Di depan sekitar 150 undangan diskusi Ikatan Akuntan Indonesia tentang pengampunan pajak atau tax amnesty, Oesman Sapta Odang buka-bukaan. Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat itu prihatin dengan kondisi saat ini terkait beratnya upaya mendongkrak pendapatan negara.

Sebuah informasi sampai ke telinganya. Di tengah lemahnya penerimaan pajak, banyak uang warga Indonesia justru diparkir di negara lain. “Setiap tahun, sekitar Rp 200 triliun aliran dana gelap ke luar negeri,” kata Oesman saat menjadi pembicara kunci di Balai Kartini, Jakarta, Selasa, 3 Mei 2016. (Baca juga:PPATK Temukan Modus Transaksi dalam Panama Papers).

Advertisement

Padahal, menurut pendiri OSO Grup yang bisnisnya menggurita dari properti, perkebunan, transportasi, hingga pertambangan itu, ratusan triliun rupiah tersebut bisa menjadi pelumas pertumbuhan ekonomi. Bila dana ini dimanfaatkan akan mengurangi ketergantungan ke pajak sebagai sumber pendapatan negara yang mencapai 70 persen. Apalagi rasio penerimaan pajak atas PDB baru 11 – 12 persen.

Menurut Oesman, rendahnya tax ratio ini sejajar dengan sifat manusia yang menginginkan beban ringan dalam perpajakan, sekalipun bagi orang-orang kaya. Setidaknya, hengkangnya dana ke luar negeri menunjukkan ada kekayaan yang tak dipajaki dengan semestinya. Dia menyebutkan kondisi tersebut sebagai kemunculan shadow economy, sebuah praktik penggelapan.

Karena itu, Oesman mendukung upaya menarik dana dari luar negeri atau repatriasi yang disorongkan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat. Namun dia meminta skema yang akan masuk Undang-Undang Pengampunan Pajak atau tax amnesty ini mesti memikirkan kepentingan pemilik dana. Perlu strategi agar mereka cepat melaporkan uangnya untuk kepentingan bangsa.

Langkah tersebut, kata Oesman, perlu segera diambil apalagi muncul dokumen Panama Papers yang mengungkap ratusan akun Indonesia –termasuk miliki para pejabat negara- di sejumlah negara suaka pajak. “Sejatinya tax amnesty adalah cara pemerintah mengampuni kesalahan wajib pajak di masa lalu,” ujarnya. “Tapi saya harus berhati-hati bicara tax amnesty sebagai pimpinan MPR, tidak inginoffside.”

Dalam wawancara khusus dengan Katadata beberapa waktu lalu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan kebijakan tax amnesty akan membawa dana tebusan hingga puluhan triliun. Namun, yang lebih penting dalam jangka panjang, pemerintah akan memiliki data wajib pajak yang bagus bagi negara. Apalagi momentumnya pas menjelang pertukaran informasi tentang data keuangan dan perpajakan secara otomatis atau automatic exchange of information dengan puluhan negara.

Di sisi lain, para pengusaha pun sangat menanti kebijakan itu. Sebab, Hariyadi tak menampik bila ada pebisnis yang masih nakal. Dia memberi istilah kelompok ini sebagai economic animal, dunia kapitalis yang mementingkan diri sendiri. (Baca: Unit Khusus Pajak Telisik Ribuan Nama WNI dalam Panama Papers).

Dengan bahas lebih lugas, mereka itu yang berbisnis seenaknya dengan mencari makan di Indonesia dan menaruh uangnya di luar negeri. Sebagian dari mereka, Hariyadi melanjutkan, bahkan enteng mengubah kewarganegaraan dengan menanamkan uangnya di negara terkait.

Karena itulah, dia mengajak pengusaha yang masih menjalankan bisnisnya seperti itu untuk mengikuti program pengampunan pajak. “Yang dulu maling, ngaku saja maling. Yang dulu koruptor, sepanjang dia tidak dalam proses pengadilan, tax amnesty saja,” ujarnya. “Untuk apa melihat ke belakang. Negara ini butuh pendanaan jangka panjang yang lebih besar. Dari penduduk yang super kaya, berapa gelintir sih yang menyumbang ekonomi Indonesia?”

