Pemerintah sudah memastikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan naik tahun depan. Kenaikan iuran ini dilakukan demi menyelamatkan keuangan BPJS Kesehatan yang selalu defisit. Dengan begitu Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bisa terus berjalan.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memastikan iuran BPJS Kesehatan naik. Hal ini tetap dilakukan meski Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak sebagian usulan pemerintah. Dia memastikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan segera meneken peraturan terkait kenaikan iuran ini. "Jadi pasti naik," ujarnya di Jakarta, Rabu (4/9).

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengusulkan iuran JKN untuk peserta mandiri kelas I dinaikkan 100% dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu. Untuk kelas II sebesar 100% dari Rp 55 ribu menjadi Rp 110 ribu, dan kelas III sebesar 65% dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu.

(Baca: Iuran BPJS Naik, Subsidi Kesehatan Orang Miskin Bertambah Jadi Rp 49 T)

Pemerintah juga mengusulkan batas upah yang dikenakan untuk perhitungan iuran peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) dari badan usaha dan pemerintah, dengan persentase tetap 5% dari upah. Batas upah untuk pegawai swasta dinaikkan dari Rp 8 juta menjadi Rp 12 juta dan diusulkan berlaku Januari 2020.

Sementara batas upah untuk pegawai pemerintah diusulkan naik dari semula hanya mencakup gaji pokok dan tunjangan keluarga, menjadi ditambah dengan tunjangan kinerja. Kenaikan untuk pembayaran iuran BPJS Kesehatan ini diusulkan berlaku mulai Oktober 2019. Sementara untuk peserta PBI, iuran diusulkan naik dari Rp 23 ribu menjadi Rp 42 ribu dan diusulkan berlaku mulai Agustus 2019.

(Baca: BPJS Kesehatan: Kenaikan Iuran Mendesak)

Rencana kenaikan ini lebih tinggi dari usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Perhitungan DJSN, kenaikan iuran kelas I sebesar 50%, kelas II sebesar 47% dan kelas III 65% sudah bisa mengatasi masalah defisit BPJS. Sementara perhitungan Kementerian Keuangan, kenaikan ini tak hanya untuk menutupi defisit, tapi hingga keuangan BPJS Kesehatan bisa surplus mulai tahun depan.

Defisit BPJS Kesehatan selalu naik, meski sudah dibantu tambahan dana dari pemerintah. Pada 2014, besaran defisitnya hanya Rp 1,9 triliun, kemudian naik berkali-kali lipat hingga mencapai Rp 19,4 triliun pada tahun lalu.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan ada tiga opsi yang bisa dilakukan, yakni menyesuaikan besaran Iuran, mengatur ulang manfaat yang diberikan, dan suntikan dana tambahan. Untuk suntikan dana pemerintah, BPJS Kesehatan telah menerima Rp 5 triliun pada 2016, Rp 6,8 triliun pada 2016, Rp 3,6 triliun di 2017, dan tahun lalu  Rp 10,25 triliun.

(Baca: DPR Usul 1% Dana Transfer Daerah untuk Tambal Defisit BPJS Kesehatan)

Keterbatasan anggaran membuat pemerintah tak bisa terus menerus memberikan suntikan dana. Makanya, opsi lain pun dilakukan dengan menaikkan iuran JKN. Jika iuran JKN tidak dinaikkan, Kementerian Keuangan memperkirakan tahun ini defisit BPJS Kesehatan bisa mencapai Rp 32 triliun. Nilainya akan terus membesar menjadi Rp 44 triliun tahun depan dan Rp 56 triliun pada 2021.

Penyebab Defisit BPJS Kesehatan Terus Membengkak

Sejak pertama kali program JKN dijalankan pada 2014 hingga kini, keuangan BPJS Kesehatan memang selalu defisit. Besarnya klaim yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan untuk menanggung pengobatan selalu lebih tinggi dari total iuran yang dibayarkan oleh pesertanya. Rasio klaim terhadap penerimaan selalu di atas 100%.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement