestasi. Uni Eropa, Prancis, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat semuanya memberlakukan atau mempertimbangkan peraturan yang akan melarang impor komoditas yang terkait dengan deforestasi.

Selanjutnya, risiko teknologi muncul dalam terobosan inovasi yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif.

Prediksi Orbitas, biaya pembebasan lahan akan naik sampai 52 persen pada 2050, sehingga produsen kelapa sawit yang bergantung dengan ekspansi untuk meningkatkan produksi akan sangat rentan mengalami pembengkakan biaya. Alternatifnya lewat peningkatan produktivitas di lahan. Hal ini dapat membuat produsen tetap bersaing.

Orbitas merekomendasikan penggunaan teknik agroforestri yang sedang berkembang dan teknologi pengurangan emisi. Seperti penangkapan metana biogas untuk meningkatkan hasil, mendiversifikasi pendapatan, dan mengurangi biaya emisi di masa depan.

Terakhir, risiko reputasi yang mungkin timbul bagi citra perusahaan dan dapat mengakibatkan pembiayaan yang lebih sulit dan penurunan permintaan konsumen.

Beragam laporan dan pantauan dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menyangkut aktivitas industri sawit Indonesia menjadi salah satu faktor kerentanan risiko reputasi ini. Dalam kasus yang serius, pemegang saham atau penyedia modal melakukan divestasi atau melakukan pendekatan kasus dengan perusahaan yang reputasinya terganggu.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement