Potret Pasar Saham 2020, IHSG Gagal Tembus 6.000
Perdagangan pasar modal pada 2020 telah berakhir pada Rabu (30/12). Sayangnya, indeks harga saham gabungan (IHSG) gagal ditutup menembus level 6.000. Pada perdagangan hari terakhir, indeks justru turun 0,95% ke level 5.979.
Dengan level tersebut, IHSG tercatat turun 5,09% dibandingkan penutupan akhir 2019 di level 6.299. Sepanjang 2020, pasar modal di seluruh negara memang tertekan oleh penyebaran virus Covid-19, termasuk di Indonesia. Pada awal penyebaran virus corona di Indonesia sekitar Maret 2020, IHSG mengalami penurunan signifikan.
Titik terendah IHSG terjadi pada 24 Maret 2020, yang ditutup pada level 3.937. Indeks tercatat mengalami penurunan 37,49% dibandingkan akhir 2019. Level tersebut, merupakan yang terendah sejak 28 Juni 2012 di level 3.887.
Penurunan IHSG di tengah pandemi Covid-19 pun terlihat dari beberapa kali indeks turun hingga 5%. Bursa efek Indonesia (BEI) pun terpaksa menerapkan aturan penghentian perdagangan selama 30 menit (trading halt) sebanyak 7 kali dalam setahun ini.
Setelah periode buruk tersebut di Bulan Maret, sebenarnya IHSG sudah tidak mengalami penurunan secara signifikan. Namun, pada 10 September 2020, Bursa kembali menghentikan perdagangan karena DKI Jakarta kembali menerapkan PSBB ketat.
Meski IHSG sempat menyentuh level 3.000, namun setelahnya IHSG berada dalam tren kenaikan. Sejak 24 Maret 2020 hingga akhir tahun ini, IHSG sudah mulai pulih dan mengalami kenaikan hingga 51,84%. Titik tertinggi terjadi pada 21 Desember 2020, yakni di level 6.165. Namun, level IHSG itu bukan yang terbaik sepanjang tahun ini karena pada 14 Januari 2020, IHSG sempat ada di level 6.325.
Performa IHSG sepanjang 2020 ini tercatat berada di urutan ke-3 dibandingkan dengan bursa-bursa di kawasan Asia Tenggara lainnya. Hal tersebut terlihat dari statistik harian yang dimuat melalui halaman website Bursa Efek Indonesia.
Bursa Vietnam VN-Index merupakan yang paling cemerlang di kawasan Asia Tenggara karena bisa menguat hingga 14,21% sepanjang 2020 meski di tengah pandemi Covid-19. Di urutan berikutnya, bursa Malaysia FTSE BM juga mampu menguat hingga 3,38% sepanjang 2020.
Namun, performa IHSG di kawasan Asia, mampu mengungguli bursa Thailand SETi yang mengalami penurunan 7,73% sepanjang 2020. Lalu, bursa Filipina PSEi yang turun hingga 8,64% dan bursa Singapura STI yang turun hingga 10,82% sepanjang tahun ini.
Sementara, posisi indeks pasar modal Indonesia di tengah bursa dunia, menduduki peringkat 25 dari 36 bursa dunia. Peringkat pertama bursa secara global ada bursa Korea Utara KOSPI yang sepanjang tahun ini mampu menguat hingga 30,75%. Di urutan kedua ada bursa Turki BIST 100 yang mampu menguat hingga 29,24% sepanjang 2020.
Angin Segar di Tengah Volatilitas Pasar Saham Indonesia
Meski sepanjang 2020 ini pasar modal Indonesia mengalami volatilitas yang tinggi, kabar baik pun masih tetap semarak. Salah satunya bergesernya peran investor domestik pada pasar modal yang semakin menguasai dibandingkan investor asing.
Di tengah pandemi corona, jumlah investor atau single investor identification (SID) baru bertambah 48,82% atau 1.212.930 menjadi 3.697.284 investor per 10 Desember 2020. Mereka ada di saham, obligasi, reksa dana, dan instrumen investasi pasar modal lainnya. Dari jumlah itu, SID baru saham 488.088 investor, naik 93,4% dari posisi 2019. Saat ini total investor saham sebanyak 1.592.698 SID, atau 44,19% dari investor di pasar modal.
Rupanya, dari Rp 3.491 triliun jumlah kepemilikan saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, 50,44% merupakan milik investor ritel domestik. Sedangkan 49,56% sisanya dimiliki oleh investor asing.
Selain karena bertambahnya jumlah investor domestik di pasar saham domestik, pergeseran peran tersebut juga disebabkan oleh keluarnya investasi asing di pasar saham. Sepanjang tahun, investor asing telah melakukan penjualan bersih senilai Rp 53,82 triliun di seluruh pasar. Rinciannya, di pasar reguler jual bersih Rp 61,01 triliun, sedangkan di pasar non-reguler beli dengan nilai bersih Rp 7,19 triliun.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen menyebutkan investor retail punya andil besar menciptakan pasar modal domestik tak bergejolak dengan hebat. “Stabilitas dan kekuatan pasar modal Indonesia hanya bisa terwujud jika investor domestik, terutama ritel, bangkit,” kata Hoesen dalam acara Pengembangan Pasar Modal Indonesia di Jakarta, Senin (14/12).
Direktur Utama Kustodian Sentral Efek Indonesia Uriep Budhi Prasetyo mengatakan peningkatan jumlah investor tersebut salah satunya didukung dengan adanya proses digitalisasi di pasar modal. "Khususnya untuk proses pembukaan rekening investasi," katanya dalam konferensi pers, Rabu (30/12).
Menurut Uriep, peran platform financial technology (fintech) juga turut membantu pembukaan rekening investasi di pasar modal. Hal ini didukung dengan data, lebih dari 50% investor memiliki rekening investasi melalui agen penjualan fintech.
Penggunaan platform digital tersebut sejalan dengan karakteristik investor pasar modal yang terus bergerak ke usia muda. Berdasarkan data KSEI per 29 Desember 2020, jumlah investor berusia di bawah 30 tahun dan 30 sampai dengan 40 tahun telah mencapai lebih dari 70%.
Semakin maraknya investor ritel domestik di pasar modal, membuat frekuensi perdagangan semakin ramai. Hal ini tercermin dari rata-rata frekuensi perdagangan harian sepanjang 2020 yang sebanyak 677 ribu kali atau meningkat hingga 44,4% dibandingkan rata-rata tahun lalu sebanyak 469 ribu kali.
Selain itu, tercatat ada peningkatan juga pada rata-rata nilai transaksi harian sepanjang 2020 sebesar 1,2%, menjadi Rp 9,21 triliun dari sebelumnya Rp 9,1 triliun. Sementara, untuk rata-rata volume perdagangan harian selama 2020 hanya sebanyak 11,37 miliar unit saham atau turun 21,7% dari 14,54 miliar unit saham.
Emiten Baru Bursa di Tengah Pandemi Covid-19
Capain Bursa sepanjang 2020 lalu, juga terlihat dari kegiatan penghimpunan dana melalui pencatatan perdana saham baru atau initial public offering (IPO) yang mencapai 51 perusahaan. Meski lebih sedikit dibandingkan tahun lalu 55 perusahaan, IPO tahun ini terjadi di tengah pandemi Covid-19 yang telah memukul ekonomi.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Inarno Djajadi mengatakan jumlah IPO tahun ini berhasil menduduki peringkat ke-6 di dunia. Jumlah ini hanya kalah dari bursa Shanghai yang mencapai 180 IPO, Nasdaq 119 IPO, Shenzhen 115 IPO, Hong Kong 99 IPO, dan Jepang 54 IPO.
Tentunya, jika dibandingkan dengan aktivitas IPO di kawasan Asia Tenggara, Bursa Indonesia menjadi yang paling banyak kedatangan emiten baru. "Di tengah pandemi Covid-19, minat perusahaan untuk masuk ke pasar modal tidak surut," kata Inarno dalam konferensi pers, Rabu (30/12).
Memang secara jumlah, IPO sepanjang 2020 mampu mendekati capaian pada tahun lalu. Namun, jika dilihat dari nilai emisi perusahaan yang IPO, capaian tahun ini jauh di bawah tahun lalu. Pada 2020, total nilai emisinya hanya Rp 5,97 triliun, sedangkan 2019 lalu mencapai Rp 14,77 triliun.
Sebagai gambaran, tahun ini hanya ada satu perusahaan yang mampu meraup dana lebih dari Rp 1 triliun melalui kegiatan IPO. PT Metro Healthcare Indonesia Tbk (CARE) yang IPO pada 13 Maret 2020, berhasil meraup dana senilai Rp 1,03 triliun dengan melepas 10 miliar saham baru ke publik di harga Rp 103 per saham.
Sementara, pada 2019 terdapat 3 emiten yang meraup dana jumbo dari IPO. Nilai emisi terbesar berasal dari IPO PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG Tbk (LIFE) pada 9 Juli 2019 dengan nilai emisi mencapai Rp 4,76 triliun. Meski begitu, aksi korporasi ini bukan melepas saham baru ke publik, melainkan induknya PT Sinar Mas Multiartha Tbk (SMMA) yang melepas sahamnya ke publik.
Emiten lain yang mampu meraup dana jumbo dari kegiatan IPO adalah PT Uni-Charm Indonesia Tbk (UCID) yang IPO pada 20 Desember 2019 dengan meraup Rp 1,25 triliun. IPO PT Gunung Raja Paksi Tbk (GGRP) juga mampu meraup dana jumbo senilai Rp 1,03 triliun pada 19 September 2019.