- Perang Rusia dan Ukraina yang sudah berbulan-bulan memicu krisis energi dan pangan di banyak negara.
- Sejumlah negara tertimpa inflasi tinggi, termasuk tren kenaikan harga barang dan jasa di Indonesia. Ada negara yang rentan dari kebangkrutan.
- Bank sentral Amerika Serikat secara agresif menaikkan suku bunga acuan, diikuti sejumlah negara lain. Bagaimana langkah Bank Indonesia?
Perayaan Lebaran, seperti Idul Adha, kerap melambungkan harga pangan seiring permintaan yang tinggi. Para pedagang pun ikut senang. Tapi tidak kali ini bagi Ida. Pedagang di Pasar Perumnas Palembang itu mengatakan, harga sejumlah bahan makanan melonjak sejak awal Juli, termasuk cabai merah yang ia jajakan.
Sehari menjelang Lebaran Kurban, satu kilogram cabai merah ia jual Rp 120 ribu. Padahal, “Hari sebelumnya masih Rp 100 ribu per kilogram,” kata Ida. Dia bukan sepihak menaikkan harga cabai, sebab dari pedagang besar harganya juga sudah melejit.
Lantaran tingginya harga cabai merah, sebagian pembeli mengurangi belanjanya. Dewi, pedagang lain di Pasar Palembang itu, menceritakan hanya bisa menjual sekitar 20 kilogram. Jumlah tersebut menyusut hampir separuh dari hari-hari sebelumnya, tatkala nilai jual cabai masih tergolong normal. “Warga sepertinya berhemat,” ujar Dewi.
Lonjakan harga cabai tak hanya di Palembang, tapi hampir merata di penjuru Tanah Air. Pada akhir pekan kemarin, Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional mencatat, rerata harga cabai merah di pasar modern menyentuh Rp 94,56 ribu per kilogram. Rata-rata mingguan ini naik dibandingkan pekan sebelumnya yang baru Rp 68,64 ribu.
Harga cabai merah di pasar modern DKI Jakarta menjadi yang termahal, mencapai Rp 134,95 ribu. Sebenarnya, dibandingkan bulan sebelumnya, harga tersebut belum banyak bergerak. Sementara di pasar modern Kepulauan Riau, harga cabai merah Rp 122,9 ribu yang menjadikannya termahal kedua. Perhatikan Databoks berikut ini:
Keresahan Inflasi Menghantui Dunia
Rabu kemarin, Biro Statistik Tenaga Kerja Amerika Serikat mengumumkan inflasi di Negeri Abang Sam itu kembali melonjak. Indeks Harga Konsumen tembus 9,1 persen secara tahunan (year on year). Angka tersebut menumbangkan catatan inflasi pada Mei yang menjadikannya inflasi paling tinggi sejak 1981.
Sejumlah ekonom memang memprediks inflasi Amerika pada Juni melewati posisi Mei yang berada di 8,6 persen. Tapi sebagian besar dari mereka hanya mengira inflasi tak melewati 8,8 persen. Begitu juga Gedung Putih memperkirakan data inflasi Juni bisa melejit. “Terutama karena harga gas sangat tinggi di Juni,” kata Sekretaris Pers Karine Jean-Pierre saat menemani Presiden Amerika Joe Biden ke Timur Tengah.
Berbagai lembaga keuangan dunia menyebutkan, perang Rusia – Ukraina dan pemulihan ekonomi seiring kasus Covid-19 yang makin melandai menjadi pemicu utama lonjakan harga sejumlah komoditi, terutama energi dan pangan. Perang dan pandemi telah merusak rantai pasok dan suplai dunia. Akibat aneka embargo ekonomi ke Rusia, misalnya, harga gas melejit.
Saat serangan pertama Rusia pada akhir Februari lalu, gas alam di pasar berjangka masih US$ 4,43 per MMMBtu. Kemudian, harganya setiap hari makin melejit hingga level tertingginya US$ 9,35 pada awal Juni, dengan rata-rata harian US$ 6,64. Lonjakan harga dan kelangkaan gas ini memicu krisis energi di banyak negara, terutama Eropa. Kenaikan drastis gas merembet ke sumber energi lain, seperti minyak bumi dan batu bara.
Demikian juga harga pangan. Ukraina sebagai penghasil utama gandum, di samping Rusia, tak bisa memasok ke banyak negara. Minyak sawit mentah pun ikut terkerek. Mengatasi alur lalu-lintas pangan ini menjadi salah satu topik utama Presiden Joko Widodo ketika melawat ke Ukarina dan Rusia beberapa waktu lalu.
Ketakutan inflasi tinggi sudah menghantui dunia. Survei Ipsos yang dilakukan secara online pada 27 Mei - 6 Juni 2022 menyebutkan, inflasi merupakan isu yang paling banyak dicemaskan warga global. Dari sekitar 19 ribu responden, 37 persen mengutarakan paling mencemaskan inflasi ketimbang masalah lainnya.
