Belajar dari Kesalahan Hindia Belanda Tangani Flu Spanyol untuk Corona

Image title
16 April 2020, 17:28
Caitlin Ochs Seorang petugas medis beristirahat sejenak di depan Pusat Layanan Kesehatan Maimonides ditengah pandemi virus corona (COVID-19) di kawasan Brooklyn, New York, Amerika Serikat, Selasa (14/4/2020).
ANTARA FOTO/REUTERS/Caitlin Ochs/foc/dj
Caitlin Ochs Seorang petugas medis beristirahat sejenak di depan Pusat Layanan Kesehatan Maimonides ditengah pandemi virus corona (COVID-19) di kawasan Brooklyn, New York, Amerika Serikat, Selasa (14/4/2020).

Korban virus corona di Indonesia masih terus bertambah setiap hari. Data Kementerian Kesehatan pada hari ini (16/4) menyatakan jumlah pasien positif sebanyak 5.516 orang. 548 orang di antaranya dinyatakan sembuh dan 496 orang meninggal dunia.

Jika merujuk kepada prediksi sejumlah lembaga riset, angka korban di Indonesia masih berpeluang bertambah. Fakultas Kesehatan Masyarakat UI misalnya, memprediksi hampir 2,5 juta orang Indonesia terjangkit virus corona pada hari ke-77 penyebaran jika pemerintah tak serius melakukan intervensi.

Namun dengan intervensi serius pemerintah, perkiraan jumlah kasus sekitar 600 ribu jiwa pada hari ke-98 dengan angka kematian mencapai 11 ribu orang pada hari ke-100.

Massifnya korban akibat Corona mengingatkan kepada pandemi influenza atau kerap disebut sebagai flu Spanyol yang pernah melanda dunia pada 1918-1919, termasuk Indonesia. Sejarawan Colin Brown dalam artikelnya The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia memperkirakan 1,5 juta orang meninggal akibat pandemi ini di Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda.

Sementara, Siddharath Chandra dalam artikelnya Mortality from the Influenza Pandemic of 1918-19 in Indonesia, dengan menggunakan metode population loss memperkirakan jumlah korban bervariasi di pelbagai daerah.

Siddharath mencatat Madura sebagai daerah yang paling banyak kehilangan populasi di Jawa, yakni 23,71%. Diikuti secara berturut-turut Banteng (21,13%), Kediri (20,62%), Surabaya (17,54%), Cirebon (16,62%), Rembang (14,90%), Pasuruan (14,32%), Kedu (13,27%), Semarang (13,18%), Pekalongan (10,31%), Banyumas (9,75%), Madiun (7,31%), Jakarta (6,49%), Priangan (2,97%), dan Besuki (1,10%).

Dari hasil itu, Siddharath menyatakan angka kematian di Madura dan di seluruh Jawa lebih dari 4,6 juta. Lebih banyak dibandingkan angka korban di seluruh Indonesia yang disebutkan Brown. Namun, baik Siddarath maupun Brown sama-sama menyatakan angka kematian saat itu sulit dipastikan karena keterbatasan pendataan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.  

(Baca: Prediksi 5 Lembaga soal Corona di Indonesia, Paling Cepat Mereda Mei)

Pelajaran dari Penanganan Flu Spanyol di Hindia Belanda

Kandidat doktor jurusan sejarah Universitas Melbourne Australia, Ravando Lie dalam tulisannya di Kompas.id menyebut dampak fatal flu Spanyol di Indonesia karena kelalaian pemerintahan Hindia Belanda dalam mencegah penyebarannya, atau dalam istilah FKM UI tak melakukan intervensi serius.

Menurut Ravando, penyebaran flu Spanyol di Hindia Belanda terjadi dalam dua gelombang. Gelombang pertama terjadi pada Juli-September 1918 dengan kasus pertama yang dilaporkan terjadi di Kawasan pelabuhan Pangkatan (Sumatera Utara), Juni 1918. Dugaan kuat virus dibawa kuli kontrak Singapura yang datang ke perkebunan di Sumatera.

Pada bulan laporan pertama virus terjadi, menurut tulisan Ravando, 5 persen total populasi Surabaya sudah terkontaminasi dan dalam beberapa minggu setelahnya sudah menyerang Belitung sampai Batavia.

Gelombang kedua terjadi pada Oktober-Desember 1918. Pada tahap ini virus menyebar hingga ke Kawasan Hindia Timur dan tetap bertahan di beberapa wilayah sampai Januari 2019. Laporan Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (BGD) atau Dinas Kesehatan Hindia Belanda pada 1920 menyatakan seluruh Hindia Belanda terjangkiti virus ini.

Cepatnya penyebaran flu Spanyol rupanya tak membuat pemerintah Hindia Belanda bergerak cepat. BGD justru menyebut pandemi ini sebagai flu biasa. Padahal, menurut Ravando, dengan kemajuan teknologi saat itu mereka sudah bisa mengakses kabar betapa buruknya dampak flu Spanyol di Eropa. Ia menduga hal ini dilakukan lantaran di tengah Perang Dunia I tak ada negara yang ingin terlihat lemah, maka berusaha menutupi persoalan inti.  

BGD bahkan sempat salah menduga flu Spanyol sebagai kolera. Vaksinasi kolera pun dilakukan dan tentu saja tak menyelesaikan masalah. Seorang dokter di Batavia justru menganggap flu Spanyol tak lebih berbahaya dari flu biasa. Mispersepsi ini kemudian diamplifikasi media-media saat itu dan menjadi kesalahpahaman massal di tengah penduduk.

(Baca: Sejarah Pandemi dan Epidemi Dunia yang Memicu Gejolak Politik)

Seiring waktu, korban flu Spanyol semakin banyak. Hal ini membuat sejumlah surat kabar saat itu mengkritisi pemerintahan kolonial. Mereka menyebut pemerintahan lambah. Alih-alih memperhatikan kritik, BGD justru menuduh pribumi sebagai biangnya karena tak mampu menjaga kebersihan dengan baik.

Penanganan BGD baru terjadi pada 16 November 1918 dengan membentuk influenza comissie yang terdiri dari CD de Langen (ketua), GOE Lignac (sekretaris), PC Flu, AA Hulshoff, J Huizinga, dan Mas Sardjito (anggota). Komisi ini, tulis Ravando, bertugas menginvestigasi flu Spanyol dan memberikan rekomendasi tindakan yang harus dilakukan.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...