Chatib Basri Minta Prioritaskan Stimulus Ketimbang Tekan Defisit APBN
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyarankan agar pemerintah tidak terburu-buru menarik berbagai insentif fiskal demi mengembalikan target defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2023 mendatang.
Pasalnya, insentif fiskal diperlukan untuk mempercepat pemulihan ekonomi.
"Saya ingin mengingatkan bahwa kita memang punya target 3% (dari PDB) tapi kita juga harus fleksibel, jangan sampai gara-gara mengejar 3% (dari PDB), itu fiskalnya diperketat seperti awal," kata Chatib Basri dalam diskusi virtual Bincang APBN 2022, Senin (18/10).
Sebagaimana amanat UU Nomor 2 tahun 2020, pemerintah diwajibkan untuk kembali ke disiplin fiskal defisit 3% dari PDB pada tahun 2023 setelah memperlebar defisit di atas 3% dari PDB pada periode 2020-2022.
Pemerintah hanya punya sisa satu tahun yakni tahun depan sebelum tenggat waktu berakhir.
Dengan mengembalikan defisit anggaran ke 3% dari PDB dikhawatirkan pemerintah akan menarik sejumlah sstimulus fiskal yang ada dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Chatib mengatakan pihaknya tengah terlibat dalam penyusuan 'World Development Report 2022' oleh Bank Dunia.
Proyek tersebut meneliti berbagai kebijakan fiskal berbagai negara dunia. Dalam pandangannya, hampir tidak ada satu negara pun yang terlihat mulai mengurangi stimulus fiskalnya sekarang ini.
"Intinya, kalau memang itu masih dibutuhkan, dilakukan saja, jangan sampai kita mengulang kesalahan yang dilakukan pada tahun 1998," kata Chatib.
Mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tersebut mengingatkan pandemi Covid-19 berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya.
Selama penangangan pandemi belum membaik, maka aktivitas ekonomi juga masih akan sulit. Sementara kebijakan pemerintah dinilai hanya bisa fokus pada dukungan agar kondisi cepat pulih.
Dalam periode pemulihan, dia menyebut alokasi dana paling penting diberikan kepada tiga hal, kesehatan, bantuan sosial dan dukungan kepada Usaha Mikro Kecil dan menengah (UMKM).
Dukungan pertama berupa dukungan kesehatan yakni akses vaksinasi gratis serta pengetesan PCR yang terjangkau.
"Perbandingan dengan negara lain walau PCR kita berada di Rp 400 ribu itu masih mahal," kata Chatib.
Dukungan kedua, berbagai program perlindungan sosial (Perlinsos) masih perlu dilanjutkan dan diperkuat.
Pemberlakuan PPKM hanya efektif diterapkan kepada kelompok masyarakat menengah atas sementara masyarakat miskin masih perlu keluar rumah untuk bekerja. Kelompok ini menurutnya masih butuh kompensasi dari pemerintah.
"Mereka yang punya tabungan itu bisa tinggal di rumah, tapi orang miskin tidak bisa tinggal di rumah," katanya.
Dia mengusulkan agar berbagai insentif tersebut bisa diperkuat. Penguatan bansos dilakukan dengan memperluasnya cakupannya yakni 60% penduduk Indonesia atau 160 juta jiwa atau 40 juta keluarga.
Selain itu, ia meminta agar nominal bansos juga dinaikkan dari saat ini hanya Rp 300-700 ribu menjadi Rp 1 juta-1,5 juta.
"Satu bulan itu sekitar Rp 40 triliun (anggarannya), kalau kita kasih 3 atau 6 bulan itu sekitar Rp 120-240 triliun, dan menurut saya alokasinya ada," katalulusan Australia National University tersebut.
Dukungan ketiga adalah kepada UMKM. Sektor ini menurutnya sangat rentan karena bukan termasuk jenis usaha fixed income atau berpendapatan tetap. Chatib menyarankan agar pemerintah fokus pada tigas sektor tersebut untuk memulihkan ekonomi.
Dia melihat pemerintah punya banyak ruang untuk memenuhi kebutuhan pendanaan atas tiga program tersebut. Ruang tersebut bisa disediakan dengan melakukan sejumlah kebijakan.
Menurutnya, ada tiga hal yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, pemerintah diminta mengevaluasi belanja perpajakan yang saat ini mencapai 1,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dia mempertanyakan besarnya alokasi belanja perpajakan tersebut, terutama saat peneriaman pajak rendah.
Kedua, dengan melakukan reformasi perpajakan, seperti memindahkan pelayanan wajib pajak (WP) dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) reguler ke Medium Tax Officce (MTO) atau KPP Madya.
"Kalau dipindah ke MTO tanpa menaikan rate, itu sebetulnya penerimaan bisa naik," ujarnya.
Ketiga, relokasi belanja Kementerian dan lembaga (K/L). Bukan hanya belanja perpajakan, menurutnya pemerintah perlu mengevaluasi program di berbagai K/L yang masih bisa ditunda beberapa tahun ke depan.
Program tersebut bisa dilanjutkan lagi setelah periode kedua, dimana aktivtas ekonomi sudah kembali pulih.