Bahkan, tingkat kemiskinan dan ketimpangan sosial yang bisanya menjadi sorotan utama baru di posisi kedua sebanyak 31 persen. Sementara yang mencemaskan pengangguran 28 persen. Mereka yang khawatir akan masalah kriminal serta kekerasan 27 persen. Hanya 24 persen responden yang mengaku paling khawatir dengan isu korupsi keuangan atau politik. Perhatikan Databoks berikut ini:
Dari 27 negara yang disurvei, Ipsos menyebutkan kecemasan paling besar akan inflasi melanda penduduk Polandia, menghantui 64 persen dari semua respoonden. Pada Februari lalu, inflasi di Polandia sudah mencapai 8,6 persen, kemudian terus menanjak dan pada Juni melesat hingga 15,6 persen.
Selanjutnya ada Argentina dengan 62 prsen responden dari negara tersebut mencemaskan kenaikan harga barang dan jasa yang terjadi terus-menerus. Adapun kekhawatiraan penduduk Turki 56 persen dan Hungaria 49 persen. Untuk tabel lengkapnya perhatikan Databoks berikut ini:
Argentina dan Turki memang masuk radar Global Crisis Response Group dari Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lembaga ini mendeteksi sekitar 1,6 miliar orang di 94 negara setidaknya menghadapi satu dimensi krisis: pangan, energi, atau sistem keuangan. Sekitar 1,2 miliar dari mereka tinggal di negara-negara yang sangat rentan terhadap krisis biaya hidup.
Penyebab kesengsaraan ini bervariasi. Namun semua mendapatkan imbas dari lonjakan biaya makanan dan bahan bakar akibat perang Rusia – Ukraina, tepat ketika gangguan terhadap pariwisata dan aktivitas bisnis lainnya akibat pandemi virus corona mulai memudar. Bank Dunia memperkirakan, pendapatan per kapita negara berkembang tahun ini menjadi 5 persen di bawah tingkat pra-pandemi.
Di Argentina, sekitar empat dari setiap 10 orang miskin. Bank sentral di sana kehabisan cadangan devisa seiring pelemahan mata uangnya. Inflasi diperkirakan melebihi 70 % tahun ini. Alhasil, sebagian besar jutaan orang Argentina bertahan hidup berkat dapur umum dan program kesejahteraan negara.
Sementara di Turki, memburuknya keuangan pemerintah dan meningkatnya defisit neraca perdagangan dan modal telah memperparah masalah akibat utang yang tinggi. Inflasi Turki mencapai lebih dari 60 %, dengan angka pengangguran yang sangat tinggi. Bank Sentral terpaksa menggunakan cadangan devisa untuk menangkis krisis mata uang, setelah lira jatuh ke posisi terendah sepanjang masa terhadap euro dolar Amerika pada akhir 2021.
Menanti Langkah Menghadapi Inflasi
Lonjakan inflasi di sejumlah negara membuat banyak bank sentral panas-dingin. Setelah harga barang dan jasa di Amerika Serikat secara tahunan naik menjadi 8,6 persen per Mei 2022, Federal Reserve memgumunkan kenaikan bunga acuan 75 bps pada pertengahan Juni kemarin. Ini merupakan kenaikan paling agresif yang pernah dilakukan The Fed sejak 1994.
Dengan demikian, The Fed sudah menaikkan bunga patokan tiga kali pada tahun ini. Dua kali kenaikan sebelumnya diputuskan pada Maret sebesar 25 bps dilanjutkan 50 bps pada Mei. Dengan demikian, bunga The Fed saat ini di rentang 1,5 - 1,75 persen, tertinggi sejak sebelum pandemi Covid-19.
Langkah The Fed untuk mengerem inflasi ini rupanya diikuti banyak negara. Hingga pekan lalu, setidaknya ada tujuh negara anggota kelompok G20 yang mengerek bunga acuan pada Tahun Macan Air ini. Misalnya, terhitung dari awal tahun, Kanada menaikkan suku bunga acuan 125 bps menjadi 1,5 persen, Rusia 100 bps menjadi 9,5 persen, dan Inggris 100 bps ke 1,25 persen.
Lalu bank sentral Brazil menaikkan bunga hingga 400 bps menjadi 13,25 persen, Meksiko 150 bps menjadi 7 persen dan India 90 bps menjadi 4,9 persen. Sementara Korea Selatan mengerek bunga acuan 75 bps menjadi 1,75 persen.
Walau sudah banyak bank sentral memainkan bunga sebagai instrumen moneter untuk meredam inflasi, Gubernur Bank Indonesia Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan tidak ingin terburu-buru menaikkan BI 7DRR yang masih di level 3,5 persen. “Sebab, inflasi inti masih rendah sehingga ada ruang bagi fleksibilitas kami,” kata Perry dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR, Jumat 1 Juli 2022. Hal yang sama ia sampaikan dalam beberapa kesempatan sebelumnya.
Terkait belum menaikkan suku bunga, Perry mengatakan arah kebijakan moneter BI masih menuju stabilitas dengan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini berfokus dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah agar inflasi juga terkendali dan stabilitas ekonomi terjaga.
Selain itu, BI tetap menormalisasi kebijakan melalui peningkatan giro wajib minimum (GWM) rupiah secara berkala. Bahkan, kebijakan tersebut lebih agresif dari rencana pada awal tahun ini. Harapannya, meningkatnya likuiditas perbankan di bank sentral akan membatasi penyebaran uang di masyarakat.
Namun demikian, dengan laju inflasi Juni yang tembus 4,35 secara tahunan, tertinggi sejak 2017 dan melewati target 3 plus minus satu persen, bank sentral sepertinya membuka sinyal untuk menaikkan suku bunga. Pasar memang tengah menanti langkah BI pada pertemuan Rapat Dewan Gubernur pekan depan.
Deputi Gubernur BI Juda Agung menyatakan bahwa bauran kebijakan bank sentral saat ini ditujukan untuk menjaga stabilitas makro. Di sisi lain, instrumen kebijakan BI diarahkan untuk memfasilitasi pemulihan ekonomi dan menavigasi ekonomi dan keuangan digital.
“BI tetap mewaspadai tekanan inflasi dan dampaknya terhadap ekspektasi inflasi,” kata Juda dalam acar side event G20 Jalur Keuangan-Central Bank Policy Mix for Stability and Economic Recovery, Rabu 13 Juli 2022. “Dan siap untuk menyesuaikan suku bunga jika ada tanda-tanda inflasi inti yang lebih tinggi terdeteksi.”
Inflasi inti yaitu komponen yang cenderung menetap di dalam pergerakan inflasi. Yang mempengaruhinya yakni faktor fundamental, seperti interaksi permintaan-penawaran. Lalu, lingkungan eksternal, misalnya nilai tukar, harga komoditi internasional, dan inflasi mitra dagang. Atau juga dari ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen.
Sementara inflasi non-inti yakni komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen bergejolak (volatile food) ini dominan dipengaruhi oleh kejutan dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau perkembangan harga komoditas pangan domestik.
Sementara komponen harga yang diatur oleh pemerintah (Administered Prices) dominan dipengaruhi oleh kejutan berupa kebijakan harga pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, dan tarif angkutan.
Hari ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun bicara mengenai situasi berat ekonomi dunia, dari pandemi Covid-19, perang, hingga lonjakan inflasi di beberapa negara. Rusia merupakan negara pemasok minyak mentah terbesar kedua di dunia. Ketika terjadi perang, harga minyak dunia langsung melonjak hingga memicu krisis energi di mana-mana.
Ukraina tidak kalah penting dalam perdagangan dunia. Negara tersebut salah satu pemasok pangan seperti gandum. “Jadi, paling terlihat dampaknya pada krisis energi dan makanan,” kata Sri Mulyani Hal dalam diskusi 'Sustainable Finance for Climate Transition Roundtable' di Bali.
Perang tersebut juga mengakibatkan kenaikan harga komoditas internasional, seperti batu bara, bauksit, nikel, hingga minyak kelapa sawit. Indonesia menjadi salah satu yang beruntung mengingat komoditas tersebut menjadi ekspor andalan.
Penerimaan negara pun meningkat. “Tapi anggaran kami menanggung beban subsidi yang sangat besar untuk bahan bakar,” ujarnya. “Kami melihat tantangan dalam menangani inflasi adalah salah satu yang paling penting dalam pertemuan G20 yang dimulai besok.”
Dalam laporan Thematic Quarterly Outlook: Ketidakpastian Global dan Peluang Ekonomi Domestik, Danareksa Research Institute (DRI) mengungkapkan bahwa inflasi menjadi tantangan bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Laju inflasi tahunan Indonesia akan berada dalam rentang 4,41 - 4,68 persen pada tahun ini, kemudian berpotensi meningkat pada 2023 dan 2024.
Menurut Danareksa Research Institute, penyebab tingginya inflasi tahun ini antara lain karena kenaikan inflasi kelompok administered price akibat harga BBM nonsubsidi yang naik. Lalu, ada kenaikan permintaan transportasi umum yang bertepatan dengan mudik Lebaran dan normalisasi aktivitas masyarakat di luar rumah.
Faktor lainnya, kenaikan inflasi kelompok volatile food disebabkan keterbatasan pasokan karena cuaca ekstrem. Sementara ada andil pula kenaikan PPN dari 10 menjadi 11 persen untuk meningkatkan pendapatan pajak. Juga naiknya permintaan karena memasuki periode Ramadan dan Lebaran.
Melihat data-data tersebut, Danareksa Research Institute memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan begitu inflasi mencapai batas atas rentang yang ditetapkan. Kenaikan ini juga diprediksi untuk merespons peningkatan suku bunga global, terutama suku bunga acuan The Fed yang diperkirakan terus meningkat hingga ke 3,25 - 3,75 persen sampai akhir 2022.