Beberapa alasan tersebut selaras dengan argumen pemerintah. Dalam banyak kesempatan, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan setidaknya ada empat alasan perlunya tax amnesty. Pertama, untuk menarik dana warga Indonesia di luar negeri. Kedua, uang yang telah masuk bisa digerakkan untuk meningkatkan pertumbuhan nasional. Dana tersebut selama ini tertimbun dalam underground economy.

Ketiga, dengan mengikuti program pengampunan pajak, data yang terkumpul secara otomatis menjadi basis perpajakan nasional. Hal tersebut bisa terlihat dari aset yang disampaikan dalam permohonan tax amnesty

Seiring dengan itu, kebijakan ini akan disertai perbaikan administrasi perpajakan. Terakhir, dalam jangka pendek bisa meningkatkan penerimaan pajak tahun ini. “Dari uang tebusan yang dibayarkan wajib pajak,” kata Bambang.

Mengejar Aset ke Luar Negeri

Jauh sebelum geger dokumen Panama Papers yang dirilis pada awal April lalu, sejumlah negara bersepakat menangkal krisis keuangan dunia. Mereka membentuk kerja sama dalam pertukaran informasi perpajakan. Target utamanya, mencegah penghindaran dan pengelakan pajak. Kementerian Keuangan menyatakan hal ini menjadi penyebab utama basis pajak negara yang menerapkan tarif cukup tinggi tergerus.

Pada 2010 mengemuka pertukaran informasi secara otomatis untuk kepentingan perpajakan. Saat itu berbarengan dengan upaya Amerika Serikat mengenalkan kebijakan Foreign Account Tax Compliance Act (FACTA). Melalui FACTA, Amerika meminta lembaga keuangan negara lain untuk memberi laporan terkait aktivitas akun keuangan warga negaranya yang memegang kepemilikan signifikan (FFI) dalam sebuah perusahaan.

Sempat kurang mendapat respons, langkah Amerika baru ditanggapi serius oleh negara-negara lain tiga tahun kemudian. Pada 2013, menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara kelompok dengan ekonomi besar yang tergabung dalam G 20 dan OECD berkumpul membahas masalah tersebut. Satu pandangan tercapai: memberi dukungan barter informasi secara otomatis.

Di tahun itu pas berbarengan dengan beredarnya dokumen Offshore Leaks. Bocoran data dari Portcullis TrustNet (Singapura) dan Commentwealth Trust Limited (British Virgin Island) itu memuat -dari 2,5 juta dokumen- 2.961 akun nasabah pemilik rekening asal Indonesia di sepuluh negara suaka pajak, di antaranya Caymand Island, Cook Island, dan Singapura.

Panama Papers vs Offshore Leak
Panama Papers vs Offshore Leak (Katadata)

Setahun kemudian, negara-negara G 20 dan OECD menyepakati formula pertukan informasi layaknya konsep FACTA. Mereka menamakannya Common Reporting Standars sebagai landasan dalam pertukaran informasi secara global, cikal-bakal Automatic Exchange of Information (AEOI). (Baca: Heboh Panama Papers Mengguncang Berbagai Negara).

Di Indonesia, pada akhir 2014, muncul wacana pemberian pengampunan pajak, khususnya bagi yang menyimpan uang di Singapura. Rencana itu keluar setelah Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro bertemu Menteri Keuangan Singapura Tharman Shanmugaratnam di Singapura, pada Desember 2014. Kedua pihak berkomitmen bertukar data perpajakan untuk melawan penghindaran dan pengelakan pajak lintas negara.

Untuk itu, pemerintah menyiapkan payung hukum dengan merevisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Pilihan lainnya, membuat undang-undang khusus tentang pengampunan pajak. “Ini  menyangkut uang rakyat, jadi harus betul-betul masuk undang-undang dan disetujui DPR,” kata Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo kala itu. 

Rencana penerpan tax amnesty makin kuat pada 2015. Tahun lalu, penerimaan pajak begitu seret imbas pelemahan ekonomin global. Apalagi pemasukan pajak per kuartal ketiga baru sekitar 60 persen dari target dalam APBN 2015. Selisih penerimaan dan target (shortfall) pajak ini bahkan sampai memakan “korban.” Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito undur diri -kini digantikan Ken Dwijugiasteadi.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement