Pada 2014, rasio klaim BPJS Kesehatan sudah mencapai 105% dan naik menjadi 108% pada 2015. Setahun kemudian rasionya memang sempat turun menjadi 100% alias impas. Namun pada 2017 kembali naik hingga mencapai 114%.  Padahal, idealnya klaim rasio yang bisa ditolerir kurang atau sama dengan 90%. Sehingga masih ada sisa 10% yang bisa digunakan untuk membiayai operasional dan pembentukan dana cadangan.

(Baca: Jurus Sri Mulyani Tambal Defisit BPJS Kesehatan)

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan ada empat hal yang menyebabkan rasio klaim BPJS Kesehatan tinggi dan keuangannya selalu defisit. Pertama, tarif iuran yang masih rendah, underpriced atau di bawah angka hitungan ideal untuk bisa menutupi biaya kesehatan.

Mengutip buku Keberlangsungan Program JKN dalam SJSN yang baru saja diterbitkan oleh Komisi IX DPR, penetapan iuran tidak mengacu pada hasil kajian aktuaria. Pada 2015, Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan DJSN melakukan perhitungan iuran JKN. Berdasarkan hasil kajian aktuaria, iuran ideal untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp 36 ribu. Sementara untuk peserta mandiri kelas I Rp 80 ribu, kelas II Rp 63 ribu dan kelas III Rp 53.500.

Namun, pemerintah tidak mengakomodasi usulan ini. Besaran iuran yang ditetapkan dalam Perpres 28 Tahun 2016 untuk PBI hanya 63% dari usulan. Sedangkan iuran yang ditetapkan untuk peserta PBPU kelas III hanya 47,6% dan kelas II 80%.

Iuran BPJS 2016
(Buku Keberlangsungan Program JKN dalam SJSN)

Kedua, peserta JKN yang tidak disiplin. Banyak peserta PBPU atau dari sektor informal yang baru mendaftar pada saat sakit. Tetapi setelah mendapat layanan kesehatan, mereka berhenti membayar iuran.

Data Kementerian Keuangan mencatat total iuran yang didapat BPJS Kesehatan dari peserta PBPU sepanjang tahun lalu hanya Rp 8,9 triliun. Namun, total klaim yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan untuk kelompok peserta ini mencapai Rp 27,9 triliun.

Selain itu, berdasarkan temuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terdapat 50.475 badan usaha yang belum tertib bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Ada sekitar 528.120 pekerja yang belum didaftarkan oleh 8.314 badan usaha. Selain itu, ada 2.348 badan usaha yang tidak melaporkan gaji dengan benar.

(Baca: Tak Patuh Ikut BPJS Kesehatan, 50 Ribu Perusahaan Terancam Sanksi)

Ketiga, rendahnya tingkat keaktifan peserta membayar iuran. Tingkat keaktifan membayar iuran peserta PBPU tercatat hanya sekitar 54%. Artinya, 46,3% dari peserta mandiri yang menunggak membayar iuran. Sepanjang 2016 sampai 2018, besar tunggakan peserta mandiri mencapai sekitar Rp 15 triliun. Sementara tingkat utilisasi (penggunaan asuransi) sangat tinggi, dengan rasio klaimnya mencapai 313%.

Keempat, beban pembiayaan untuk penyakit katastropik yang harus ditanggung BPJS Kesehatan sudah sangat besar. Katastropik adalah penyakit-penyakit yang membutuhkan biaya tinggi dalam pengobatannya, seperti kanker, jantung, dan gagal ginjal.

(Baca: DPR Tolak Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Dua Kali Lipat)

Beban pembiayaan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk klaim penyakit ini mencapai 20% dari biaya manfaat. Data BPJS Kesehatan mencatat  kategori penyakit katastropik menelan biaya Rp 11,07 triliun pada 2014. Beban ini terus naik setiap tahun menjadi Rp 14,88 triliun pada 2015 dan Rp 16,94 triliun di 2016. Setahun kemudian menjadi Rp 18,44 triliun hingga di 2018 mencapai Rp 20,42 triliun.

Peningkatan beban ini seiring dengan bertambahnya jumlah peserta. Prediksinya, tahun ini beban untuk pembiayaan penyakit katastropik akan sama dengan tahun lalu, yakni sekitar Rp 20 triliun. Prediksi ini mengacu angka per Juni 2019 yang hanya mencapai Rp 10 triliun.

(Baca: Mardiasmo: Iuran JKN Naik, Layanan Kesehatan Harus Lebih Baik)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement